Pelarian

1467 Words
Afdan Gue pandangi aliran air sungai yang warnanya keruh itu. Keruh airnya cocok dengan mood gue. Gue parkir motor gede kesayangan gue di tepi yang tak jauh dari jempatan di sungai itu. Tas gendong yang berisi beberapa potong baju dan peralatan pribadi gue simpan di atas motor itu. Jalanan sepi. Gue menikmati hidup bebas ini. Tak ada lagi yang namanya pulang rumah. Setelah kediaman keluarga gue disita, gue nggak pernah milih gabung sama mama dan Icha di rumah yang lebih kecil. Harta berharga gue satu-satunya adalah motor gede ini. Sebenarnya motor ini juga ikut disita. Jelas gue nggak pernah rela. Makanya gue buru-buru bawa kabur sebelum jatuh ke tangan yang orang lain. Semenjak ayah tersandung kasus tindak pidana korupsi, hari-hari gue makin terasa menyebalkan. Saban hari gue nggak bisa masang muka tebal di hadapan dosen dan teman-teman kuliah. Nggak ada yang nggak tahu soal kasus itu. Tak ada satu pun media tidak memberitakannya. Jadi hanya orang i***t saja yang nggak kenal kasus ayah. Gue menolak diajak jenguk ayah sama Mama dan Icha. Buat apa? Itu tidak akan memperbaiki keadaan. Toh gue tetap dapat gelar di belakang nama gue: Afdan, putra sang koruptor. Jadi gue nggak bisa menepis bahwa biang semua masalah ini adalah ayah. Kenapa dia harus menjadi koruptor. Gue sebagai anaknya nggak pernah nuntut buat dikasih macam-macam. Gue nggak pernah minta. Dia sendiri yang ngasih gue banyak fasilitas dan mengajari gue gimana cara menikmati hidup enak. Gue diajarin sama dia baik langsung atau nggak langsung. Gue makin tambah nyesek saat vonis itu sudah dijatuhkan. Gue dapet infonya dari Icha dan Mama. Gue nggak pernah mau hadir, karena gue mikirnya apa untungnya gue hadir. Yang ada pasti nanti gue bakal dirugikan. Dan bener saja, setelah vonis itu kekayaan keluarga disita untuk menebus dosa-dosa ayah pada negara. Dan lagi-lagi gue yang kena. Kendaraan milik gue kena ikut sita. s**l banget sih hidup gue! s**l karena karma dari perbuatan ayah gue. Gue yakin itu. Dasar ayah pembawa s**l! Gue hisap nyalakan sebatang rokok, lalu menghisapnya. Asapnya gue hembuskan dan membubung ke udara. Rasa dingin sedikit menghilang. Ada yang gue lupa. Gue pun mendekati motor, membuka bagasinya dan mengambil sebotol red wine dan langsung menenggaknya. Gue masih merasa nyaman berdiri di jembatan itu sambil mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Gue nggak tahu mau melanjutkan perjalanan kemana. Gue habiskan waktu berlama-lama di jembatan itu, bahkan sampai menjelang sore. Di langit awan mendung terlihat mulai bergerak. Mungkin sebentar lagi hujan. Gue pikir harus terus melanjutkan perjalanan, minimal gue dapat tempat berteduh, tempat apa pun itu biar gue nggak kehujanan. Meskipun ada jas hujan di bagasi motor, tapi tetap saja, gue malas berkendara kalau hujan, apalagi kalau hujannya deras. Sebelum hujan turun, gue mulai nyalakan starter. Beberapa saat kemudian motor membelah jalan yang sesekali ada kendaraan motor dan mobil yang lalu lalang. Gue nggak tahu arah motor melajua ke arah mana, timur, barat, selata, atau utara. Gue nggak peduli yang penting gue jalan aja. Gua tempuh jalanan lurus. Tapi lima belas menit kemudian, jalan beraspal kadang-kadang bagus, kadang-kadang juga saking lamanya tidak beraspal, gue sebut saja jalan berbatu. Mungkin gue minum tadi terlalu banyak, kadang-kadang pandangan di depan menjadi terlihat blur. Kemudian gue lewati jalan menanjak. Di samping kiri dan kanan terbentang perkebunan teh. Seluruh pemandangan di hadapan gue serba hijau. Sejuk memanjakan mata. Usai melewati perkebunan Teh, di hadapan gue terbentang pohon-pohon pinus yang tinggi. Jalan yang gue susuri berkelok-kelok Sepanjang jalan, nyaris semuanya pohon pinus. Tak ada kendaraan. Sepi. Tak terasa waktu sudah hampir Maghrib. Suasana sudah hampir gelap. Terlebih lagi gerimis mulai turun. Hampir saja tadi gue jatuh menabrak pohon pinus. Tapi gue nggak kenapa-kenapa. Gue bangkit lagi dan melajukan motor. Selain licin, kepala gue terasa pusing. Gerimis pun berganti menjadi hujan deras. Gue berhenti di pinggir jalan sebentar. Gue ambil jas hujan. Lalu segera melajukan lagi motor gue. Gue menambah kecepatan. s**l! gue nggak nemu gubuk atau rumah satu pun buat berteduh. Jalanan yang gue tempuh masih hutan di samping kanan maupun kirinya. Belum terlihat pemukiman. Jalan tak beraspal menjadi licin ditambah lagi medan yang ditempuh sangat curam. Di sebelah kiri jalan terlihat sungai meluap, airnya berwarna coklat. Ada pertigaan, gue bingung mau menempuh jalan yang menanjak ataukah yang menurun. Ah, gue pikir jalan menurun akan mengantarkan gue ke bukit yang lebih tinggi. Gue merasa nggak yakin bakal nemu rumah atau tempat berteduh. Gue pilih yang menurun, mudah-mudahan di depan ada harapan. Kurang lebih sepuluh meter kemudian, gue nemuin seorang lelaki yang melambaikan tangan di tengah-tengah jalan. Hujan masih mengguyur jalan dan sekitarnya begitu deras. "Tolong saya, bolehkah saya ikut tumpangan?" teriak lelaki itu. Setelah mendekat, gue merasa kasihan pada orang itu. Nggak apa-apalah sesekali gue berbuat baik sama orang, pikir gue. "Oya, mau pulang kemana? Di sini sudah dekat ke pemukiman?" "Saya mau pulang ke kampung saya. Kampung saya dekat. Kurang lebih 1 km lagi dari sini." "Ayo naik, Pak," aku panggil dia bapak karena kulihat dari wajahnya sepertinya dia sudah berumah tangga. Dia berkumis dan berjenggot. Lelaki itu pun naik di belakangku. Aku nyalakan mesin. Tiba-tiba sebilah pisau diarahkan ke leher gue. "Apa-apan ini, b*ngs*t!?" gue nggak bisa menoleh, takut bagian pisau yang tajam itu melukai kulit gue. Nggak ada jarak sedikit pun antara sisi tajam pisau itu dengan kulit leher gue. "Diam, lu anak muda! Sayang otakmu t***l. Mau aja lu gue kibulin," bentak lelaki itu. Kemudian lelaki itu bersiul panjang. Gue nggak paham apa maksudnya. Barulah gue mengerti setelah beberapa orang muncul dari balik pohon. Mereka bergerombol. Seorang lelaki kekar berotot, salah satu telinganya mengenakan anting mengambil alih kendali lelaki itu. Jas hujan gue dilucuti. Gue diseret dan diserahkan kepada lelaki kekar yang rambutnya panjang. Gue meronta, namun usaha gue nggak ada hasilnya. Cengkeraman lelaki penipu itu sangat kuat. Salah satu tangan gue dipelintir. Rasa sangat sakit luar biasa. Tapi gue berusaha nggak berteriak. Cemen. Gue tahan rasa sakit itu dengan menggigit bibir bawah. Sekarang gue berhadapan dengan lelaki kekar itu. Gue pikir dia ini kapten gerombolan itu. "Anak muda, ada dua pilihan yang bisa kamu pertimbangkan!" sungut lelaki berotot itu. Dia diam sejenak. "Kamu serahkan motor atau jika tidak detik ini juga kamu akan kukirim ke neraka!" Gue meludah. Niatnya ingin meludahi wajah yang angkuh dan sok hebat itu. Namun ludah gue tidak sampai ke mukanya. Ludah itu jatuh ke tanah bersatu dengan air langit yang deras. "Gue nggak akan nyerahin motor kesayangan gue. Gue akan bela apa yang menjadi hak gue." Lelaki berotot itu bertepuk tangan. Tepuk tangan itu diikuti oleh anak buahnya. Jumlahnya ada kurang lebih enam orang. "Salut. Kamu masih punya nyali, anak muda. Mari kita uji sampai mana nyali dan kehebatan anak muda ini." Gue pun dilepas. Satu orang maju menantang berduel. Gue memang tak punya kemampuan bela diri. Namun setidaknya gue di sekolah dulu pernah berkelahi. Gua halau tendangan dan pukulan orang itu. Berhasil. Gue serang orang itu hingga jatuh. Saat jatuh berdebam ke tanah yang basah, gue injak-injak orang itu tanpa ampun. Tiba-tiba dari depan dan belakang teman-temannya datang mengeroyok. Satu per satu dari mereka menendang, memukul dan meninju tanpa jeda. Belum sempat gue bangkit. Serangan datang lagi bertubi-tubi. Serangan itu kini bukan lagi satu persatu. Mereka dengan kompak dalam waktu bersamaan mengepalkan tangan dan meninju perut gue. Nyaris seluruh isi terasa keluar dari mulut. Gue benar-benar muntah. Red wine yang gue baru saja gue habiskan keluar lagi. Mereka memukuli kepala gue hingga pemandangan di sekitar menjadi berkunang-kunang. Sepertinya tubuh gue sudah nggak kuat. Kalau saja gue nggak minum, mungkin masih ada sisa-sisa tenanga. Gue sudah nggak mampu lagi melawan. Bos mereka menyeringai. Lelaki yang telah menipu gue menggunakan pisaunya. Dengan pisau terhunus dia berdiri di sampingku. Tubuh gue lunglai terkapar di tanah cekung yang dipenuhi air. Wajah setannya telah siap siaga untuk menusukkan pisaunya. Saat dia hendak menancapkan pisaunya ke tubuh gue, terdengar teriakan bos mereka yang berkata, "Hei, tidak usah kau kotori tanganmu. Dia anak yang masih bau kencur. Perlawanannya tidak lebih hebat dari mulut besarnya." Si pemegang pisau pun urung. "Hari ini kau beruntung, bos kami masih berbaik hati padamu, bodoh." "Hanyutkan saja di ke sungai itu," pinta si bos kekar. Tubuh gue terasa ringan tapi kaku sekaligus beku. Air hujan masih turun dengan deras. Tak ada lagi kekuatan untuk sekadar bergerak. Mereka pun beramai-ramai mengangkat dan membopong tubuh gue ke tepi sungai. Air sungai itu terlihat meluap. Airnya sangat keruh berwarna coklat tanah. Mereka menghitung beramai-ramai. "Satuuu ... Duaa... Tigaa..." mereka melempar gue ke sungai besar dan deras itu. Tubuh gue melayang dan hanyut terbawa derasnya air. Gue masih sadar saat itu. Seandainya gua masih punya tenaga, gue akan berenang ke tepi sungai. Sayang, tubuh gue kaku tak bisa bergerak. Gue terhanyut nggak mampu melawan arus. Tubuh gue terbanting-banting dan terlempar dari batu besar satu ke batu besar lainnya. Gue tak ingat lagi apa-apa saat kepala membentur sebuah batu besar dengan sangat kuat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD