Adeline terbangun karena cahaya putih yang sangat menyilaukan. Dia sangat lemah sampai tidak sanggup untuk mengangkat tangan. Dengan tenaga yang tersisa, wanita itu membuka kelopak mata dan barulah bisa melihat keadaan sekitar.
Entah bagaimana bisa dia berada di sebuah ruangan yang sangat dikenal. Sebuah ruang rawat rumah sakit yang dulu menjadi tempat tinggal sang ayah di detik-detik terakhir hidupnya. Sekarang Adeline malah diingatkan kembali oleh luka itu yang sangat menyakitkan.
Ketika dia hendak bangkit, pintu terbuka menampilkan seorang pria paruh baya yang sangat dia kenal.
“Nona? Apa Anda baik-baik saja?” tanya pria itu dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Siapa yang membawaku kemari?” tanya Adeline mengabaikan pertanyaanya.
Sedangkan pria itu tahu, sudah membuat anak mendiang majikannya marah. Diselamatkan dari maut merupakan hal yang menyulut emosi Adeline saat ini. Dia berjalan mendekatinya dengan wajah teduh khas seorang pria tua.
“Saya tidak bisa membiarkan Anda mati, Nona. Tuan Rothwell meminta saya untuk menjaga Anda. Saya tidak bisa melanggar janji yang sudah saya ucapkan,” ucapnya dengan tenang.
Mendengar nama mendiang sang ayah disebut, hati Adeline semakin terluka. Dia menarik napas berat dan mengembuskannya perlahan. Jika sang ayah sudah meminta orang kepercayaannya untuk menjaganya, itu berarti ayahnya tidak ingin dia seperti ini.
Tiba-tiba Adeline teringat dengan mimpinya. Dia memang lupa bagaimana wajah pria yang sudah datang di mimpi. Namun, perkataannya masih sangat jelas dia ingat.
"Apa ada sesuatu yang menyebabkan perusahaan jatuh?" tanya Adeline tiba-tiba.
Sang asisten itu terdiam mendengar pertanyaan anak majikannya. “Maaf, Nona,” ucap pria itu menundukkan kepala.
“Jawab saya, Pak Dalton!” desaknya.
Dalton mengangkat kepala dan menatap wajah anak majikannya dengan perasaan kasihan. Setelah apa yang dialami oleh Adeline, Dalton tidak yakin berita yang akan dia sampaikan, bisa membuat wanita itu tetap tegar.
“Tuan Brandon yang sudah membuat perusahaan sampai seperti ini.”
Adeline terbelalak mendengar jawaban Dalton, ucapan itu terasa sangat memekakkan telinga. Dia merasa dirinya sudah tidak sanggup untuk menghadapi semuanya.
Ternyata … pria yang sangat dia cintai, yang sangat dia percaya, adalah orang yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan.
“Tidak adanya bukti yang kuat, membuat kami kesulitan untuk melaporkan Tuan Brandon ke pihak yang berwajib,” ucap Dalton mengakhiri penjelasannya.
Adeline yang hanya diam tanpa ekspresi membuat Dalton kebingungan. Dia kira anak majikannya itu akan mengamuk atau menyumpahi pria yang sudah menipunya.
Namun, reaksi yang diberikan Adeline sungguh sangat di luar dugaan. Wanita itu hanya diam saja tanpa memberikan ekspresi yang mudah dimengerti.
“Nona? Apa Anda—”
“Kapan saya bisa pulang?”
Dalton terdiam. Ia semakin bingung karena Adeline malah menanyakan hal di luar pembicaraan mereka.
“Pak Dalton?” panggil Adeline.
“Iya, Nona?”
“Kapan saya bisa pulang?” Adeline mengulang pertanyaannya.
“Sekitar dua hari lagi.”
“Saya ingin pulang sekarang.”
“Tapi, Nona … Anda—”
“Pak Dalton,” panggil Adeline memotong perkataan Dalton.
“Iya, Nona. Saya akan mengurus kepulangan Anda.”
Dalton lalu keluar untuk mengurus tugasnya. Meninggalkan Adeline seorang diri di ruangan yang penuh dengan kenangan pahit mengenai mendiang ayah kandungnya.
Adeline sudah tidak lagi melihat Dalton. Pikirannya dipenuhi dengan kalimat umpatan pada dirinya sendiri karena sangat mudah untuk dibodohi oleh pria yang dicintai.
Padahal mereka sudah bersama selama lebih dari satu tahun. Selama itu, tak sekalipun dia menaruh rasa curiga atau pikiran negative tentang mantan suaminya itu.
Adeline tidak tahu dimana letak kesalahannya. Selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan bisa dibilang, mereka tidak pernah bertengkar. Brandon adalah pria yang baik dan selalu mengalah demi kebahagiaan Adeline. Pria itu selalu mengutamakan istrinya di atas kepentingannya. Brandon tidak pernah berbicara dengan nada tinggi sekalipun mereka sedang berbeda pendapat.
Hari itu Adeline langsung pulang ke rumah. Merenungi pernikahannya dengan sang mantan suami yang masih sangat dia cintai. Sejujurnya dalam hati, Adeline masih sangat berharap bahwa Brandon hanya korban fitnah. Pria itu masih memiliki alasan yang logis untuk meninggalkannya. Adeline masih berharap bahwa Brandon akan kembali dan menjelaskan alasan kenapa dia sampai berbuat seperti itu.
Namun, berdiam diri di kamar juga bukan sikap yang tepat untuk mendapatkan jawaban. Adeline harus keluar dan mencari tahu sendiri.
Akhirnya wanita berusia 22 tahun itu memutuskan untuk keluar dari kamar dan pergi menuju kediaman Brandon. Ia akan menyelesaikan semuanya secara baik-baik dan melakukan mediasi supaya pria itu mau kembali.
Tok… Tok… Tok…
Adeline menunggu dengan sabar di luar apartemen Brandon. Dia yakin bahwa pria itu tidak seburuk yang dikatakan Pak Dalton. Pasti ada kesalahpahaman dan Brandon bukanlah orang jahat seperti yang dikatakan oleh asisten kepercayaan ayahnya.
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka membuat Adeline yang berdiri membelakangi pintu, berbalik. Melihat sosok yang membuka adalah seorang wanita muda yang cantik, seketika membuat dia terheran.
“Siapa?” tanya wanita itu dengan nada sinis.
“Ehmm .... Apakah ini apartemen Brandon Cavanaugh?” tanya Adeline menahan berbagai pertanyaan di kepalanya.
“Iya, ada apa mencari suami saya?”
Deg!
Bagai petir di siang bolong. Adeline lagi-lagi dikejutkan dengan berita yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Kamu … bercanda, kan?” tanya Adeline.
Wanita itu mengerutkan keningnya seakan tidak suka dengan pertanyaan Adeline. Kemudian berjalan dengan angkuh mendekatinya seraya menatap tidak suka.
“Apa kamu Adeline Rothwell?” tanyanya dengan nada angkuh penuh kesombongan. Wanita itu tersenyum sinis kemudian berkata, “Melihatmu hanya diam saja, aku yakin kamu adalah Adeline Rothwell. Wanita bodoh yang dinikahi suamiku. Ah! By the way, terima kasih karenamu … aku dan suamiku bisa hidup enak seperti ini.”
Jika dalam kondisi biasa Adeline pasti bisa menjawab perkataan orang-orang yang menyakitinya. Namun, kali ini lidahnya kelu dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
Semua informasi dan berita yang didengarnya beberapa hari terakhir sudah membuatnya sangat terkejut. Kehidupan sempurna yang dia miliki sudah hancur karena ulah seorang pria yang sangat ia cintai.
“Lebih baik kamu pergi karena saat ini suamiku sedang tidak ada di rumah,” ucap wanita itu sebelum masuk ke dalam apartemen dan meninggalkan Adeline di lorong apartemen itu.
Dengan gontai, Adeline berjalan meninggalkan apartemen itu. Pergi tanpa tentu arah dan tujuan yang jelas. Dia hanya mengikuti kemana kaki melangkah. Adeline berjalan dengan pandangan kosong dan pikiran yang bercabang. Bahkan rasa sakit dari luka akibat menginjak pecahan kaca, sudah tidak lagi terasa.
Hingga tanpa sadar dia sudah berada di pinggir jalan raya. Menatap lurus ke depan tanpa melihat kiri dan kanan.
‘Apakah … permasalahan hidup ku bisa berakhir jika aku meninggalkan dunia ini?’ tanyanya dalam hati.
Adeline mendongak, melihat langit yang sudah agak gelap karena hujan akan turun. Menghirup udara dingin sebelum hujan membasahi bumi. Sedingin hatinya yang telah beku akibat ulah seorang pria yang sangat ia cinta.
Adeline mengangkat tangan kanannya. Mengeluarkan sebuah cincin yang melingkar di jari manis kemudian membuang asal ke jalanan. Tidak peduli dengan harga cincin itu yang bisa dipakai untuk membeli sebuah rumah mewah di kawasan elit ibu kota.
Adeline memerhatikan cincin itu yang menggelinding bagai tak berharga. Melihat dengan ekspresi dingin setelah itu kembali menatap jalanan. Setelah lampu lalu lintas berubah merah, pertanda bahwa pejalan kaki boleh lewat, barulah ia pergi dari sana.
Tanpa Adeline ketahui, seorang pria yang sejak tadi memerhatikannya dari dalam mobil, berjalan ke tempatnya berdiri tadi. Memungut cincin itu lalu kembali ke dalam mobil. Memberikan cincin yang dipungutnya ke seorang pria yang duduk di kursi belakang yang adalah tuannya.
Pria itu tersenyum sinis seraya memerhatikan cincin itu. Kemudian memerintahkan pria yang tadi memberikannya cincin, untuk pergi dari sana.