Part 2 - Bukan Anak Biasa

1075 Words
Arthur, bocah laki-laki yang ditemukan oleh Kakek dan Nenek Thompson tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan. Rambutnya berwarna putih keperakan bagai dicat dan terlihat berkilau kala sinar mentari menerpa. Dia memiliki warna mata yang unik yang jarang dimiliki orang lain yaitu hijau. Manik-manik mata itu berpendar bagai berlian hijau dengan bulu mata nan lentik tetapi tetap memancarkan kegagahan. Arthur memiliki lesung pipi yang mampu membuat siapapun langsung menyukai senyumnya dan gemas mencubit pipinya kala ia masih balita. Namun, seiring berjalannya waktu anak itu tumbuh lebih kuat bahkan ia tak dapat mengendalikan kekuatan yang ia miliki. Kakek Albert tahu kalau anak itu memiliki kekuatan penyihir sama seperti wanita yang malam itu menitipkan Arthur kala ia bayi. Wanita yang kakek dan nenek itu yakini kalau dialah ibunya Arthur. Namun, wanita itu tak pernah kembali. “Arthur, hari ini Kakek dan Nenek akan pergi ke pasar tradisional Summerside, selepas pulang sekolah nanti, kau harus merapikan rumah ya,” ucap kakek Albert seraya mengusap pucuk kepala anak itu. “Baik, Kek. Serahkan semua pekerjaan itu kepadaku.” “Ingat, jangan kau gunakan sihirmu. Aku tak mau ada tetangga yang mengadu ketakutan seperti saat kau membakar lahan belakang lalu langsung ditumbuhi bunga,” ujar Nenek Louise. “Nek, tak ada yang percaya padanya karena saat itu Tuan Hendry sedang mabuk ha-ha-ha lucu sekali, ya.” “Arthur … patuhi perintah Nenek!” seru Kakek. “Okay, aku mengerti. Kalian hati-hati ya, aku berangkat ke sekolah dulu.” Arthur lalu pamit dan mengayuh sepeda menuju Sekolah Dasar Summerside. Anak lelaki yang tampan itu kini menginjak kelas lima. Sayangnya ia tak pernah memiliki teman. Anak laki-laki itu takut jika dia akan melukai kawannya nanti, oleh karena itu ia selalu menyendiri dan menghindar. Akan tetapi, ada satu anak yang bersikeras untuk menjadi temannya Arthur, namanya Simon. Simon merupakan anak yang manis, imut, dan lucu yang selalu baik hati dan tak pernah lelah untuk mendekati Arthur. Anak yang berbadan tambun itu merasa aman jika ia berada dekat dengan Arthur. Sebenarnya banyak anak perempuan yang menyukai ketampanan Arthur, hanya saja anak itu selalu menghindar dan tak mau menanggapi. Namun, hal itu malah dimanfaatkan Simon untuk meraup keuntungan. Para anak perempuan acap kali memberikan hadiah berupa coklat atau kue untuk Arthur. Namun, anak lelaki itu tak pernah mau menerima dan menyerahkannya pada Simon. “Arthur, apa kau masih ingin melanjutkan sekolah menengah pertamamu di sekolah ini?” tanya Simon. “Entahlah, mungkin saja iya karena hanya di sinilah sekolah yang lengkap sampai jenjang menengah atas di kota ini.” “Kalau aku sih ingin pindah ke sekolah di kota sebelah, tetapi ayahku tak mengijinkankan karena harus menggunakan bus sekitar dua jam perjalanan.” Arthur terdiam seraya melangkah menuju parkiran sepeda. Seorang anak perempuan memanggil Simon. Anak perempuan berambut pirang itu meminta Simon untuk mengajak Arthur memancing ke sungai bersama anak yang lain. “Tunggu di sini, aku akan tanya pada Arthur.” Simon lalu melangkah menghampiri Arthur yang sudah bersiap menaiki sepedanya. “Arthur, apa kau ingin pergi memancing?” tanya Simon. “Tidak mau, kau pergi saja bersama yang lain!” “Ayolah, sudah enam tahun kau terus menyendiri tanpa teman. Memangnya kau tak ingin punya teman dan bergaul bersama kami?” “Aku tak mau dan tak ingin,” ucap Arthur dengan tegas. Dia langsung mengayuh sepedanya dan meninggalkan Simon yang masih asik mengunyah sebatang coklat. “Huh, pantas saja mereka menyebutmu anak yang sombong,” gumam Arthur. Kota Summerside itu tak begitu besar. Kota yang memiliki jumlah penduduk kurang lebih sepuluh ribu jiwa itu sangatlah tenang. Berada di pinggiran hutan dan sungai di belakang bukit nan hijau, menambah kesejukan kota tersebut. Sampai saat ini, Arthur dan kakek neneknya masih meyakini kalau hanya mereka manusia keturunan penyihir di kota tersebut. Untuk itulah keluarganya selalu berusaha menyembunyikan identitasnya. Sampai suatu hari, terjadi kejadian mengerikan di sekolah dasar tempat Arthur bersekolah. Seorang remaja SMA yang kehilangan kewarasannya membawa senjata api dan memberi tembakan pada semua anak yang berkumpul di kantin sekolah dasar. Diduga anak muda itu tak terima kala dimarahi oleh salah satu guru dan harus mendapatkan malu karena diperintahkan berlari keliling lapangan sekolah hanya menggunakan celana boxer. Lebih parahnya lagi, ternyata remaja bernama Pholand itu merupakan korban tindak kekerasan dari sang ayah tiri yang menyebabkan ia mengalami gangguan kejiwaan. Arthur menjadi salah satu korban penembakan. Bagian d**a kanannya terasa panas terkena timah peluru kala itu dan membuatnya jatuh tersungkur di samping Simon. Anak laki-laki itu sebenarnya mencoba menarik tubuh sahabatnya dari kantin. Akan tetapi, nasib sial menghampirinya kala pemuda tak waras itu menembak punggungnya. Darah mengalir di lantai dari luka tembakan yang menembus ke bagian d**a kiri Simon yang jatuh tergeletak di samping Arthur. Simon berusaha menggapai tangan Arthur. Anak bertubuh tambun itu tersenyum kepadanya untuk yang terakhir kali, lalu ia menutup mata. Jantung Simon terkena tembakan dan membuatnya tewas kala itu. Rasa amarah memenuhi d**a Arthur dan membuatnya sesak kala ia mendapati sahabatnya telah tiada. Anak itu bangkit dan menelisik para korban yang berjatuhan di sekelilingnya. Pholand menatap tak percaya kala melihat Arthur bangkit meskipun dadanya sudah terkena tembakan. Pemuda itu mengacungkan senjata api di tangannya ke arah anak lelaki di hadapannya itu. Namun, dengan kekuatan yang anak itu miliki, ia menyerang pemuda tersebut sampai membentur kompor-kompor di dapur kantin sekolah itu. Emosi kemarahannya memuncak sampai akhirnya ia meledakkan gas di dapur kantin dan membakar pemuda bernama Pholand itu hidup-hidup. Pemuda yang tubuhnya terbakar itu berusaha berlari dan berteriak, “dia penyihir, dia penyihir!” Namun, tak ada yang mendengar jelas teriakan Pholand. Pemuda itu tewas terbaring dalam keadaan terbakar di halaman belakang sekolah samping kantin. Arthur merasakan lemas dan tak bisa lagi bernapas. Dia menarik napas panjang lalu kegelapan menyeruak penglihatannya dan membuat anak itu tak sadarkan diri. Arthur dan Simon merupakan salah satu korban penembakan yang dinyatakan tewas saat itu. Menurut polisi setempat terdapat dua puluh tujuh anak yang menjadi korban senapan api remaja gila itu. Sepuluh anak diantaranya dinyatakan tewas. Nenek Louise langsung mematikan siaran berita terbaru di channel TV5 kala itu dan bergegas bersama Kakek Albert menuju ke sekolah Arthur. Saat berada di rumah sakit, keanehan kembali terjadi. Luka tembak di d**a Arthur mendadak sembuh dan anak itu ternyata masih hidup. Peluru biasa tak akan membuat anak itu mati kecuali peluri berbahan perak. Namun, Nenek Louise berusaha untuk membuat anak itu tetap terlihat mati. Ia tak mau para suster maupun dokter merasakan kejanggalan pada cucunya tersebut. Kakek dan Nenek Thompson memutuskan untuk membawa Arthur pergi dan pindah dari kota Summerside.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD