Bab 2. Naira [Cafe Melati]

1225 Words
2. Cafe Melati, 12.00 WIB Aku kira bakalan menunggu lama karena Miranda cukup terkenal dengan sifat arogannya dan banyak yang mengeluh tentang hal itu. Untuk ketemu wanita itu walaupun sudah memiliki janji temu, mereka tetap harus menunggu sehingga satu atau dua jam lamanya dengan alasan dirinya sibuk. Di saat aku dan Dokter Adam melangkahkan kaki memasuki kafe, ternyata kami sudah ditunggu oleh Miranda dan asistennya. “Pihak yang minta untuk ketemu eh malah ditunggu!” Aku tersenyum mendengarkan sindiran Santi asistennya Miranda. “Janjiannya tepat jam 12.00 dan sekarang arloji saya menunjukkan jam 12.00, maka kami bisa dibilang tepat waktu.” Aku membungkam mulut busuk Santi dengan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh wanita bermulut barbar itu. “Silakan, Dokter Adam.” Aku meminta Dokter Adam untuk duduk di sampingku dan berhadapan langsung dengan Miranda yang sepertinya tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari dokter tampan itu. “Apa saya bisa mulai sekarang?” Aku membuka bicara setelah semua orang duduk dengan nyaman. “Apakah kamu pengacara baru?” Miranda bertanya padaku dan aku sekadar mengangguk kecil. “Mending kamu cari pengacara lain saja karena aku yakin kamu pasti tidak akan bisa menang melawanku jika mengandalkan dia,” kata Miranda pada Dokter Adam. Ia merendahkanku dan meminta Dokter Adam untuk mencari pengacara lain saja. Aku tidak mau bertele-tele dan langsung saja mulai ke intinya, “Apakah permasalahan ini tidak bisa kita selesaikan saja secara damai saja, Nona Miranda?” Aku melemparkan pertanyaan sambil menatap lekat wajah cantik wanita itu. Pemilik nama Miranda Zendaya yang berusia 27 tahun itu, jujur aku akui memang beliau adalah wanita yang cantik. Pantas saja karirnya lancar dan cepat tenar. Namun, sayang sifat arogannya itu menjadi nilai minus di mataku. “Apakah Anda sanggup memaafkan seorang pria yang telah melecehkan Anda, Nona Pengacara? Saya di sini hanya memperjuangkan hak saya dan sangat tidak adil sekali jika Anda meminta saya untuk berdamai dan melepaskan dia begitu saja!” Miranda menjawab dengan sombongnya. “Saya juga punya saksi yang bisa membuktikan kalau Dokter Adam memang bersalah dan melecehkan saya!” tambah wanita itu lagi. “Nona Miranda hanya akan memaafkan Dokter Adam jika Dokter Adam mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya ke publik dengan mengadakan konferensi pers, serta membenarkan tuduhan itu.” Santi yang dari tadi bungkam kini angkat bicara. Santi kembali melanjutkan, “Lalu berjanji akan menikahi Nona Miranda dalam waktu terdekat.” “Meski di dunia ini hanya tersisa satu orang saja wanita dan itu adalah Anda, maka saya lebih rela tidak menikah dan saya tidak akan pernah meminta maaf atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan! Titik!” Dokter Adam mulai tersulut emosi dan aku harus menenangkannya. “Dokter Adam, jaga emosi Anda! Jangan mudah terpancing,” bisikku. Untungnya Dokter Adam mendengarkanku. Dengan kasar, dokter tampan itu mendorong kursinya ke belakang dan lantas beranjak pergi dari dari tempat duduknya. “Anda bisa melihat, Dokter Adam sendiri yang tidak bisa menerima persyaratan dari saya. Jadi bukan salah saya, dong!” Miranda mengangkat bahunya dan menatapku dengan seringai jahatnya. Dari persyaratan Miranda itu, aku bisa tahu jika ada yang tidak beres. Lebih baik untuk saat ini, aku benar-benar harus mengunjungi klub malam itu untuk mencari petunjuk, apa pun itu. “Baik! Terima kasih atas waktunya, karena tidak ada lagi yang bisa kita diskusikan maka kami permisi saja.” Usai pamit pada kedua wanita sombong itu, aku beranjak bangkit dari kursiku mengikuti setiap jengkal langkah Dokter Adam yang sudah lebih dulu melangkah keluar dari kafe. “Buang-buang waktu saja!” Aku mendengar dokter muda itu bergumam kecil dan lantas masuk ke mobil yang di parkir di parkiran umum. “Pada hari kejadian, apakah Dokter Adam benar-benar pergi ke Infinite Club?” Aku bertanya setelah mendudukkan bokongku dengan nyaman pada jok penumpang di samping pengemudi. “Iya, dan aku mabuk berat,” jawabnya tanpa melihat ke arahku. “Sendirian?” tanyaku lagi. “Aku pergi bersama Bryan dan sekarang Bryan menghilang entah ke mana,” ketus Dokter Adam. Telapak tangannya meremas kuat gagang stir sehingga tangannya memutih. ‘Ada yang tidak beres,’ batinku dalam diam dan aku memutuskan untuk mendatangi klub malam itu nanti malam. Tidak ada obrolan di sepanjang perjalanan kami menuju ke rumah sakit. Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudi oleh Dokter Adam memasuki pelataran rumah sakit dan aku melangkah keluar dari mobil setelah Dokter Adam mematikan mesinnya. “Nona Naira! Jangan pernah berpikir untuk menjejakkan kakimu ke Infinite Club!” Dokter Adam seolah bisa membaca jalan pikiranku, dan aku hanya bisa menyeringai menatapnya. “Aku tidak akan pernah tunduk pada sebuah kejahatan,” ucapku lantas pergi begitu saja meninggalkan dokter tampan itu di belakang. Setelah melewati beberapa ruangan praktik, akhirnya aku tiba juga di ruangan kerjaku dan aku melihat Belly sudah ada di sana sedang melambaikan tangan padaku. “Kamu pasti, Nona Naira, kan?” Pria berkacamata tebal itu mengulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan. “Iya, panggil aku Naira saja,” jawabku lantas menyambut uluran tangan rekan sejawatku itu. “Oh iya! Pak Rustam ke mana?” Aku bertanya karena tidak melihat keberadaan pria paruh baya itu. “Pak Rustam lagi dipanggil sama Bapak Presdir rumah sakit. Mungkin saja karena kasus yang menjerat Dokter Adam Collin,” jelas Belly padaku panjang lebar. Aku mulai tertarik ingin mengetahui seperti apakah karakter Dokter Adam, dan sepertinya Belly adalah orang yang tepat tempatku bertanya. “Emm... Belly!” “Panggil saja Bell, lebih mesra,” canda Belly memotong cepat ucapanku sambil menaikkan alisnya dengan menggoda. Aku terkekeh geli menanggapinya, “Bell, Dokter Adam itu orangnya seperti apa?” “Dokter Adam seorang dokter pria yang masih muda, lulusan universitas terbaik dunia pastinya. Dan pastinya dia ganteng, masih berusia 29 tahun... tampan dan....” “Bell! Maksud aku karakternya! Kenapa kamu menyebut dia ganteng dua kali?” Aku menyela ucapan Belly dan membuat pria itu nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kirain apa...,” gumamnya, tetapi aku masih bisa mendengarnya. “Dokter Adam sangat disiplin dan aku tidak percaya beliau melakukan pelecehan. Yah, biarpun bukti itu menunjukkan beliau yang melakukannya.” Dengan cepat Belly menjawab pertanyaanku. “Bell, kamu sudah punya pacar?” tanyaku pada rekan sejawat yang baru saja aku kenal beberapa menit. “Belum, sih. Apa Nona Naira mau nembak aku?” Belly mengulum senyum dan aku jijik sekali melihatnya. “Pikiran kamu itu jauh banget, Bell! Kalau kamu belum punya pacar... Bagaimana kalau nanti malam temani aku ke Infinite Club?” pintaku. “Nai, kalo mau dugem pilih klub lain ajalah, jangan Infinite,” tolak Belly. Aku menggeleng pelan sambil berdecak, “Otak kamu itu kalau mendengarkan klub malam auto dugem. Kita ke sana bukan untuk dugem, Belly, kita kesana untuk melihat apakah ada petunjuk lain yang bisa memihak Dokter Adam.” Aku meluruskan kesalahpahaman Belly barusan. Tiba-tiba saja pintu dibuka dari luar, membuat kaget aku dan Belly. Terlihat Pak Rustam masuk dengan wajah masam. Beliau berjalan cepat melewatiku dan Belly begitu saja. “Pak, ada apa?” Aku melihat Belly memberanikan diri bertanya pada pria paruh baya itu. “Dua hari. Itu waktu yang kita punya untuk membuktikan Dokter Adam tidak bersalah dan jika kurun waktu dua hari kita masih gagal maka Dokter Adam akan dipecat,” ucap Pak Rustam sedikit emosi. Belly menatapku dan aku balas menatapnya. “Nai, baiklah, aku akan menemanimu,” ucap Belly dan ini bagaikan angin segar buatku. Setidaknya aku tidak sendirian memasuki tempat seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD