Part 4

1009 Words
Malam semakin larut. Namun, belum tampak batang hidung Mas Bima. Meski mata mulai mengantuk, tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan segar. Detik ini, sengaja menunggunya di kursi makan. Berusaha untuk tetap tenang dan sabar agar emosi tak meledak seketika. Aku tak ingin gegabah dan terlihat norak di matanya. Lihat saja, aku akan menghadapi mereka dengan elegan. Beberapa menit setelah aku termangu di sini, deru mobil Mas Bima terdengar di garasi. Kembali kulirik jarum jam lalu menghela napas panjang. Entah sampai kapan dia akan begini. Selalu menutupi kesalahannya, tak peduli jika itu membuatnya akan terus berdusta. Dia mungkin tak menyangka jika aku akan senekat ini menyelidiki pengkhianatannya. Di pasti tak mengira jika aku sekuat itu. Seperti sebelumnya, aku hanya melirik sekilas saat lampu ruang tengah menyala. Setelah melihat Mas Bima muncul, aku tersenyum tipis menyambutnya dari tempatku. Aku menyeruput kembali teh hangat di cangkir kesayanganku itu dengan santai lalu. Bahkan saat Mas Bima ternganga melihatku yang belum terlelap, aku sengaja menawarinya teh hangat. Bukannya membalas tawaranku, dia justru ternganga di depan pintu kamar. Mas Bima benar-benar terkejut melihatku duduk di sini. "Am-- Amel?" tanyanya kaget. Aku mencoba untuk tersenyum meski dalam hati rasanya teramat geram. Seperti luka yang sengaja ditaburi garam. Perih sekali rasanya. "Kam-- kamu belum tidur, Mel?" tanyanya lagi masih dengan kegugupan yang sama. Lagi-lagi aku tersenyum saat melihat kegugupan dan salah tingkahnya. Mas Bima mendadak pasi, mematung di depan kamar tamu sembari menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. "Belum, Mas. Kan nunggu kamu. Gimana sih? Ohya, kamu darimana malam-malam begini, Mas? Nggak nongkrong sama temen lagi dong?" tanyaku santai, membuat Mas Bima kembali salah tingkah saat bersirobok denganku. Aku hanya tersenyum miring melihat kegelisahannya detik ini. "Eh Emmm-- "Dari kantor?" tanyaku singkat, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Kembali kulihat kebingungannya dari ekor mata. "Nggak, kok, Dek. Keluar sebentar buat cari angin," jawabnya kemudian. "Oohh." "Tidur, yuk, Dek. Ngantuk banget nih. Besok mulai kerja lagi, takut kesiangan," jawab Mas Bima sengaja tak memberiku kesempatan untuk bertanya lagi. Aku hanya mengangguk pelan. Mas Bima membuka lemari dan mengganti kaos sebelumnya dengan koas oblong miliknya. Dia masukkan kaos kotor itu ke bak cucian kotor lalu melangkah menuju pembaringan. Sebelum menarik selimut, Mas Bima melirikku kembali yang masih duduk di sofa depan kamar kami. "Kamu mau begadang, Dek?" tanyanya singkat. Aku menoleh pelan. "Tidur aja dulu, Mas. Aku cuma ingin menghabiskan teh ini dulu, kok," jawabku lagi. Mas Bima mengangguk pelan lalu memejamkan matanya. Beranjak dari sofa, kumasukkan cangkir teh ke wastafel dan mencucinya. Perlahan kuambil kembali kaos Mas Bima yang baru saja dia masukkan ke bak cucian kotor. Meneliti tiap sudutnya lagi. Bekas bibir dengan lipstik merah menempel di sana. Pantas saja dia tak memintaku untuk memasukkan pakaian kotornya. Ternyata ada udang di balik bakwan. Cekrek. Kufoto bekas bibir merah itu untuk bukti selanjutnya. Semakin banyak bukti yang kudapat, akan semakin menguatkanku untuk mendapatkan hak asuh si kembar. Mas Bima tak tahu kalau selama ini aku juga punya penghasilan. Sengaja tak kuambil uang itu dari rekeningku. Biar saja untuk tabungan jika sewaktu-waktu aku membutuhkan. Mas Bima yang dulu selalu mengejekku saat membuat channel youtube, tak disangka sudah enam bulan terakhir menghasilkan uang yang cukup signifikan. Bulan pertama hanya mendapatkan gaji 1,5 juta, bulan ini cukup lumayan karena mendapatkan hasil tiga kali lipatnya. Semua hasil itu kusimpan rapat tanpa sepengetahuan Mas Bima. Jikalaupun aku cerita pasti dia hanya mengejek. Dia memang seperti itu dari dulu, selalu meremehkan apa pun yang kulakukan. Seolah hanya dia yang bisa menghasilkan uang. Kututup pintu rapat dan menaiki ranjang. Mencoba untuk memejamkan mata agar tak telat salat subuh nanti. Mas Bima sudah terlelap hingga dengkurnya mulai terdengar samar. ** Detik ini aku kembali ke perumahan baru itu. Tempat di mana kemarin Mas Bima dan perempuan itu bertemu dan saling berpelukan begitu mesra. Kuparkir motor matic di samping pos satpam. Ada seorang satpam yang berjaga di sana. "Maaf, Pak. Boleh numpang tanya?" tanyaku pada satpam perumahan baru yang kemarin dikunjungi Mas Bima. "Iya, Bu. Silakan mau tanya apa?" tanya seorang satpam bernama Salim. "Kemarin saya nggak sengaja lihat suami saya berhenti di depan rumah itu, Pak. Rumah nomer tiga dari sini," tunjukku pada rumah bercat biru itu. Satpam pun mengangguk pelan. "Nama suaminya siapa, Bu?" tanyanya singkat. "Bima, Pak," jawabku kemudian. Pak Salim pun mengerutkan alis pelan lalu menggaruk-garukkan kepala. "Saya kurang tahu kalau nama Bima, Bu. Mungkin ibu salah lihat," jawabnya lagi. Dia meminta teman yang lain untuk ikut menjelaskan. "Iya, Bu. Setahu saya yang sering ke rumah itu pak Juna. Suaminya Mbak Andin," jawab Pak Santo meyakinkan. Pak Juna? Apa memang Mas Bima sengaja memakai nama belakangnya untuk tinggal di sini? Apa sengaja biar nggak ketahuan jika aku mencarinya sewaktu-waktu? Kenapa dia tak nama depannya saja? Bima Arjuna Wiryawan. Itulah nama panjangnya. Sedangkan perempuan itu bernama Andin? Kepalaku mendadak pening memikirkan siapa dia dan di mana Mas Bima mengenalnya? Apalagi satpam bilang mereka sudah menikah? Rasanya benar-benar sulit dipercaya. "Baiklah kalau begitu, Pak. Mungkin saya yang salah lihat. Terima kasih informasinya, ya?" Pintaku untuk mengakhiri obrolan dengan mereka. Andin dan Juna. Aku akan menyelidiki sendiri masalah ini. Sebelum memutar motor, ponselku bergetar beberapa kali. [Maaf Mel, bukannya mau ikut campur masalah rumah tangga kamu, tapi kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan suamimu deh. Tadi aku nggak sengaja denger dia telepon sama seseorang, dia bilang akan antar ke dokter kandungan besok sore. Pakai panggilan sayang-sayang segala. Padahal kamu nggak sedang hamil kan?] Pesan dari Bella masuk ke ponselku. Lagi-lagi membuat hatiku panas seketika. [Kamu denger Mas Bima nyebut nama perempuan itu nggak, Bel?] [Nggak sih, Mel. Aku cuma denger dia bilang sayang doang] Kuhembuskan napas panjang seraya mengucap istighfar berulang kali untuk menenangkan hati. Aku harus bisa mengontrol emosi, jangan sampai aku menghancurkan rencana yang sudah kususun sedemikian rupa. Wajib sabar dan istighfar banyak-banyak sebelum rumah itu jatuh ke tanganku. Sampai kapan pun aku nggak akan rela jika sebagian hasil tabunganku dulu seenaknya dinikmati oleh Mas Bima dengan perempuan itu. Segera kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam jaket. Aku harus segera sampai rumah sebelum Mas Bima pulang. Aku tak ingin Mas Bima mencurigaiku macam-macam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD