Hibana

1334 Words
“Yang namanya percikan itu selalu kecil awalnya.” *** Begitu kelas selesai, Sakura mengulur sedikit waktu untuk berberes di dalam kelas. Ia sengaja melakukannya agar pria itu atau mungkin putrinya merasa bosan dan tidak lagi menunggu. Tetapi pemikirannya salah ketika menemukannya bersama dengan Hana sedang duduk menunggu dengan sabar di depan kelas. “Ah, maaf. Apakah menunggu terlalu lama?” Sakura merasa bersalah dan kecewa pada saat yang bersamaan. Pria itu beranjak dari kursi dan berdiri di hadapan Sakura, menjadikan wanita itu kalah tinggi meskipun tergolong lebih tinggi dari rata-rata wanita. “Ah iya, Sensei,” katanya. Figur kharismatik dan kokoh serta wajah blasteran milik pria di hadapan Sakura membuat dirinya hampir terbuai. Sakura, sadar. Itu laki-laki berkeluarga. Udah punya anak satu lagi. Ngapain kamu? Sambil berpikir dalam hati, ia menyentuh dadanya yang kini mengalirkan debaran yang ia tak tahu bagaimana munculnya saat menatap wajah pria itu. Namun ia cepat-cepat menurunkan tangan agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Maaf ya kalau saya mengganggu tadi. Oh ya, nama saya Andrew." Sebuah tangan besar dan kekar terulur padanya. Sakura segera mengulurkan tangannya dan memberikan jabat tangan singkat. Ia mengangguk dan memberikan senyuman kecil. “Saya juga mohon maaf jika kelas saya tidak bisa memfasilitasi kecerdasan Hana yang melebihi anak-anak lainnya.” Ucapannya terdengar lebih lembut selepas mendengar permintaan maaf. Emosi yang ia dapatkan beberapa saat lalu di kelas perlahan luntur. “Kalau gitu, Sensei bisa dong perbaiki cara mengajar dan kurikulumnya? Misalnya ya, satu materi satu sesi aja. Karena kalau diulang di sesi berikutnya, itu sama saja membuang-buang waktu.” Baru saja Andrew melunakkan hati wanita berambut panjang lurus di hadapannya ini, tetapi kini ia kembali membangkitkan emosinya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa di kala perut kosongnya bergelora, Sakura menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Sebagai seorang wanita dewasa dan pengajar profesional, ia tidak boleh melabrak orang tua murid. Terlebih ia masih membutuhkan pekerjaan ini untuk membayar cicilan-cicilan yang belum lunas. Akan sangat memalukan baginya jika di usianya yang keduapuluhdelapan, orang tuanya masih harus membiayainya. “Pak Andrew, saya sudah bekerja disini selama lima tahun dan telah melewati berbagai perubahan kurikulum dan cara mengajar. Dua tahun terakhir ini saya telah menggunakan metode yang sama, seperti yang Bapak sudah ketahui. Itu yang membuat murid-murid saya berhasil menyukai Bahasa Jepang dan mulai berbicara dengan baik di usia dini.” Mode bicara formalnya otomatis menyala seperti lampu emergency ketika situasi tiba-tiba menjadi ‘darurat’. “Lalu Sensei punya solusi apa?” Andrew melemparkan sebuah pertanyaan lainnya yang justru menambah kobaran emosi Sakura. Ya, Tuhan. Dosa nggak sih kalau aku panggil Pak Yoto khusus untuk kentutin si Andrew ini? Bawel banget jadi cowok. Sakura memikirkan tentang satpam sif malam di gedung ini yang rumornya memiliki bau kentut yang mematikan. Orang terakhir yang mencium kentutnya bahkan harus sampai dirawat di rumah sakit karena mual berkepanjangan. “Kalau boleh jujur, saya salah satu dari sekian tutor di kursus bahasa ini yang mendapatkan gelar sebagai pengajar terbaik. Tetapi saya bisa ajukan kasus ini ke supervisor saya dan mungkin Bapak bisa memilih tutor lainnya yang dirasa cocok untuk Hana.” Terasa sekali emosi mendominasi nada suara Sakura kali ini meskipun ekspresi wajahnya tampak tenang. “Iie, watashi wa Sakura Sensei ga sukidesu[1],” Hana menyampaikan sebuah komentar yang tidak disangka. Baik Sakura maupun Andrew terbelalak mendengar gadis kecil itu berbicara bahasa Jepang seperti bahasa ibunya sendiri. Sakura pun berlutut, menyamakan level pandangnya dengan Hana. “Hontoni?[2]” ia membelai rambut gadis kecil itu. Sebuah anggukan diberikan Hana dengan penuh keyakinan. Ada kepuasan tersendiri yang tumbuh dalam hati Sakura, seolah ia baru saja mematahkan pernyataan Andrew mengenai kebosanan yang Hana mungkin akan alami dengan cara mengajarnya. Ia mendongak kepada Andrew dan memberikan senyuman yang seakan memberikan pesan tersembunyi : ‘Tuh kan? Anakmu aja suka.’ Andrew akhirnya turut berlutut di depan Hana. “Jadi, Hana tetap mau sama Sakura Sensei?” Tanyanya dengan nada yang benar-benar berbeda ketimbang ketika berbicara dengan Sakura. Ampun deh. Giliran ngomong sama Hana aja lembutnya kebangetan, tapi waktu sama aku kaya nyolot gitu. Kepribadian ganda emang nih orang, pikirnya. Tanpa sadar pandangan sinis Sakura tertangkap oleh Andrew dan membuatnya terkejut hingga ia buru-buru berdiri untuk menutupinya. Sambil menggendong Hana, Andrew pun kembali berdiri. “Kalau memang Hana mau dengan Sensei, apa boleh buat? Saya pikir Sensei tidak perlu menghadap ke supervisor dan saya anggap masalah ini selesai sampai disini saja.” Ia mengambil keputusan. Dia yang mulai masalah, dia juga yang mutusin kalo masalah ini kelar gitu aja. Emang aneh orang ini. Gimana tuh rasanya jadi istrinya? Capek kali ya ngadepin orang unik kaya begini? Komentar-komentar kesal terngiang di dalam kepala Sakura. “Sakura Sensei.” Suara Andrew mengembalikan kesadaran Sakura yang barusan terhanyut dalam pemikirannya. “Anda nggak lagi mikirin yang aneh-aneh kan? Misalnya, gimana rasanya jadi istri saya?” Tebakan yang tak disangka diucapkan oleh Andrew hingga membuat Sakura otomatis terbelalak dan menganga, seolah dagunya jatuh sampai menyentuh lantai. “Maaf ya, Pak. Saya itu bukan wanita yang desperate untuk menikah sampai jatuh cinta sama laki-laki dengan mudahnya. Apalagi sudah beranak.” Tanpa sadar ucapan sarkastik itu keluar dari mulutnya. Bukannya marah, Andrew justru mengulum senyum yang lebih mengarah ke sisi kanan wajahnya. “Itu bagus,” katanya. “Kalau begitu, terima kasih untuk waktunya. Saya rasa Hana sudah lapar jadi kami permisi.” Dengan ekspresi datar, Sakura menunduk sedikit ala salam perpisahan dalam budaya Jepang. Namun seperti petir menyambar sampai ke sumsum tulang, suara genderang di perutnya bergemuruh cukup keras didengar telinga. Aduh …. Ini kenapa perut nggak bisa diajak kerjasama sih? Bikin malu aja di depan orang aneh ini. “Mungkin Sensei mau makan malam bersama? Ada restoran Cina deket sini kan?” Andrew yang tadinya hendak melangkah pergi pun kembali berbalik kepada Sakura. “Anggap saja sebagai permintaan maaf saya juga.” Rasanya Sakura tidak sanggup untuk memandang Andrew dalam situasi memalukan ini. Tubuhnya tidak lagi membungkuk tetapi matanya masih memandang ke bawah. “Tidak perlu, Pak. Terima kasih.” Meskipun lambungnya meronta untuk diisi makanan, tetapi gengsinya lebih besar hingga ia menolak ajakan itu tanpa berpikir. “Udahlah, Sensei. Nggak usah gengsi. Saya ini tulus nawarin, bukan untuk tujuan apa-apa.” Andrew kembali memberikan ajakan tetapi dengan cara yang Sakura jelas tidak suka. “Terima kasih, tapi tidak. Sampai jumpa lagi, Pak Andrew.” Sakura merentangkan tangan kanannya, memberi tanda bahwa Andrew bisa pergi lebih dulu alias mengusirnya dengan halus. Ujung kanan bibir Andrew naik dan kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali. “Ya udah deh, Sensei. Selamat menahan lapar,” katanya lalu berbalik pergi. Kedua tangan Sakura sontak mengepal dan rahangnya mengeras. Ia mengamati pria beranak satu itu berjalan sampai keluar dari gedung. “Uzae[3],” umpatnya menggunakan bahasa Jepang mengenai Andrew dengan bebas menggunakan suara mendesis. “Kalo aja nggak ada Hana, udah kumaki-maki orang itu.” Suara gemuruh dari perut Sakura terdengar lagi dan membuyarkan emosinya. Ia cepat-cepat berjalan menuju keluar gedung dan masuk ke dalam mobilnya. Maminya pasti sudah memasak makan malam yang enak dan ia tidak sabar untuk mengisi perutnya. Ketika Sakura menyalakan mobilnya, terdengar suara aneh dan mesinnya terasa tersendat-sendat sebelum akhirnya berhenti. Ia mencoba kembali menyalakannya tetapi hal yang sama terjadi. “Apaan sih ini?” Ia menggerutu sambil memeriksa indikator bensin. “Ini masih cukup sampai besok loh bensinnya. Kenapa coba?” Meskipun Sakura mahir menyetir mobil, ia hanya tahu sedikit mengenai permesinan mobil. Yang ada di pikirannya sekarang adalah habisnya aki atau air di dalam mesin. Waktu masih menunjukkan pukul enam sore. Jasa servis mobil panggilan sudah pasti masih buka. Tanpa berpikir panjang, Sakura segera memanggil bengkel langganannya yang mengonfirmasi ketersediaan seorang montir untuk menolongnya. Perutnya benar-benar tidak bersahabat. Sakura tidak bisa lebih lama menunggu sampai montir itu datang. Ia yakin bahwa montir yang disebutkan tadi tidak akan datang dalam waktu yang cepat. Karena itulah ia segera meninggalkan tempat dan menuju ke restoran terdekat untuk makan malam. [T-MSD] Keterangan: [1] Tidak, saya suka Guru Sakura. [2] Yang benar? [3] Sebutan untuk orang yang sangat menyebalkan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD