Bab 2 : Tak sebanding

1312 Words
The Hamptons Lincoln Mansion, New York. 22.35 (GMT-5) Ekor mata seorang Leo menyapu setiap sudut ruang yang terlihat begitu megah, dan dipenuhi dengan barang mewah yang seharga fantastis. Dalam hati ia membandingkan… oh c'mon… tempat pos penjaga depan mansion ini saja tidak sebanding dengan gubuk reok milik mendiang ayah nya, apalagi… hhh… tetap saja, ia tak butuh semua ini. Leo ingin bebas seperti kemarin, walau harus berlari kesana kemari untuk mencari makan. Tapi sekarang saja dia berada di negara orang. Lebih tepatnya, orang yang telah membelinya seharga 10 milyar. Pemuda itu bertanya-tanya dalam hati, siapa Nyonya Presdir yang mereka maksud? Apa untungnya ia dibeli, seakan dia adalah harta yang sangat berharga. Pertanyaan demi pertanyaan semakin bertambah dalam benak Leo, Ia melirik beberapa pelayan yang tengah menunduk hormat pada nya. Dan juga… "Aku Helena Scarlett, kepala pelayan dan pengasuh di sini. Ke Empat pengasuh itu yang akan mengurus semua keperluanmu. Jadi, apa pun yang kau inginkan atau butuhkan katakan pada mereka. Jangan menolaknya, kau tak ingin mereka dipecat karna penolakan darimu, 'kan?" Leo menggeleng mendengar peneluturan wanita ber umur 63th itu. Ia menatap remot yang dia terima dari salah satu pengasuh, "I-ini untuk apa?" tanyanya meralih ke arah Helena bingung. "Nomor-nomor yang tertera di sana adalah nomor mereka. Coba tekan nomor berapa yang kau inginkan," Leo menekan nomor 3, dan tak lama getaran dari saku salah satu pengasuh terdengar. "Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya sang pengasuh masih dengan posisi menunduk, hanya langkah yang sedikit mendekati Leo. "Dia Lana, tugas nya menyiapkan segala yang berhubungan dengan pakaianmu." Leo mengangguk kaku mendengar ucapan Helena. "Baiklah, mereka akan melakukan tugas nya masing-masing. Sekarang sebaiknya kau istirahat, ini sudah tengah malam. Permisi." Melihat Helena melangkah pergi, Leo lebih dulu menahan nya. "Tunggu Nyonya, aku ingin bertanya sesuatu." ujar nya berharap pertanyaan nya mendapat jawaban. "Panggil aku Helena," Leo menggeleng, "Nyonya lebih tua dariku, akan sangat tidak sopan jika… " "Kalau begitu, bibi saja. Dan kau ingin bertanya apa?" Leo berdehem, "Hanya ingin tau dia siapa, mengapa dan untuk apa dia… " "Kamu akan tau nanti. Dia hanya mengatakan padaku, apapun pertanyaan tentang nya simpan dan susun baik-baik. Semua nya akan terjawab, dan dia sendiri lah yang menjawab nya. Tapi tidak untuk sekarang." Helena tersenyum tipis, "Baiklah aku permisi." pamit Helena sedikit menunduk hormat begitu juga para pengasuh. Leo yang merasa tak nyaman melihat itu ikut membungkuk pada mereka, sebagai rasa hormat dan sopan nya. Begitu pintu tertutup, Leo menegakkan punggung nya. Ia kembali menatap kamar yang akan ia tempati. Perasaan nya kembali sesak, dengan langkah pelan Leo mendudukkan bokongnya karpet berbulu kemudian bersandar memeluk lututnya. Kini pikirannya tertuju pada makam sang ayah. Jika ia disini, siapa yang akan merawat makam tersebut. Sedangkan ibunya… wait, ibu? Bukan lagi. Mereka sudah tidak memiliki hubungan apapun, dimana wanita itu menerima cek dengan senyum dibibir nya. Raut wajah senang sang ibu kembali dalam ingatan nya, dan ia membenci wajah itu. 10 milyar? Memikirkan jumlah nya saja kepala nya seakan ingin pecah. Apa ia bisa mengembalikan uang tersebut, bahkan jika menjual organ pun uang itu tidak akan cukup. Lantas dia harus apa? Menerima semua nya dan tetap berada di tempat yang sama sekali tidak di kenalinya, sepertinya tidak. Itu sangatlah tidak mungkin, dia bukan barang mainan seperti yang orang itu inginkan, bukan. Pemuda seperti Leo tidak akan diam saja, dia tak seperti itu. Sejak kecil ia sudah tau seperti apa dan bagaimana cara agar bisa mendapatkan uang walau itu tak seberapa. Kalaupun ia harus bekerja sampai mati, akan dia lakukan. Seberapa pun hasil nya it's oke, yang terpenting dirinya bisa bernafas walau terasa tercekik karena hutang tersebut. Leo sudah menganggap uang yang wanita itu terima adalah hutang, dan ia harus membayar nya. Disisi lain, Layla melangkah dari bathroom setelah membersihkan tubuhnya yang terasa penat. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di susul Helena yang masuk membawa secangkir kopi untuknya. "Anak itu terlihat sopan, bagaimana bisa seorang ibu tega melakukan hal buruk seperti itu demi kepuasan nya sendiri." ujar Helena menggeleng pelan meletakkan kopi tersebut. Wanita paruh baya itu kemudian berbalik menatap Layla yang tengah melakukan perawatan wajah, "Kau mendengarku?" tanya nya melihat sang pemilik kamar masih sibuk dengan kegiatan nya. Layla terkekeh. "Aku dengar Helena. Mau bagaimana lagi, sifat manusia tidak ada yang tau kan?" Ia berbalik meraih laptop nya. "Orang seperti nya tidak pantas berada di tempat orang-orang yang tidak menghargainya." katanya lagi menarik b****g nya untuk segera berdiri. Helena menggeleng. "Lalu bagaimana denganmu? Dan lagi, butuh mainan? Nona Nona… tau pacaran saja tidak, bagai… " "IBU!" Helena tersentak, "Jangan bawa-bawa itu dong nyesek tau, dasar menyebalkan." Layla duduk dengan kasar kasar tak peduli akan kekehan dari Helena atas kekesalan nya. "Benarkah? Kalau tak ingin diledek, lebih baik cari suami. Ingat, umurmu sebentar lagi 36 tahun. Jangan… " "Kau kira aku tidak mau, aku juga mau tau. Mereka nya saja yang bodoh, mengira aku hanya gadis polos yang manja dan tak tau apa-apa" omelan itu terdengar menggemaskan di pendengaran Helena, "Belum tau rasanya di puaskan oleh ku. Begini-begini aku sangat pintar dalam urusan ran… " "Lebih baik tidur sekarang, jangan banyak berhayal yang membuat otak mu semakin gila." "Ish, dasar jahat." "Tidak peduli, cepat habiskan kopimu dan segera tidur." Sepertinya ada yang aneh? Bukankah setelah meminum kopi kantuk si peminum akan hilang, lalu bagaimana Helena menyuruh Layla untuk segera tidur? Jadi begini, entah itu semacam obat tidur atau apa, tapi selama ini Layla akan terlelap setelah meneguk kopi tersebut. Aneh bukan, aneh memang dan itulah seorang Layla. Penghuni mansion pun dibuat bingung mengenai hal tersebut. Tidak bagi Layla yang sangat berterima kasih terhadap sang kopi karena dengan ada nya minuman tersebut, ia bisa tidur lelap tanpa harus bermimpi buruk yang akan membuatnya terbangun seperti orang gila. "Kalian bisa keluar." pintah Helena melihat pekerjaan para pengasuh telah usai. "Baik, permisi Presdir." Mereka membungkuk ke arah Layla yang mulai berbaring. Helena menyelimuti Layla, wanita itu mengusap pelan pucuk kepala sang majikan dengan penuh kasih sayang, kemudian keluar tanpa mematikan lampu. Ia tau sejak hari itu, Layla tak bisa memejamkan mata jika dalam keadaan gelap. Di luar kamar Layla, "Bu, bagaimana? Dia sudah tidur?" Helena berbalik menatap Maria dengan beberapa makanan di tangan nya. Ia menggeleng melihat kelakuan sang anak, kenapa juga anak nya ini selalu saja makan saat berada di rumah. "C'mon bu, aku tau kau pasti ngedumel lagi 'kan?" Plak! "Aduh, ih sakit." Maria meringis setelah mendapat tamparan di bagian lengan. "Makan saja terus, masih untung badan mu tidak lebar." Maria memutar bola mata jengah mendengar penuturan sang ibu. "Nona sudah tidur, jadi jangan mengganggu nya." tambah Helena melangkah meninggalkan sang anak yang mencebikkan bibirnya. "Siapa juga mau yang mau mengganggu macan betina itu." Satu hal lagi yang perlu diingat, para pelayan dan pengasuh akan memanggil Layla dengan Presdir, sedangkan Helena, Maxi dan Maria hanya Nona dan itu berlaku di dalam mansion. Berbeda dengan Layla, kadang memanggil Helena dengan nama, kadang juga ibu ketika mereka hanya berdua atau kepepet. Sama seperti Maxi, dia akan memanggilnya Paman di waktu tertentu. • • • Esok nya pukul 09:11 pagi, hari yang sangat Layla tunggu. Yaitu hari libur, dimana tak ada kertas dan juga tulisan yang membuat kepala seakan sedang berputar. Dengan masih mengenakan piyama seksi, rambut acak adul, penutup mata di atas kepala, Layla mengucek-ucek mata nya berjalan ke lantai dasar, ada eskalator tapi dia tak menggunakan nya. Katanya sih olahraga. Tak peduli dengan tatapan para pelayan karena mereka sudah terbiasa dengan situasi tersebut. Set! "Nona awas…! " Para pelayan menutup mulut melotot melihat Layla tersandung karpet di penghujung tangga. Leo yang tak jauh dari sana mendengar jeritan para pelayan berbalik, ia segera berlari dan menangkap tubuh Layla, memutar badan nya agar kepala gadis itu tidak terbentur. Duk! Sshh… ringisan membuat pejaman mata Layla terbuka. Mata bulat nya semakin membulat melihat dekat wajah Leo, begitu juga sebaliknya. "Ka-kau… " "Adik kecil kau baik-baik saja, kan?" Heh! Apa-apaan dia! Adik kecil matamu. umpat Layla lewat tatapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD