XXIV. Pertemuan yang Berkelanjutan.
Sehabis dari seluruh kegiatan aku langsung pergi ke belakang meneguk segelas air putih untuk menyegarkan tenggorakanku yang sudah berjuang selama 2 jam tanpa henti. Setelah puas melihat-lihat seluruh isi ruang, saatnya aku menemui Jacob untuk menagih janji kami. Kutarik kembali lengkungan bibiarku saat ia mengatakan “maaf, tiba-tiba mereka menyuruhku membeli barang untuk pemuka agama”.
Aku hanya bisa mengatakan “baiklah”
Dan dia bertanya kembali, “kau marah? Maaf, kali ini benar-benar di luar perkiraanku”
“yah, tidak apa. Lagipula tugas itu lebih penting untuk sekarang kan? Soal makan mah kapan saja bisa, masih ada minggu depan kok” aku masih mempertahankan senyumku untuk meyakinkannya. Entah mengapa aku merasa seseorang tertawa iblis di belakangku.
“baguslah, aku tau kau memang sangat dewasa” Jacob mengacak-acak rambutku, aku sedikit bangga sekaligus tersipu malu karena perlakuannya.
“itulah sebabnya aku mencintaimu dan memilihmu” bisikknya saat mendekatkan wajahnya ke telingaku.
Aku merasa ada listrik yang datang dari telingaku, listrik it uterus menyambar hati dan jantungku. Dalam 1 hari ia membuat jantungku berdebar kuat. Namun semua tertutupi dengan tatapan mata yang tajam entah dari mana arahnya.
Kemudian aku pergi sendiri entah masuk ke rumah makan manapun yang penting perut karetku terisi. Dan akhirnya aku memilih sebuah café lucu nan unik yang lumayan terkenal dengan hotplate mie thailandnya. Sebenarnya dibanding yang terkenal di sana aku malah lebih tertarik pada dessertnya yang lucu. Beberapa dari dessertnya diambil dari karakter beruang yang terkenal. Dan karakter lainnya, layaknya surga anak-anak di sini.
Memasuki pintunya, gema lonceng kecil bergemericik. Aku masuk dengan malu-malu dan mulai berjalan ke salah satu kursi kosong di belakang. Sembari menikmati beberapa hal baru di sini. Bau ruangan yang manis bukan bau minyak seperti lainnya. Bahkan dekorasinya terlihat sangat imut,aku merasa seperti di bawa ke negeri dongeng dengan dua warna. Dominan warna dinding yang amat lucu, perpaduan pink dan mint.
Aku mendapati bahwa ada sesuatu yang lain yang berbeda dari café ini. Kucing! Ada banyak kucing yang menyambut di sini. Mereka menggesekkan bulu-bulu halusnya di kaki para pelanggan. Kata orang-orang terapi terbaik dilakukan di café ini, mungkin ini maksudnya. Apalagi saat melihat kucing bermanja-manja dengan kita, seakan-akan semua pikiran buruk buyar dan terbayarkan dengan kegemesan mereka.
Aku hampir melupakan semua tentang makan karena duniaku di eksploitasi dengan para kucing ini. Sehabis aku menyelesaikan makan siangku, maka selanjutnya pergi membeli beberapa buku. Hitung-hitung menambah koleksi di antara buku yang sudah kumiliki.
1 pesan baru masuk, smartphoneku bergemetar di kantong celana. “aku sudah selesai, bolehkah aku menyusul?” Jacob sangat yakin tentan menyusulku sampai ke café ini. Tapi tawarannya tetap kutolak, aku tak ingin seseorang menggangu kesendirianku. Tak terkecuali Jacob, bisa-bisa aku fokus pada dirinya bukan pada buku yang akan kubeli.
“maybe tidak… aku sudah mau pulang setelah mampir ke beberapa took mungkin?” dengan kata mungkin aku hanya berharap dia peka, setidaknya menanyakanku ke mana atau menyusulku.
“ah.. baiklah, nikmati perjalananmu” jawabnya singkat, seperti ad seseorang yang menyuruhnya buru-buru.
Kukira ini akan menjadi pertemuan pertama teromantis kami, namun semuanya dibalikkan faktanya oleh dia. Aku segera menutup mati smartphoneku sebelum membantingnya ke lantai, namun kuurungkan niatku sebelum membuat malu diriku sendiri.
Aku menahan tangis untuk kesekian kalinya, setidaknya hanya ini yang bisa ku lakukan dibanding bertengkar dengan dirinya. Mataku hangat, sepertinya air dari pelupuk mataku sudah tak tertahan. Hingga akhirnya aku melepaskannya, aku menangis dalam diam di café. Tak ada satu orangpun yang mengetahuinya. Aku mengelap air mataku dengan hati-hati, hingga tidak membasahi seluruh bajuku.
Usahaku hari ini memakai baju baru malah berakhir di penuhi air mata yang tak bisa henti ini. Aku mengerti bagaimana sibuknya dia, dan aku juga punya kesibukkan. Namun semua memnag agak berubah.
XXV. 3 Bulannya Hubungan Kami.
Perjalanan hubungan kami sampai juga di bulan ke-3. Kami bertukar cerita untuk merayakan bulan ke-3 jalannya hubungan kami. Dan semua ceritanya hanya merujuk pada Erika, ingat? Perempuan kemarin yang aku temui di tempat ibadah. Sekarang aku mulai menghindari tempat ibadah yang sama seperti mereka. Saat tertentu aku akan datang, hanya di saat tertentu seperti perayaan keagamaan atau yang lainnya.
Nampaknya Erika mulai menikmati kata “hilangnya Valeria secara mendadak dari kehidupan Jacob”. Aku mencoba tersenyum, meskipun aku tidak tau keluh kesah hatiku yang meraung keluar. Ingin sekali kukatakan setidaknya, “coba jauhi Erika, aku tak melihat ada sesuatu yang baik darinya”. Dan mengatakan itu tanpa bukti malah akan membuatku terperosok kedalam lubang. Apalagi ia tak suka dengan hal seperti mengatakan apapun tanpa adanya bukti, atau setidaknya ia melihatnya langsung maka ia akan mempercayainya.
“Jacob… bagaimana kabar Erika? Mungkin ia menanyakan kabarku?” ini merupakan pertanyaan untuk mencari lubang kematianku sendiri.
“eum, dia tidak terlalu menanyakan tentang dirimu. Kadang dia hanya berucap ‘di mana pacarmu itu?’”
“yah hanya begitu” sambung Jacob. Aku bisa merasakan kesinisan yang kuterima saat membacanya. Rasanya kata-kata itu penuh dengan makna yang berbeda-beda.
“dia membenciku?” aku benar-benar hanya memastikan, tidak ada maksud lain.
“tidak, mengapa?? Jan berpikir aneh tentang dirinya. Dia hanya bertanya seperti itu dan kau lagi-lagi merasa dia membencimu? Singkirkan jauh-jauh pikiran bodoh itu” Jacob agak kasar sekarang, dahulu dia membelaku habis- habisan.
Kalian mengertikan, insting seorang perempuan tidak pernah salah, apalagi insting tentang sikap seseorang terhadap diri kita. Kadang memang insting keliru, namun aku yakin 100% ini tidak keliru. Kalau Jacob sudah berkata begitu, biasanya aku hanya mengiyakannya saja. Aku malas berdebat untuk hal yang sama. Apalagi kemarin kami sudah membahasnya, dan dia membela Erika habis-habisan.
Tak bisa dipungkiri bagaimana aku mati-matian mempertahankan hubungan kami yang hampir kandas di bulan ke-2 kemarin. Hanya karena permasalahan dia ketahuan merokok dengan temannya. Memang ini hanyalah masalah yang mudah, namun saat aku memberitahunya tentang bahaya rokok. Alhasil kami terjebak pada pertengkaran di mana diapun tak ingin mengalah.
Udah kukatakan sejak awal tentang merokok, perjanjian sudah dibuat. Bahkan ia sendiri yang ingin mengadakan perjanjian. Jujur, aku hanya ingin dia terhindar dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Tatkala kita tak akan tau apa kerugian yang di dapatkan dari kesenangan sementara.
Akhirnya setelah kubicarakan lebih dalam dengannya, tentang bagaimana aku tak sanggup berhubungan walau umur hubungan kami masih seumur jagung, jagung tua misalnya. Dan dia meminta maaf, memohon dan menjanjikan hal yang sama.
“iya, iya! Tidak ada lagi rokok dalam hidupku! Aku berjanji”. Ia mengirimku foto dirinya yang mengacungkan jari kelingking. Baiklah, aku memberinya kesempatan. Terkadang manusia bisa khilaf dan melakukan kesalahan. Hingga aku tak menghiraukannya lagi dan masalah kembali datang.
Setidaknya aku sedikit bersyukur masalah ini tidak bersangkut paut dengan perempuan bernama Erika itu. Namun perempuan lainlah yang membuat masalah.