Part 2

1023 Words
Aku mulai gelisah. Pikiranku kacau. Beragam opini lalu lalang di depan mata. Berulang kali aku mencoba untuk berpikir positif, tapi berulang kali pula pesan aneh itu terngiang di benak. Ingin rasanya membiarkan dan percaya jika Mas Bima baik-baik saja. Dia tetap setia dan hanya mencintaiku saja. Namun, hati ini rasanya menolak. Batinku bergejolak dan mulai curiga dengan hal-hal yang dilakukannya akhir-akhir ini. Apalagi saat ini dia belum juga pulang, padahal hanya pamit ke kantor untuk mengambil berkas yang tertinggal. Aneh. Bisa-bisanya ke kantor selama ini. Ngapain dia di sana? Besok weekend pula. Nggak mungkin ada lembur dadakan. Benar-benar nggak masuk akal jika itu alasannya. Kembali kulirik jam di dinding. Hampir dua jam aku menunggu di ruang keluarga dengan gusar. Aku tak bisa berpura-pura untuk tenang dan baik-baik saja. Malam mulai merambat naik. Suasana perlahan terasa hening. Ingin rasanya kembali ke kamar menemani anak-anak terlelap. Namun, tetap tak bisa karena pikiranku kemana-mana. Jam sepuluh lebih, tapi belum juga terdengar deru mobil Mas Bima. Entah kemana dia saat ini. Apakah dia membeli s**u hamil dan vitamin sesuai pesan yang k****a tadi? Jika memang iya, buat siapa semua itu? Kenapa Mas Bima tak cerita apapun padaku? Kenapa pula sampai detik ini seolah tak ada inisiatifnya untuk menelepon atau mengirimkan pesan untukku? Aku tahu ponsel lamanya memang tertinggal, tapi kenapa dia tak menggunakan ponsel barunya? Atau paling tidak, dia bisa pinjam ponsel seseorang untuk sekedar memberi kabar supaya aku tak secemas ini bukan? Yuki dan Yuka sudah terlelap sejak satu jam yang lalu membuat rumah ini semakin terasa sepi. Kulangkahkan kaki menuju dapur, membuat kopi untuk sekedar menghangatkan badan karena hawa dingin mulai menusuk kulit. Tak berselang lama, ponselku berdering. Dari nomer tak dikenal. "Dek, aku pulang agak telat, ya? Lagi kongkow di warung kopi sama temen. Mumpung besok libur. Nggak enak kalau langsung cabut pulang nanti diketawain mereka dikira suami takut istri," ucap Mas Bima lirih. "Temen siapa, sih, Mas?" tanyaku singkat. Bella bilang nggak ketemu Mas Bima di kantor, lantas ke mana dia? Kongkow sama temen siapa? "Temen kantor lah. Siapa lagi?" jawabnya santai. "Bella baru ke sini loh, Mas. Dia bilang nggak ketemu kamu di kantor. Jangan sampai kamu ketahuan bohong, ya, Mas. Karena sekali bohong jadi ketagihan buat bohong lagi dan lagi," ucapku kesal. "Siapa yang bohong, sih, Dek? Nggak ada gunanya juga bohong. Bella nggak lihat mungkin, karena aku langsung ke ruang manager terus pulang," ucap Mas Bima sedikit gugup. "Berarti kamu sudah diangkat jadi manager, Mas? Kok nggak bilang-bilang? Sejak kapan?" Cecarku kemudian. Beberapa bulan lalu Mas Bima memang bercerita akan dipromosikan naik jabatan tapi setelah itu dia nggak pernah cerita apa pun. Nggak tahunya dia sudah jadi manager. Teganya tak memberi tahu istrinya sendiri. Mas Bima terdengar makin gugup saat aku tahu jabatan di kantornya kini. Apa dia memang keceplosan bicara? Seandainya tak tersudut, mungkin kah dia sengaja menutupi semuanya dariku? Pikiran aneh mulai merajai otak. Apalagi sikap Mas Bima yang mendadak gugup dan terbata makin membuatku curiga. "Baru kok, Dek. Baru-- "Kapan, Mas? Kamu mau ngaku sekarang atau aku akan tanya Bella saja," ancamku. "Sudah empat bulan yang lalu, Dek," jawabnya lirih. Empat bulan lalu? Dia sengaja menyembunyikan jabatannya? Dia juga tak memberi tambahan belanja sepeser pun untukku. Bahkan aku minta asisten untuk sekedar bantu cuci setrika saja dia nggak mengijinkan dengan alasan pemborosan. Lantas, kemana saja gajinya selama ini? Biasanya tiap naik jabatan juga dapat bonus. Dia simpan di mana? Nggak mungkin kan ditaruh di bawah bantal. "Gajimu naik dong, Mas? Tapi kenapa uang bulanan masih sama? Padahal aku sudah bilang kalau kebutuhan si kembar makin banyak apalagi sudah mulai TK bahkan tahun ini sudah masuk SD," ucapku mulai geregetan dan emosi. "Iya, Dek. Nanti kita bicarakan di rumah, ya? Nggak enak ini ponsel minjem. Lagian temen-temen mulai ngeledek, nih," ucapnya lirik setengah berbisik. "Temen siapa, sih, Mas? Coba aku mau dengar suaranya?" "Temen kantor, Dek. Sudah lah, sebentar lagi aku pulang. Kalau kamu sudah ngantuk, tidur dulu aja, ya?" ucapnya lagi sembari menutup telepon. Gelisah. Hanya itu yang dapat kurasakan. Boro-boro tidur, sekedar memejamkan mata saja rasanya nggak bisa. Bolak-balik melihat jarum jam. Menurutku ini bukan pengaruh kopi, tapi karena hati dan mata nggak sinkron jadilah nggak bisa tidur. Hampir jam sebelas malam namun Mas Bima belum juga datang. Kutelepon nomer tak dikenal yang dipakai Mas Bima tadi. Sudah nggak aktif. Alisku mulai mengerut, curiga. Kusesap kopi yang mulai dingin. Deru mobil Mas Bima mulai masuk ke garasi. Syukurlah, akhirnya dia pulang juga. Kubuka pintu perlahan. Mas Bima tersenyum sembari menenteng map, mungkin berkas yang dia maksud tadi. Apa dia memang benar ke kantor dan Bella tak melihatnya? "Belum tidur, Dek?" tanyanya pelan. Melepas sandal dan menatanya di rak lalu melangkah ke ruang keluarga. "Aku ke kantor, Dek. Ini buktinya. Berkas-berkas ketinggalan di sana," ucapnya mencoba meyakinkan. Aku hanya mengangguk pelan. Mungkin dia benar, mungkin juga ingin dibenarkan. Entah! "Yasudah, aku mau mandi dulu, Dek. Tolong masukkan ke mesin cuci, ya?" Mas Bima melepas kaosnya dan memberikannya padaku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, mengikuti perintahnya. "Loh, Mas. Sebelum ke kantor kamu kan sudah mandi. Kok sekarang mandi lagi? Mana sudah malam ini." Mas Bima sedikit salah tingkah. Aku tahu dia masih mencoba mencari alasan. Bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Sikapnya kali ini benar-benar membuatku semakin curiga. Rahasia apa yang sedang ditutupinya?Sudah tujuh tahun lebih berumah tangga dengannya, aku cukup tahu jika saat ini dia sedang tak baik-baik saja mendengar pertanyaanku barusan. "Gerah, Dek. Mandi dulu lah biar seger. Tidur juga nyenyak," ucapnya lagi. Dia tersenyum kecil lalu masuk ke kamar mandi. Jelas-jelas hawanya begitu dingin sampai aku membuat kopi untuk sekadar menghangatkan badan. Mas Bima bilang justru sangat gerah. Aneh. Kumasukkan kaos kotor Mas Bima ke dalam mesin cuci. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kubolak-balik kaos abu-abunya. Bau parfum yang menempel di kaosnya saat ini berbeda, bukan seperti yang biasa dipakai Mas Bima. Kuhirup beberapa kali untuk memastikan. Benar saja, bau parfum perempuan. Tapi ... bau parfumnya juga tak terlalu asing di penciumanku. Apa Mas Bima memang selingkuh dengan seseorang yang kukenal? Mas Bima ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. "Loh, Mas. Ngapain kamu malam-malam keramas segala?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD