One Punch Boy

2085 Words
Tak ada hari libur untuk anak kelas sepuluh pada hari Sabtu seperti umumnya peraturan otonomi daerah di provinsi ini. Kami semua tetap belajar seolah yang namanya libur itu tak pernah ada. Aku masih pusing memikirkan bagaimana akan mengelak dari perintah Ayah beberapa hari lalu. Ayah merupakan tipe orang tua yang jarang membuat permintaan atau memberi tuntutan pada anaknya. Namun, sekali ia meminta sesuatu maka sama arti dengan tak ada penolakan. Aku jadi membayangkan Baek dan Akio yang saat ini mungkin sedang bersenang-senang di sekolah mereka yang “b” saja itu. Benarlah suatu meme yang bertuliskan seperti ini, Keterima SMA Swasta Spebius kelar hidup lo. “Var!” panggil Sien dari pintu kelas. “Buruan keluar!” perintahnya sambil menarik tangan Var. Padahal ia sedang sangat malas. Di titik yang mereka tuju terdapat gerombolan siswa dan siswi lain. Mereka bersorak-sorak seperti Imam Mahdi lewat di depan mereka. Var sungguh tak paham. Jangan-jangan sekolah ini kedatangan idol K Pop atau yang semacam itu. “Kyaaaa! Kyaaaa! Kyaaaa!” teriak nyaris semua siswi histeris. Var melihat ke depan mereka. Sekelompok siswa pesolek dan beberapa siswi super cantik lewat. Bentuk seragam mereka berbeda. Melenggang seolah jalanan adalah catwalk. Rambut mereka semua berwarna-warni dan mengenakan barang-barang branded seharga ratusan juta. Jadi… merekalah… The SUPer’s. Para anak yang mungkin akan melengserkan posisi Stephen Hawking, manusia paling jenius abad dua puluh satu dan posisi Nikola Tesla, manusia paling jenius sepanjang masa, batin Var dengan tatapan super nanar. “Yang rambutnya hitam itu siapa?” tanya Var pada Sien, “Dia tampak sangat berbeda jika disbanding dengan para SUPer’s lain.” “Oh, kalau yang itu namanya Ariy. Yang tempo hari datangin gue di kantin,” jawab Sien semangat. Mari dengarkan sorak sorai siswa maupun siswi yang sangat norak akibat tebar pesona para SUPer’s, “Kak Auriv kereeen!” “Kak Sukirman ganteeeng!” “Kak Rui mantaaap!” “Kak Eurwyn, roti sobeknyaaa!” “Kak Ariy cuek, tapi sekseeh!” “Kak Lewviy tampangnya ganaaas!” “Kakak-Kakak semua, gantengnya tolong dikondisikan!” “Kegantenganmu merubah duniaku! HIYAAA!!!” Seluruh siswa SMA Swasta Spebius memanggil SUPer’s dengan honorifiks “kak”. Tak peduli seangkatan atau malah di bawahnya. Momen ini sendiri merupakan pertama kali Var melihat teman sealmamaternya saat duduk di bangku SMP dulu. Rasanya ia memang pernah lihat, sih. Saat tatapan mereka bertemu. Ia langsung buang muka. Mungkin anak itu tak seramah yang diceritakan oleh Sien. “Pih, buang muka dia,” respon Var tanpa sadar. “Akhir-akhir ini Ariy memang berubah,” ucap Sien tiba-tiba dengan tampang tidak menentu. Var merasa itulah saat bintang yang hangat membeku karena dilempar Tuhan ke dasar samudra. Ia tak menjadi dingin karena keinginannya. Namun, tekanan lingkungan yang berada di sekitarnya. ……. Sekalipun untuk urusan keluarga. Kelas tambahan tak boleh ditinggalkan. Var harus tetap datang atau nilai kedisiplinan akan dikurangi. Ini adalah sekolah yang mementingkan nilai (dan fashion) di atas apa pun. “Sien, kata lo SUP kekuasaannya di atas dewan guru, ‘kan?” tanya Var di kantin saat istirahat. “Ho’oh,” jawab Sien. “Kalau gue bisa dapetin izin SUP buat melakukan sesuatu yang dilarang dewan guru. Bisa nggak?” tanya Var. “Bisa aja,” jawab Sien. “Gue harus dapetin izin mereka buat bolos kelas tambahan malem nanti.” Sien menghentikan makannya. “Dengerin gue, ya. Lo itu…” “WOII!!!” teriak seorang siswa dari luar. “Ada yang berantem di gedung Valentina Pierrepont,” beritahunya. “Terus gimana?” tanya seorang siswa mengikuti langkahnya menuju tempat kejadian perkara. “Ngeri banget, deh. SUP Valentina Pierrepont sampai nggak bisa berbuat apa pun.” Tabiat orang di mana-mana sama. Ada orang berantem malah ditontonin, batin Var, sebenarnya aku juga, sih. Di lokasi kejadian perkara. Ada dua siswa yang tengah berkelahi. Satunya kelas sepuluh. Satunya kelas sebelas. Dua-duanya atlet beladiri. Inilah yang membuat perkelahian jadi semakin menarik. SUP gedung Valentina Pierrepont sampai kewalahan untuk melerai mereka. “Back up SUP gedung Wirasana Digdaya!” teriak Kak Rui, SUP gedung Valentina Pierrepont pada SUP lain, Kak Reeka. Gadis kelas sebelas itu langsung melesat menuju gedung Wirasana Digdaya. “Kenapa pakai minta back up gedung lain segala?” tanya Var pada Sien yang berdiri sedikit di depannya. “SUP gedung Wirasana Digdaya itu sekaligus pemimpin para SUP gedung lain. Kak Auriv ketua semua SUPer’s juga SUP yang bertanggung jawab atas gedung Wirasana Digdaya,” jawab Sien. Aku tidak begitu paham pada hirearki para SUP. Yang jelas Kak Auriv adalah ketua SUP yang memegang kekuasaan paling tinggi di SMA Swasta Spebius, simpul Var, mungkin seperti itu yang ia maksud. “Ada apa ini?” tanya Kak Auriv. Aura kebangsawanannya terasa kental sekali. Di sisinya berdiri Ariy. Orang yang paling ingin Var temui hari ini. Setelah dijelaskan oleh Kak Reeka. Kak Auriv membisikkan sesuatu di telinga Ariy yang membuat ia mendekati dua orang yang sedang berkelahi. Ariy memukul dua orang itu dengan one punch. Setelah keduanya terpisah. Ia melancarkan serangan pada siswa A. Duak! Buak! Siswa A tersungkur ke lantai. Siswa B. Duak! Buak! Duuk! Ia pun tersungkur ke lantai. Semua selesai lebih cepat di tangan Ariy timbang saat kami ribut-ribut tadi. “Teman-teman,” teriak Kak Auriv. “Saya harap kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Untuk kelas sepuluh. Hanya karena kalian dibiarkan mewarnai rambut dan bergaya sesukanya. Bukan berarti kalian bisa bertindak seenaknya. Kami punya hukum. Siapa pun yang melanggarnya harus siap menerima resiko. “Kir, Lawson, tolong bawa mereka ke unit Kesehatan sekolah!” perintah Kak Auriv pada dua SUP lain yang ada di sana. Ariy akan pergi. Kembali ke kehidupan kerennya sebagai SUP. Ia harus menghentikannya sekarang atau tidak sama sekali. “Ariy!” panggil Var. Ia tak menoleh. Tak berhenti. Inilah eksklusivitas SUP yang bersembunyi di balik kabut tebal. ……. Pukul setengah dua siang. Sebuah helikopter pribadi mendarat di helipet SMA Swasta Spebius. Seorang pria yang mengenakan setelan Kiton turun dari helikopter itu dan melangkah menuju gedung Wirasana Digdaya. Tepatnya ruangan para SUP. Di ruang tamu SUP’s Room. Auriv sendiri yang menjamunya. Ia tau pria yang bisa masuk sekolah elit ini seenak hati tanpa diciduk oleh keamanan. Menggunakan helikopter pribadi pula. Sudah nyaris pasti bukan orang biasa. Mencoba untuk tetap elegan, tapi bukan waktunya bersikap sok eksklusif. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Auriv ramah. Pria itu tak menjawab. Eksklusivitas Auriv luntur seketika. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ariy sambil menghidangkan secangkir Yellow Gold Tea Buds di cangkir edisi terbatas buatan Rosemary Bluerbuds. “Hallo,” kata pria itu sambil menjabat tangan Ariy. “Bagaimana kabar kalian?” tanya pria itu. “Kami baik-baik saja,” jawab Ariy lembut. “Baiklah. Nanti kita bicara lagi, ya,” pesan pria itu. ……. Akhirnya Var tetap lebih memilih kelas tambahan timbang acara ayahnya. Sebenarnya ia takut ayahnya akan marah. Tapi, tidak ada pilihan lain. Tok tok tok. Ada yang mengetuk pintu kelasnya. Karena sudah gelap dan sekolah sepi. Var cukup takut. Ini seperti adegan film horor. Var melihat waspada. Pak Sugeng membuka pintu dan untuk beberapa lama berdiri di luar. “Var,” panggil Pak Sugeng. Var pun meninggalkan soal yang sedang ia kerjakan dan menghampiri gurunya. Di sisi Pak Sugeng berdiri Ariy yang berwajah dingin dan menakutkan. ... .... Siapakah pria itu? Apa yang membuatnya datang ke sekolah tersebut hari itu? Dan lagi... apa yang kiranya akan Var alami setelah ini? - ARIY - Hari Minggu ini rasanya aku tak mau bergerak sama sekali. Aku hanya ingin tidur, hibernasi atau yang semacam itu dan baru bangun sekitar dua tahun lagi atau saat sudah lulus saja. Sebenarnya aku sangat ingin menghubungi Baek atau Akio. Untuk menanyakan beberapa hal soal Ariy. Tapi, sepertinya tidak bisa. Tadi malam Ariy mendatangi kelasku untuk mengatakan bahwa aku boleh pulang lebih awal. Aku sangat senang Ariy bersedia membantuku. Tapi, dari mana juga dia bisa sampai tahu kalau aku harus pulang lebih awal? Sosoknya terlihat benar-benar berbeda dengan wajah hangat yang menyapa Sien hari itu. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Aku tidak tau. Dia seperti memiliki beberapa wajah yang berfungsi sebagai si ramah, si penyapa rakyat jelata, si elit anggota SUP, si angkuh, dan si si lain yang tak aku ketahui. Ada apa dengan Ariy sebenarnya? Siapakah dia sebenarnya? Sesuatu yang ada di balik wajah ramah penuh tipu muslihatnya. ……. “Terima kasih, Ariy,” ucap Var penuh syukur. Ia tak menyangka bisa dibantu secara langsung oleh seorang SUP. Bahkan saat… ia belum mengatakan permintaannya. Dari mana dia bisa tau, ya? Ah, tidak tau juga, lah. “Nggak perlu berterima kasih,” balas Ariy dengan intonasi suara sinis. “Gue nggak menyangka lo bisa jadi SUP. Gue harap kita bisa berhubungan lebih baik timbang saat SMP,” ucap Var lagi. Masih berharap bisa mendapat keuntungan sebagai teman SMP seorang anggota SUP yang super elit. “Jangan sok akrab, deh!” balas Ariy semakin ketus sambil menaikkan sebelah bibir. “Gue liat lo tadi pagi. Lo ikut beladiri apa? Kalau serangannya kaki Taekwondo, ya. Atau Aikido. Gini-gini gue juga ikut beladiri, lho,” beritahu Var ceria. “Kapan-kapan berantem, yuk,” ajaknya. “Jangan banyak omong sama gue!” balas Ariy dengan wajah yang tak banyak memasang ekspresi. Mereka terus berjalan menuju mobil jemputan Var. Var pikir Ariy cukup ramah untuk mengantarnya. Ternyata ia hanya khawatir Var tak menemui jemputannya dan pergi ke tempat lain. Sebelum masuk mobil Var bertanya pada Ariy, “Apa lu mau temenan sama gue?” Ia tak menjawab bahkan sampai Var pergi. Ia mulai berpikir mungkin para SUP benar-benar anti dengan kehidupan para rakyat jelata. ……. Sampailah ia di sebuah restoran bintang lima yang terletak di bilangan Jakarta Pusat. Var langsung mengganti pakaian dengan stelan yang sudah sekretaris ayahnya siapkan. Mereka menuju keluarga teman Ayah yang sudah menunggu di suatu meja. Selagi Ayah dan Bunda sibuk bercipika-cipiki dengan teman mereka. Var melihat anak seumurannya yang tampak pendiam dan tak banyak berinteraksi dengan siapa pun. “Hai,” sapa anak itu dengan suara berintonasi datar. “Hallo,” balas Var sama datarnya. Obrolan mereka selesai di sana. Pemuda itu seperti memiliki aura yang tak mau disentuh. Pemuda ini, Maz Archerian Gala Gilga Mesha Halayuda, pasti sudah melupakan mantan kompetitornya dalam olimpiade sains nasional saat itu. Walau di luar tampak tenang dan kalem. Tengah ada pergolakan besar dalam benak Maz Rian: CUKIMAY! Harusnya malem ini gue bisa ke rumah gebetan. Malah disuruh nemenin Papi dan ketemu sama sesama anak cowok. Mana besok udah balik lagi. Taiiiiiii, umpatnya kesal dalam hati. “Tidak perlu diragukan kalau anak Bapak bisa masuk SMA Swasta Spebius. Sudah pasti itu kalau melihat siapa ayahnya,” puji Aron. “Jangan terlalu memuji. Anak kamu sendiri masuk mana?” tanya Val. “St. Sonderführungen Angebote di Perancis,” jawab Aron dengan tatapan merendah. Sepasang pria paruh baya itu mengobrol lama sekali. Mulai dari topik-topik kampus dan pendidikan negeri yang penting. Sampai hal-hal yang sangat tidak penting seperti kejadian Val kecipirit saat sedang naik kuda. Var sendiri memutuskan menyibukkan diri saa dengan gawainya. Anak itu juga sibuk dengan gawai. Var berpikiran untuk menegur dan sok bersikap ramah. Tapi, ternyata tidak enak enak. Tidak tau mau menegur apa juga. Dia pun terlihat tak bisa diganggu. Fiuuh, kalau seperti ini rasanya jadi sangat membosankan. Lebih baik tadi aku ikut kelas tambahan saja sudah, batin Var kesal. Anak remaja lelaki itu pun membuka grup WA yang ia buat bersama Baek dan Akio. ……. Ruang grup chat 3 pemuda pencari masa depan: Prof. Handsome: apakah ada yang memiliki sejenak waktu luang? Ting! Dr. Baek Sen Jo: absen. Honda Sei Chuu: abseeen desyuuu. Prof. Handsome: apakah kalian mengingat teman SMP kita yang bernama Ariy? Honda Sei Chuu: inget. Dr. Baek Sen Jo: napa, dah? Prof. Handsome: dulu saat di sekolah dia anak yang seperti apa? Dr. Baek Sen Jo: kelasnya tuh beda gedung sama gedung kelas kita. Gak gitu ngeh gue. Honda Sei Chuu: dia kan anak yang ikut ekskul rohani Islam. Pernah ketemu pas Tabligh Akbar Round of Circle 10. Anaknya cukup baik, kok. Murah senyum. Gak pendiem juga dan cukup supel. Yah, yang jelas gak kayak lu, bro. Prof. Handsome: aku butuh lebih banyak lagi! Menurut kalian berdua dia anak yang seperti apa? Apa hanya seperti itu saja kah? Dr. Baek Sen Jo: sangat normal. Very very really incredibly normally. Nggak kayak elu, ya. Kenapa nanyain itu, dah? Prof. Handsome: tapi, sejauh aku kenal dia selama bersekolah di sini, dia sama sekali nggak normal. Jauh dari kata biasa. Aku rasa sih seperti itu, ya. Dr. Baek Sen Jo: ... Honda Sei Chuu: ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD