Biaya Operasi

1159 Words
"Vi! Vi ... buka pintunya!" teriak Hermanto memanggil-manggil putrinya. Mata lelaki itu setengah terpejam. Sesekali ia menghirup batang berisi zat nikotin yang berada di sela jemari tangan kanannya. "Vi! Anak bodoh!" teriak Hermanto seraya menendang pintu kayu jati itu, karena pintu tak kunjung terbuka. Siapa yang akan membuka pintu untuknya, di saat waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Sudah pasti seluruh penghuni rumah sudah tidur. "Awas saja! Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya membuat aku menunggu di sini." Hermanto menyandarkan kepalanya yang terasa pusing di dinding kayu rumahnya. Pria tua itu mabuk lagi, dan dapat dipastikan ia baru pulang dari tempat perjudian. Kriett. Suara pintu yang terbuat dari kayu jati dibuka memenuhi telinga Hermanto. Pria itu tersenyum entah dalam keadaan sadar atau tidak. "Anak tak berguna! Buka pintu saja tidak becus," umpat Hermanto seraya masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki yang tak beraturan. Lovi tak menjawab atau pun melawan, karena ia tahu bapaknya mabuk lagi. Lovi yang tahu betul tabiat buruk Hermanto sehingga memilih untuk tidak menjawab. Lovi tidak ingin timbul masalah lagi. "Ambilkan aku minum!" perintah pria itu lagi. Tanpa menunggu perintah dua kali, Lovi segera ke dapur mengambilkan minum untuk Hermanto. Tak lama gadis itu sudah kembali dengan segelas air putih. Lovi meletakkan air itu di meja yang berada di hadapan ayahnya. Kemudian Lovi kembali ke kamarnya seperti hari-hari sebelumnya. Tak menghiraukan kondisi ayahnya yang mabuk. Karena sebenarnya Lovi takut, jika Hermanto sampai memukulnya lagi seperti tempo hari. Brak brak brak! Setelah menutup pintu, Lovi berbaring dan berniat tidur lagi. Namun, baru saja gadis itu ingin memejamkan matanya kembali, pintu kamarnya digebrak dengan paksa. "Hei, anak sial! Buka pintunya!" teriak Hermanto dengan kasar. Brak brak brak! Bukannya membuka pintu, gadis itu meringkuk di pojokan kamar karena ketakutan. Ia membalutkan selimut ke seluruh tubuhnya. Suara pintu digebrak memekakkan telinga gadis itu. Membuat tubuh gadis itu bergetar ketakutan. Ia yakin ia akan dipukul lagi oleh bapak tirinya. Brakk! Sebuah tendangan kasar berhasil membuat pintu terbuka. Dan Hermanto dapat melihat dengan jelas bagaimana anak tirinya meringkuk ketakutan. Seringaian menyeramkan pun terbit di bibir laki-laki yang kehilangan setengah kesadarannya. "Aku bilang buka pintunya, ya buka!" bentak Hermanto kesal. "Ba-Bapak mau apa?" tanya Lovi ketakutan. "Tenang Vi, Bapak tidak akan menyakitimu. Tapi sebagai gantinya, kamu layani Bapak. Kamu tahu sendiri, Ibukmu sudah lama tidak bisa menunaikan kewajibannya," ucap Hermanto penuh kabut semakin mendekati Lovi. "Ti-tidak Pak. Jangan!" Lovi semakin meringkuk ketakutan. "Vi, ayolah!" Hermanto menarik paksa selimut Lovi hingga gadis itu tak dapat bersembunyi lagi. "Kyaaa ... jangan Pak!" teriak Lovi ketika Hermanto berusaha memeluk dan menciumnya. Gadis itu mendorong tubuh sang ayah tiri agar menjauh. "Halah, jangan jual mahal Kamu," bentak Hermanto kasar saat Lovi terus menolaknya. "Tolong ... tolong!" Dalam keputusasaan gadis itu minta tolong dengan linangan air mata. "Diam aku bilang! Diam!" teriak Hermanto kesal karena penolakan Lovi. "Hiks hiks, jangan Pak. Ampuni Lovi." Lovi mengiba, meminta belas kasih dari ayah tirinya. "Tenanglah Vi, nanti enak kok. Bapak jamin Kamu suka," rayu pria mabuk itu. "Tidak!! Jangan!!" Lovi menendang pangkal paha Hermanto hingga pria paruh baya itu kesakitan. "Arggh, anak kurang ajar! Tidak tahu diuntung!" Kesabaran Hermanto sudah habis. Ia tak sabar lagi untuk menerkam anak tirinya. Karena Lovi menolak, tak ada cara lain selain memaksanya. "Bapak! Apa yang Bapak lakukan?" tanya wanita ringkih itu dari ambang pintu. Ia memaksakan diri untuk bangun karena mendengar keributan di tengah malam itu. Suara Ira berhasil membuat Hermanto menghentikan kelakuan buruknya. Hermanto segera melepaskan Lovi. Dengan tubuh bergetar, Ira menghampiri putrinya. Wanita ringkih itu menangis dan mendekap erat kepala anak gadisnya. "Maafkan Ira tak bisa menunaikan kewajiban Ira kepada Bapak. Tapi Ira mohon jangan sakiti Lovi. Putri Ira satu-satunya. Jangan Pak. Ira mohon." Ira memohon dengan menangis. "Ira rida jika Bapak menikah lagi. Ira rela asalkan jangan sakiti Lovi, Pak." "Hah! Perempuan tidak berguna berani mengatur aku." Hermanto sangat kesal karena kegiatannya diganggu oleh Ira. Ia kembali ke ruang tamu dan merebahkan diri di kursi reyot rumah itu. "Tenang Nak. Sudah tidak apa-apa. Maafkan Ibuk. Maafkan Ibuk yang tak bisa melindungimu Nak," hibur Ira. Wanita itu merasa sangat kasihan pada putri semata wayangnya. "Buk, Lovi takut." Tubuh gadis itu masih bergetar hebat. "Sudah tidak ada apa-apa. Ibuk di sini." Lovi memeluk erat tubuh ibunya. Beberapa menit Ira membiarkannya, wanita itu balas mendekap putrinya. "Ya sudah Kamu istirahat, Ibuk juga kembali ke kamar ya Nak," pamit Ira setelah putrinya tenang. "Mari Lovi antar Buk." Lovi tidak tega melihat ibunya kepayahan meski hanya berjalan. "Tidak perlu, Ibuk bisa sendiri." Ira bangkit dengan gemetaran dan berjalan menuju kamarnya. Namun belum sempat wanita itu keluar dari pintu kamar putrinya, Ira jatuh pingsan. "Ibuk!" teriak Lovi ketakutan. Ia memeluk tubuh ibunya yang tak berdaya. Hermanto yang mendengar keributan segera kembali ke kamar Lovi. Pria itu terkejut mendapati Ira yang pingsan tak sadarkan diri. Hermanto terkejut dan panik. Tanpa menunggu waktu lebih lama, ia membawa istrinya ke rumah sakit. Pria paruh baya itu sangat ketakutan jika terjadi hal buruk pada Ira. Hermanto dulu, bukanlah seperti sosoknya yang sekarang. Dulu, ia adalah pria yang bertanggung jawab. Sangat mencintai Ira. Bahkan bukan hanya terhadap ira, Hermanto juga sangat menyayangi Lovi, anak tirinya dengan tulus. Namun semua berubah ketika Ira jatuh sakit. Wanita itu mengalami gagal ginjal dan membutuhkan banyak uang untuk operasi transplantasi. Sudah banyak uang yang mereka habiskan untuk biaya cuci darah Ira. Hingga harta mereka hampir habis tak bersisa. Hermanto yang frustrasi menjadi suka mabuk dan berjudi. "Maaf, Pak. Keadaan Ibu memburuk dan harus segera dilakukan operasi transplantasi. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi," ucap Dokter Hari yang memeriksa keadaan Ira. "A-apa Dok?" tanya Hermanto ketakutan. "Mohon bersabar ya, Pak. Tapi saya harus menyampaikan kabar buruk ini. Ibu benar-benar harus segera mendapatkan penanganan. Kalau bisa segera siapkan biayanya. Karena kita tahu ginjal Bapak cocok untuk Ibu. Jadi tidak perlu khawatir soal pendonor. Ya sudah saya permisi ya, Pak." Dokter yang menangani Ira segera pamit dan undur diri. "Argh, Ira ... kenapa harus begini? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi?" Hermanto terduduk lesu meremas rambutnya karena frustrasi. Ia tak mau kehilangan Ira, wanita yang sangat ia cintai. Tiba-tiba ia teringat pada Lovi yang duduk di kursi tunggu di hadapannya. Ia menarik tangan gadis itu dengan kasar. "Pokoknya Bapak tidak mau tahu! Kamu harus mencari uang untuk pengobatan ibumu." "Dari mana Lovi bisa dapatkan uang sebanyak itu, Pak?" "Bapak tahu caranya. Kamu harus jadi pembantu di kota. Besok lusa kita pergi ke Jakarta. Jangan menolak! Atau ibumu tidak akan selamat," ucap Hermanto dengan nada mengancam. "Ba-baik Pak. Lovi akan menurut demi ibuk." Akhirnya gadis itu menyetujui demi kesembuhan sang ibu. Apa pun akan Lovi lakukan asal sang ibu selamat. "Bagus. Sepulang dari rumah sakit, segera berkemas. Jangan bicara macam-macam pada Ira. Atau keadaannya akan semakin memburuk. Biar Bapak yang atur nanti jika ibumu bertanya," perintah pria itu. "Iya, Pak. Terserah Bapak saja. Lovi akan menurut asal ibuk bisa sembuh." "Bagus, sekali-kali jadilah anak yang berguna. Balas budi baik ibumu dan aku yang selama ini sudah membesarkanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD