Ceritanya pada suatu malam. Akio baru kembali dari tempat ia bekerja mencari pundi-pundi rupiah. Walau masih duduk di bangku sekolah menengah pertama ditambah di sekolah negeri yang elit punya. Ia merasa tetap haru berusaha mencari penghidupan sendiri untuk meringankan beban kedua orang tua yang sudah berat.
Pekerjaan malam ini membuat ia harus pulang terlambat jika disbanding malam biasa. Untung saja tempat ia bekerja bersedia beri kompensasi meski tak seberapa. Namun, kenapa dari kejauhan ia melihat keberadaan seorang gadis cantik dengan tubuh bening nyaris sempurna tengah berdiri dekat pagar rumahnya. Seolah sedang menunggu sesuatu.
“Sabrina!” panggil Akio. “Ini jam tiga pagi lho ini, anjir. Ngapain lo nangkring di sini udah kek kuntilanak kehilangan harapan hidup?” tanya Akio kaget menyadari siapa gadis itu.
“Gue emang lagi nungguin lo kok, Akio,” jawabnya lirih. Matanya sembab dan wajahnya pucat. Tampak habis menangis.
Jangan-jangan nangis karena nungguin gue. Sampai Baek tau soal ini bisa mati tiga kali gue. “Nggak etis kalau gue bawa perempuan masuk rumah. Mau gue hubungin Baek nggak?” tanya Akio. “Dia yang lebih pantas jadi tempat lo datang, Bi.”
“Gue di sini karena nungguin lo,” ucap Sabrina lagi. Air mata gadis itu kembali menetes dengan cukup deras walau tak disertai suara isakan.
Kalau ada tetangga liat pasti gue yang dikira bikin nangis. Gue harus ngapain, ya. “Kalau begitu ayo kita duduk di teras rumah gue. Lo ceritain ada masalah apa. Apa ada hubungannya sama Baek?” ajak sekaligus tanya Akio.
Sabrina tak menjawab satu patah kata pun.
Kayaknya bener. “Lo sama Baek bukannya lagi baik-baik aja? Kenapa tiba-tiba jadi kayak gini? Ada masalah apa?” tanya Akio.
Tiba-tiba Sabrina mengangkat wajah. Ndus ndus ndus. Mengendus aroma yang ganjil dari tubuh Akio.
“Ada apa sih, Bi?” tanya Akio heran. Ia tak merasa ada bau yang aneh menguar dari tubuhnya. Tapi, apa yang gadis itu lakukan terlihat berbeda.
“Gue nyium bau minuman keras dari badan lo,” jawab Sabrina yakin.
Mati! Karena bareng Mas Endri gue lupa ganti baju. Akio menyeret Sabrina keluar dari pekarangan rumahnya. Menuju pos ronda. Segera ia ganti pakaian kerjanya dengan kaos oblong dari dalam tas.
“Maafin gue, Bi. Gue nggak bermaksud melakukan ini sama lo. Mending lo pulang aja sekarang,” pinta Akio dengan tatapan penuh harap. Ia merasa keberadaan gadis itu jauh lebih lama di tempat ini. Akan berkembang jadi masalah yang tak bisa ia hadapi di masa depan nanti.
“Bakal gue bocorin sama semua orang kalau lu usir gue!” ancam Sabrina tak main-main. Akio berasal dari keluarga muslim yang cukup taat. Jika orang tua dan keluarganya tau bahwa pekerjaan yang ia lakukan selama ini berhubungan dengan benda haram itu…
Ya Allah, gue diancem cewek sahabat gue sendiri, dong. “Sebenernya lo mau apa, sih? Kenapa jadi kayak gini?!” tanya Akio meninggikan nada suara.
“Pokoknya saat ini gue pengen lo dengarkan gue dengan baik. Jangan menyela. Jangan beri respon negatif. Kalau nggak tau mau jawab apa jawab aja dengan bahasa tubuh,” jawab Sabrina. “Apa lo mengerti?” tanyanya.
“Iya, udah, cepetan! Bentar lagi bakal adzan Subuh, nih,” peringat Akio melihat kubah mesjid dekat sana.
“Gue pengen putus dari Baek,” ucap Sabrina pada akhirnya.
…….
Pukul tujuh malam di hari yang sama.
Baek datang ke rumah Sabrina untuk mengajak malam mingguan. Kali ini ia kembali datang dengan mobil. Tapi, bukan mobilnya yang lama (karena ngaku sudah dijual, maka Baek beli baru. Ia melengkapi dramanya dengan atribut karangan bebas soal bagaimana finansial keluarganya akhir-akhir ini telah membaik). Sabrina menyambut Baek seperti biasa sebelum tragedi sepeda.
“Kamu mau ke mana?” tanya Baek.
“Terserah kamu,” jawab Sabrina.
Akhirnya mereka berdua makan malam di sebuah kafe yang terletak di wilayah elit dan kerap digunakan nongkrong oleh para anak hitz. Sabrina bersikap seolah tragedi sepeda tak pernah terjadi. Itu membuat Baek segan. Ia berpikir untuk melupakan fakta yang ia dapat saat tragedi itu. Lebih mendengar kata hatinya.
Nggak masalah kalau bukan cinta. Yang jelas Sabi berharga buat gue. Atas alasan apa pun. Gue belum siap kehilangan dia.
*
Di perjalanan pulang. Sabrina mengevaluasi perasaannya malam ini. Kenapa Baek tetap baik. Apa yang harus ia lakukan pada cowok sebaik ini saat ia menyadari perasaannya nggak lagi murni.
“Sayang, kamu nggak usah nganterin aku sampai rumah. Aku mau main ke rumah temen,” pinta Sabrina.
“Temen apa malam Minggu begini?” tanya Baek.
“Iiiih, kamu cemburu, ya? Aku nggak akan pernah khianatin kamu. Cinta aku tuh sebesar bulan cuma buat kamu,” goda Sabrina.
“Kalau cintaku sebesar matahari,” balas Baek. Menggenggam tangan gadis itu jauh lebih erat.
…….
“Lo bakal nyesel banget,” respon Akio setelah mendengar curhatan Sabrina, “Saking nyeselnya sampai sampai lu bakal milih buat kehilangan segalanya timbang memutuskan hal seperti itu.
“Percaya aja sama gue, Sabrina.”
“Ada bagian dari diri Baek yang hanya gue bisa lihat. Dan bagian itu nggak akan lo mengerti, Ki,” bantah Sabrina. Berusaha mempertegas keputusannya.
“Bagian mana?” tanya Akio balik.
“Gue… Sebenernya gue sendiri juga nggak bisa begitu yakin. Seolah keyakinan jadi hal yang sangat sulit untuk keluar dari hati gue saat ini. Apalagi dari rongga mulut gue. Gue nggak bisa mengutarakan jawabannya, Akio. Juga nggak tau,” jawab Sabrina kebingungan sendiri. Ia berakhir kesulitan ungkapkan perasaan menjadi rangkaian kata. Seolah semua yang telah ia usahakan tak ada hasilnya. Tak ada harganya.
“Jangan stereotip, Sabrina. Kalau lu merasa seperti itu. Apa lu keberakan kalau gue tunjukin bagian baik dari sisi yang lu lihat berdasar kacamata gue sebagai sahabatnya? Baek itu ya… dia nyaris… sempurna, men. Dilihat dari sisi mana pun juga dari kacamata yang bentuknya gimanapun juga,” ucap Akio.
Sabrina hanya bisa terdiam. Nafasnya seperti tercekat di d**a. “…”
Anak remaja laki-laki itu melanjutkan, “Aslinya jijik sih gue ngomong begini soal anak t***l itu. Tapi, gak bakal mudah untuk ketemu sama orang kayak dia di tempat lain,” nasihat Akio yakin, “Udah, deh. Mending lo itu percaya aja sama gue.”
Pada akhirnya Sabrina hanya bisa memalingkan wajah dengan perasaan yang semakin gundah.
*
Sepulangnya Sabrina. Akio masuk ke dalam rumah dan berbaring di ranjang kamarnya seolah “tak” ada yang terjadi. Bukan apa apa. Ia hanya jadi berakhir memikirkan sendiri apa yang baru ia ucapkan soal sahabatnya yang sableng satu itu.
Bagaimana, ya?
Ini bukan cerita romantis antara dua lelaki. Ini hanya kisah “sederhana” bagaimana seorang laki-laki lurus, waras, berintelektual tinggi, cerdas, pintar, sholeh, rajin belajar, menabung, dan bekerja. Seperti Akio Morita itu merasa bahwa Baek Nam Dong memang anak baik. Entah sebagai teman, sahabat, atau… yang lain mungkin.
Walau kakek dan neneknya adalah konglomerat, dan orang tuanya merupakan manusia yang sangat kaya bin tajir melintir bin crazy rich, atau apalah namanya. Baek adalah orang yang tidak membeda-bedakan kedudukan orang lain. Ia berteman dengan semua orang tidak peduli bagaimana latar belakang keluarganya. Bahkan orang yang sangat biasa, miskin lah boleh dibilang, seperti Akio pun bisa berakhir jadi sahabat baiknya.
Dan cukup dari sana saja… ia bisa menilai betapa tulus dan baik hati manusia bernama Baek Nam Dong itu.
“Seperti itulah, Sabrina. Selamat kehilangan salah satu laki-laki terbaik di dunia ini.”
Eh.
“Najis banget pikiran gue, njir. Rasa hati ingin menggebuk kepala Baek Nam Dong besok.”
*
Sementara itu… Baek Nam Dong di rumahnya sendiri.
“HATSSYUUUU!!!”
Tak ada angin tak ada hujan, saat sedang tidur tiba-tiba bersin “tanpa” penyebab.
“Anjir…”
Dengan cepat ia kembali tak sadarkan diri.
“Ngrroookkh…”