Bab 3: Janji

1095 Words
Ellie "Dengarkan Ayah, Ellie!" protes Michael saat Ellie berjalan menjauh darinya, bukan untuk pertama kalinya. Dia hendak pergi melihat kondisi salah satu anggota tua kawanan, seorang janda bernama Helen yang sudah selalu seperti seorang nenek baginya. Karena Helen sedang tidak enak badan akhir-akhir ini, Ellie telah meminta tabib, Margaret, untuk memeriksa kondisinya, tetapi Ellie ingin melihat sendiri keadaannya. "Jangan sekarang, Ayah," kata Ellie, berharap ayahnya menyerah begitu saja. Selama tiga hari terakhir, ayahnya hanya terus membahas tentang sayembara yang ingin dia adakan untuk Ellie, agar dia bisa menemukan seorang suami. "Ellie, ini pasti akan sempurna! Kau ingin menikahi seseorang karena alasan kekuatan, 'kan? Bukan karena cinta?" "Ya, Ayah," katanya, tanpa berbalik menatap ayahnya. Ellie tahu yang diinginkan ayahnya untuk dia. Ayahnya lebih suka Ellie bertemu dengan "pasangan yang ditakdirkan" untuknya, pria yang dipilih untuknya oleh Dewi Bulan langsung, namun Ellie bahkan tidak percaya hal seperti itu mungkin terjadi, intinya sudah tak lagi percaya. "Ini cara yang bagus! Kita akan memperkuat persekutuan dengan semua kawanan di sekitar sini, dan pada akhirnya, kita akan memiliki dua pemimpin kawanan yang kuat secara fisik dan mampu memimpin kawanan kita. Ini solusi yang sempurna!" Ayahnya bernapas agak berat selagi dia berbicara sekaligus menyusul langkah Ellie, pengingat lain bahwa dia bukan lagi anak muda seperti dahulu. Ellie akhirnya berbalik menatapnya dan memperhatikan betapa dalamnya keriput di sekitar matanya.Ayahnya baru berusia awal lima puluhan, tetapi waktu dan kesedihan telah berdampak berat terhadapnya. Dia harus pensiun. Tetap saja, mengadakan sayembara untuk tujuan Ellie menikahi pemenang adalah keputusan yang besar, keputusan yang tidak bisa dianggap enteng, dan Ellie belum yakin dia bisa setuju. "Aku akan memikirkannya," katanya—sekali lagi. Michael menggeram. "Begitu katamu sejak tadi!" "Dan Ayah belum memberiku waktu untuk memikirkannya!" ujarnya. Pondok Helen tepat di depan mereka. Dia berharap ayahnya tidak akan lanjut berdebat dengannya selagi dia masuk ke dalam. "Dengar, Ayah akan kembali ke kantor dan menyusun rencana. Kau akan lihat nanti—rencana ini pasti sempurna. Kita akan mengundang semua Alpha yang lajang di daerah ini, keenamnya. Mereka semua pemimpin yang kuat dan garang. Sebagian besar dari mereka mungkin juga tampan." Dia mengedipkan mata, dan Ellie menggelengkan kepala. "Tidak ada salahnya, 'kan?" "Kurasa tidak," katanya, merasakan pipinya memerah karena mengakui hal itu kepada ayahnya. "Lihat saja nanti, Ellie. Begitu Ayah selesai, kau akan tahu inilah cara yang seharusnya, mengerti? " "Baiklah," kata Ellie dengan enggan. Dia hanya tahu bahwa dia tidak akan tega menolak ayahnya setelah dia bersusah payah berusaha seperti itu. "Susunlah, dan aku akan datang melihatnya setelah kembali melihat keadaan Helen." Wajah Michael sumringah seperti anak kecil yang tahu akan mendapatkan hadiah yang sempurna di hari Natal. "Segera!" serunya, lalu berbalik dan kembali ke kantor dengan langkah ringan, tak seperti sebelumnya. Ellie menggelengkan kepala, lalu mengetuk pintu pondok Helen sebelum dia membukanya sedikit dan menjulurkan kepala ke dalam. "Helen? Apa kau di rumah? Ini Ellie." "Ya, Sayang! Aku di sini!" seru wanita itu dengan suara lemah. Karena tahu dia mungkin di tempat tidur, Ellie masuk menuju kamar tidur. Dia melihat wanita tua itu terbaring di sana, bersandar di tumpukan bantal, memegang tisu bekas di tangannya. Rambut putihnya membingkai wajahnya yang pucat, dan dia tampak lebih lemah dari sejak terakhir kali Ellie melihat kondisinya, beberapa hari yang lalu. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Ellie sembari duduk di atas kursi di samping tempat tidurnya. "Oh, lumayan," kata Helen sambil tersenyum. "Bagaimana kabarmu, Sayang? Sibuk seperti biasanya?" Dia tertawa kecil. Dia selalu menggoda Ellie karena sibuk tapi masih punya waktu untuk semua orang. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu. Mau kuambilkan sesuatu?" "Tidak, terima kasih, Sayang. Margaret baru saja menjengukku belum lama ini, jadi semua kebutuhanku sudah terpenuhi. Tapi senang melihat wajah cantikmu. Bagaimana kabarmu?" "Baik," kata Ellie sambil mengangguk. Itu tidak sepenuhnya benar. Selalu ada kekhawatiran dalam benaknya, mengenai dia yang harus memimpin seluruh kawanan dan yang lainnya. Dan tentu saja, ada juga rencana ayahnya. Tapi semua itu tampaknya tak patut dibahas saat ini. "Tapi aku mengkhawatirkanmu." "Jangan, Sayang." Helen menjulurkan tangan dan mengelus tangan Ellie. "Aku akan baik-baik saja. Dan jika tidak, sudah waktunya aku pergi dan dipertemukan kembali dengan Howard-ku." Senyuman manis menghiasi wajah Helen saat dia menoleh ke foto dirinya di atas nakas sebagai pengantin cantik yang berdiri di samping seorang pria berjas yang jelas adalah suaminya. Ellie belum pernah bertemu dengan Howard karena dia meninggal sebelum Ellie lahir, tetapi dia sudah mendengar cerita tentangnya dan tahu bahwa dia pria yang baik. Cinta di antara mereka berdua terpampang jelas, dari foto maupun dari cara Helen bercerita tentang Howard. "Dengar, Sayang, ada janji yang ingin aku minta darimu." Dia memiringkan kepalanya lebih dekat ke Ellie sembari dia berbicara, menunjukkan kepada Ellie bahwa ini persoalan penting. Tetap saja, Ellie mendengar nada dalam suaranya dan menampiknya. "Oh, Helen, kau pasti akan baik-baik saja! Kau akan segera kembali bekerja di kebunmu!" Helen menggelengkan kepala, senyumnya tidak memudar. "Dengar, Nak. Kau mungkin Alpha dan Luna kawanan ini, tapi aku ingin kau tahu sesuatu. Jangan biarkan tanggung jawabmu terhadap orang lain membuat kebutuhanmu sendiri terabaikan. Kau bisa memiliki keduanya! Kau bisa memiliki pria penyayang yang hebat dan tetap menjadi pemimpin yang baik untuk kawanan ini. Sama seperti orang tuamu. Jangan cepat berpuas diri, Sayang. Jangan tunda kebutuhanmu. Kau pantas bahagia. Kau orang yang baik, orang yang luar biasa, dan aku tahu Dewi Bulan menakdirkan orang yang sempurna untukmu sedang menunggu di luar sana." Helen mengelus tangan Ellie sekali lagi tetapi kemudian mulai terbatuk-batuk sangat keras, itu membuat Ellie khawatir. Dia meraih segelas air dari atas nakas dan membantu Helen minum. Wanita yang sangat dia sayangi itu telah bicara dari hati ke hati dengannya. Jika Ellie boleh jujur, sejak dahulu dia menginginkan cinta seperti yang dimiliki oleh orang tuanya, seperti cinta antara Helen dan Howard. Dia hanya takut. Takut bahwa, karena kutukan, dia tidak akan pernah menemukan pria itu. Atau... mungkin dia tidak pantas mendapatkannya. Tetapi jika ayahnya dan Helen benar, dan ada seseorang di luar sana yang menunggunya, mungkin sekaranglah saatnya untuk mulai mencari orang itu. Mungkin bukan suatu kebetulan rencana ayahnya bertepatan dengan Helen memberi nasihat. "Baiklah, Helen," kata Ellie, begitu batuk temannya sudah reda. "Aku berjanji padamu. Aku akan memberi cinta kesempatan." Helen tersenyum dan mengelus tangan Ellie sekali lagi. "Bagus, bagus, Sayang. Sekarang, aku tahu, jika ajalku sudah tiba, aku bisa pergi sambil tersenyum." Ellie membungkuk dan mencium pipinya yang sudah keriput. "Kau tidak akan ke mana-mana, Helen." Namun, dia tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Ellie hanya berharap Helen akan hidup cukup lama sampai bisa melihat bahwa dia mendengarkan kata-katanya, cukup lama sampai dia menemukan pria yang dikatakan Helen--jika pria itu benar-benar ada. Dan jika pria itu bisa memenangkan sayembara ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD