Episode 2

1310 Words
Episode 2 #Kakak Ipar Dia yang membuatku berdebar "Apa ini tidak kemalaman? Bukankah besok kau harus kembali ke Cirebon?" Fandy memainkan anak rambutku yang terbang tertiup angin. Sejak tadi kami cuma duduk sambil menikmati secangkir kopi di cafetaria langganannya. Fandy mungkin heran kenapa aku begitu betah berlama-lama menikmati angin malam. "Kenapa? Jika kau mau pulang, aku bisa naik taksi." "Naik taksi? Lalu apa yang harus ku jelaskan pada orangtuamu, Jihan? Aku mengajak anak mereka jalan, tapi malah membiarkannya pulang sendiri." Aku terkekeh. "Kalau begitu kau bisa menemaniku duduk disini sebentar lagi." Fandy akhirnya mengalah dan memilih memainkan ponselnya. Tapi tak berapa lama laki-laki itu menyembunyikan wajah menggunakan buku menu. "Sial! Kenapa wanita itu ada di sini?" Aku mengikuti arah pandangan Fandy. Seorang wanita baru saja datang sambil menggandeng mesra pasangannya. "Dia siapa? Kau kenal?" tanyaku penasaran. "Dia pacarku. Cih ternyata wanita itu selingkuh." Aku menahan tawa melihat wajah kesal Fandy. Ternyata bukan hanya Fandy yang bisa selingkuh. Pacar Fandy pun bisa melakukan hal yang sama. Entah wanita tadi pacar Fandy yang benar-benar dia perjuangkan atau hanya wanita selingan. "Karma itu ada, Fandy. Jangan bersikap seolah-olah kau laki-laki yang menyedihkan. Bukankah biasanya kau yang selalu selingkuh?" Fandy terkekeh, sama sekali tidak tersinggung atas apa yang ku ucapkan. "Ayo pulang!" Fandy menarik tanganku tanpa menoleh ke belakang. Mungkin Fandy juga takut di tuduh selingkuh. Melihat Fandy yang seperti itu, aku merasa Fandy ingin menjalani hubungan serius dengan wanita tadi. "Untunglah dia tidak melihat kita." ujar Fandy setelah dalam perjalanan. "Kau menyukainya?" Fandy mendengus. "Suka? Sorry, wanita seperti itu bukan wanita yang patut di perjuangkan." Aku mengerutkan kening. "Lalu kenapa kau buru-buru pergi? Bukankah kau takut dia salah paham terhadap hubungan kita?" Fandy mengangguk. "Tentu saja aku takut dia salah paham. Kau tau betul kan, sudah berapa kali kau jadi korban kekerasan wanita bar-bar yang pernah ku kencani." Aku melongo, tak menyangka jika Fandy khawatir kejadian-kejadian seperti dulu terulang kembali. Lebih tepatnya, Fandy menghawatirkan keadaanku. "Ternyata itu alasannya. Ku pikir kau ingin memulai hubungan serius dengan wanita tadi." "Serius itu hanya akan ku lakukan jika sudah menemukan wanita yang tepat, Jihan. Tapi sampai sekarang aku belum menemukannya." Fandy tampak membuang muka. Mungkin kisah kami sama. Hanya saja, aku sudah menemukan orang yang ku inginkan. Tapi tentu saja, aku tidak mungkin memilikinya. Berbeda dengan Fandy, laki-laki itu masih terus mencari dengan memacari banyak wanita. *** Rumah sudah gelap saat aku sampai. Hanya ada mbak Sumi yang masih terjaga untuk membukakan pintu. Aku berjalan mengendap-endap persis seperti pencuri. Rasanya begitu lega saat sampai di kamar. Setelah mengganti baju dan mencuci muka, aku turun ke lantai bawah. Saat itulah mataku menangkap sosok yang sejak tadi berusaha ku hindari. Kak Gema, dia tengah duduk di meja makan sambil membuka laptopnya. Aku mematung, memperhatikan wajah serius kak Gema saat sedang bekerja. Ini sudah pukul setengah dua belas malam. Tapi laki-laki itu masih sibuk melihat-lihat tabel yang tertera di depan matanya. Dia begitu tampan. Aku kesulitan menelan ludah saat melihat kak Gema meraih gelas dan meminum habis isinya. Tiba-tiba aku ingin menjadi gelas itu. Menjadi sosok yang begitu dekat dan bisa disentuhnya. Setelah menghela napas panjang, akhirnya ku bulatkan tekad untuk mengambil air minum. Bukankah itu tujuanku datang ke dapur? Kak Gema cukup kaget saat melihat kedatanganku. Sesaat laki-laki itu menghentikan kegiatannya. Aku menuju lemari es dan mengambil dua botol air mineral. "Kenapa pulang malam sekali?" Aku terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba dari kak Gema. Kenapa dia bisa tau kalau aku baru pulang? "Sudah lama tidak bertemu, kak. Jadi kami sedikit lupa waktu." "Apa sekarang kau masih punya waktu?" Aku mengedipkan mata berkali-kali. Tidak percaya pada kalimat yang baru saja ku dengar. "Maksudnya?" tanyaku bingung. "Kau bilang tadi kalian lupa waktu, bagaimana kalau sekalian saja lupakan waktu tidurmu malam ini. Kakak butuh bantuan." Ada perasaan senang sekaligus deg-degan saat kak Gema menarik kursi disebelahnya dan memintaku duduk. Aku menurut, duduk di sebelahnya sambil menatap penuh tanya. Seperti siang tadi, kak Gema tidak menghindari tatapanku. Dan sialnya aku menikmati momen tidak terduga ini. "Apa kau bisa membantu kakak membuat secangkir kopi? Sepertinya malam ini kakak akan begadang. Kakakmu sudah tidur, tidak enak jika dibangunkan hanya untuk hal sepele seperti itu." Aku mendesah kecewa. "Cih wajah kakak begitu serius, ku pikir kakak mau meminta bantuan soal pekerjaan." Kak Gema tertawa kecil. Ah kenapa tawa itu begitu manis? Aku berdiri menuju kompor dan mulai memanaskan air. Pikiranku sudah menerawang kemana-mana. Ku pikir kak Gema akan memintaku tinggal lebih lama dan menemaninya sampai pagi. Karena asyik melamun saat mengaduk kopi, tak sengaja tanganku terkena air panas. Aku meringis sambil meniup jari telunjuk yang memerah. "Kau terluka?" tanyanya khawatir. Aku tersenyum kikuk sambil memperlihatkan jari telunjuk padanya. Merasa tidak bisa melihat dari jarak yang cukup jauh, kak Gema datang mendekat. Di luar dugaan, bukan hanya mendekat, kak Gema malah menyentuhnya. "Apa lukanya sakit? Jarimu memerah Jihan." Aku mengangguk. "Tapi tidak begitu sakit, kak. Tidak perlu khawatir." "Ini salahku." sesalnya. "Kenapa salah kakak? Itu karena aku kurang hati-hati." jawabku cepat. Kak Gema masih memegang tanganku. Sumpah, aku tidak ingin momen ini cepat berlalu. Aku juga tidak akan mengingatkan kak Gema soal itu. Biarlah dia menyadarinya sendiri. "Andai kakak tidak memintamu membuat kopi, hal ini tidak akan terjadi Jihan." Aku terkekeh melihat wajah menyesal kak Gema. "Astaga kakak sangat menggemaskan dengan ekspresi itu." Tanpa sadar, lisanku mengucapkan apa yang seharusnya hanya boleh ada di pikiran. Kak Gema menatapku beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan tanganku. Jujur aku cukup kecewa. "Menggemaskan apanya? Kau ini ada-ada saja." Kak Gema kembali duduk di meja makan. Aku membawakan kopi ke hadapannya. "Terimakasih Jihan." ucapnya pelan. Aku mengangguk singkat. Kak Gema mulai bekerja dengan serius. Sudah tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama menemaninya. Aku menghela napas panjang, masih sangat kurang dengan suasana aneh yang tercipta barusan. Andai kak Gema memintaku menemaninya. Sudah pasti aku rela tidak tidur semalaman. Alih-alih kembali ke kamar, aku malah menikmati angin malam di beranda. Jujur aku tidak bisa tidur. Bayangan sentuhan kak Gema di jari telunjukku, menimbulkan efek yang tidak biasa. Sejak kapan kakak iparku ini berubah romantis dan menyenangkan? Bukankah dia tipe laki-laki kaku dan membosankan? *** "Kau kenapa Jihan? Sejak tadi kau tidak bicara. Apa kau lapar?" Kak Gema bertanya saat kami sudah dalam perjalanan menuju bandara. Pesawat lepas landas jam 8 pagi, tapi kak Gema sudah mengajak berangkat 2 jam lebih awal. Bukan apa-apa, jarak bandara yang cukup jauh sekaligus macet di hari kerja, membuat kak Gema tidak mau ambil resiko. Sejujurnya, aku masih memikirkan kejadian semalam. Tadi malam, saat hampir tertidur di kursi beranda, aku mendengar langkah kaki mendekat. Karena tak mau membuat suasana canggung, aku pura-pura tidur. Ku pikir pasti kak Gema yang datang. Aku merasakan sentuhan lembut membenahi rambutku yang menjuntai. Selimut yang tidak menutup tubuh dengan sempurna, perlahan ditarik hingga sebatas d**a. Aku berusaha keras menahan debaran jantung yang menggila. Tidak, aku tidak boleh membuka mata dan menghancurkan mimpiku yang begitu indah. Rambut yang terus di belai, memberi perasaan nyaman yang menghantarkan mata untuk benar-benar terlelap. Aku jatuh tertidur tanpa sempat mencari tau siapa pelaku yang sudah membuatku berdebar-debar. "Hei." Kak Gema mengembalikan kesadaran dengan mengibaskan tangan di depan muka. Aku tergagap sembari menyingkirkan tangan laki-laki itu. Tanpa sadar lagi-lagi tangan kami bersentuhan. "Kau memikirkan apa?" tanya kak Gema serius. "Bukan apa-apa kak." "Pasti ada apa-apa. Kau tidak ingin kakak tau?" tanyanya. Aku menghela napas berat. Haruskah ku tanyakan soal kejadian semalam? "Tuh kan melamun lagi. Kalau memang sulit untuk bercerita, ya tidak apa-apa." kak Gema akhirnya mengalah. Aku kembali menghela napas berat dan menyusun kalimat yang tepat untuk bertanya. Setelah yakin, barulah ku cari tau apa yang sejak tadi membuat pikiranku tidak tenang. "Apa kakak yang semalam membenahi selimutku di beranda?" Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Bukan karena jalanan yang mulai macet atau bahan bakar yang tidak cukup. Tapi kak Gema menginjak rem karena kaget. Melihat reaksi kak Gema, aku mulai menyimpulkan sesuatu yang sejak semalam ku pikirkan. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD