SATU

1055 Words
Hari berganti. Turnamen basket antar SMA sebentar lagi akan di gelar. Dan Rama selaku kapten basket pun semakin sibuk karenanya. Bahkan waktunya bersama Dea pun banyak tersita akibat kepadatan jadwal latihan basket Rama. Seperti pagi ini misalnya. "Dea, pulang sekolah nanti aku harus survei tempat turnamen sama anak-anak. Kamu pulang sendiri nggak papa kan? Nanti aku pesankan taksi online dulu deh." ujar Rama.  "Iya nggak papa. Aku bisa pulang sendiri kok. Nggak usah pesenin taksi segala, nanti aku pesen ojek online aja, malah bisa lebih cepat sampai rumah. Hehe..." tawa Dea sembari menepuk bahu Rama. "Sekali lagi maaf ya?" Rama. Dea mengangguk paham. “Santai loh, Ram. Cuma gitu doang. Toh rumahku juga nggak jauh-jauh banget dari sekolah. Apa yang dikhawatirkan coba?” Dea. Sedari dulu Dea memang tidak pernah menggantungkan hidupnya pada Rama. Dia juga bukan tipe sahabat yang suka mengekang sahabatnya. Apalagi Dea sangat paham dengan sahabatnya itu, yang memang sangat menggemari salah satu ekstra kulikuler yang dianggap paling keren di sekolah mereka itu. "Ram, ayo latihan!" ujar salah satu teman Rama. "Iya. Sebentar." balas Rama. Rama menoleh ke arah Dea sekali lagi. Turnamen basket itu benar-benar membuatnya beberapa kali harus mengacuhkan Dea. "Aku latihan dulu ya!" pamit Rama. Lagi-lagi, Dea hanya mengangguk.  Sebenarnya Rama sangat tak enak hati harus meninggalkan sahabatnya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Kini ia memiliki tanggungan lain sebagai kapten di tim basketnya. Seperti yang di rencanakan. Siang ini Rama dan beberapa anggota tim basketnya survei tempat untuk turnamen yang akan mereka hadapi. SMA Cipta. Sekolah itu tak jauh dari sekolah Rama. Memang, SMA Cipta memiliki lapangan basket yang lebih baik dari pada sekolah lain. Maklum saja, SMA Cipta memiliki prestasi yang bagus di bidang itu. Mereka beberapa kali berhasil meraih juara satu pada turnamen-turnamen besar. Rama dan teman-temannya melihat dan berkeliling di seputar lapangan basket. Bangku penonton yang tersedia pun sangat banyak di sekeliling lapangan. Setidaknya, itu dapat menampung lebih dari lima ratus penonton. Rama tersenyum puas melihat lapangan itu. Sepertinya turnamen yang akan ia hadapi sebentar lagi merupakan turnamen besar. Sepulang dari SMA Cipta, Rama melihat gadis yang kemarin hampir ia tabrak. Airin. Bibir Rama pun secara refleks mengulas senyum setelah ia menyadari keberadaan gadis itu. Gadis itu terlihat tengah menunggu jemputan. Ketika Rama hendak menghampirinya, sebuah mobil mewah berhenti di depan gadis itu dan segera membawanya pergi. Rama menyeritkan keningnya, berusaha memperjelas pengelihatannya agar bisa mengira-ira siapa orang yang tampak mengobrol dengan Airin itu. "Cowok tadi siapanya Airin ya?" pikir Rama setelah melihat pengemudi mobil itu ternyata adalah seorang pria. Entah mengapa hati Rama terasa sesak melihat Airin di jemput seorang laki-laki. Rama melihat kepergian mobil yang membawa Airin itu dengan sendu. Ia baru pergi setelah mobil itu tidak lagi terlihat. Sore harinya, Rama berniat pergi ke rumah Airin. Belum sempat Rama masuk pekarangan rumah Airin, Rama menghentikan mobilnya. Ia ragu, apa yang akan ia katakan nanti pada Airin. Jika Airin bertanya tujuannya datang, Rama harus menjawab apa? Akhirnya Rama memutuskan untuk menunggu Airin keluar dari rumah. Ia hanya ingin sekedar melihatnya saja. Ia memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon tak jauh dari pekarangan rumah Airin. Cukup lama Rama mengamati rumah Airin, seorang pria keluar dari pagar rumah itu. Sepertinya Rama pernah melihat pria itu. Kemudian ingatannya kembali pada siang tadi. Pria itu adalah orang yang menjemput Airin di sekolah. Tapi, siapa sebenarnya pria itu? Sepertinya pria itu melihat mobil Rama. Dia penasaran dengan siapa yang ada di dalamnya. Kemudian pria itu menghampiri mobil Rama. Dia mengetuk kaca mobil Rama. Rama pun segera turun dari mobil. "Ada apa ya, Mas?" tanya Rama polos. "Anda siapa ya? Lagi cari alamat? Saya tidak pernah melihat Anda di sekitar sini soalnya." tanya pria itu balik.   "Oh, ini. Saya kesasar. Tapi ini saya juga mau pergi kok." dusta Rama yang gelagapan. Sebenarnya Rama sangat penasaran, siapa pria ini, dan apa hubungannya dengan Airin. Tapi, tidak mungkin ia bertanya langsung. Ketika Rama hendak memasuki mobil, terdengar sebuah suara perempuan, "Ada apa, Kak?" Rama segera berbalik badan mendengar suara itu. Ia merasa kenal dengan suara itu. "Rama kan ya?" kaget gadis itu yang tak lain adalah Airin. Airin tampak ragu dan sedang mengingat-ingat sesuatu. Tatapan Rama jatuh pada tangan Airin yang sedang menggandeng mesra lelaki yang menegurnya tadi. Rasa sesak kembali menyelimuti hati Rama. "Loh, kamu kenal dia?" tanya pria di samping Airin. Airin tersenyum sebagai jawaban. "Kak, kenalin dia Rama, teman Airin." ujar Airin memperkenalkan Rama. "Dan, Ram, ini kakak aku, Kak Rangga." Lanjutnya. Keduanya pun saling bersalaman. Rama menghela napas lega. Ternyata pria yang sempat ia curigai itu bukanlah saingannya. Sepertinya benar, Rama mulai menemukan tambatan hatinya. Kini Rama telah berada di dalam rumah Airin. Sementara Airin masih saja bergelanyut manja di lengan kakaknya itu. "Tadi kamu bilang kamu lagi kesasar. Memangnya kamu mencari alamat siapa? Siapa tau Kakak kenal." ujar Kak Rangga. "Oh, iya tadi beneran kesasar kok. Nggak nyangka malah bisa bertemu Airin. It.. itu, rumah teman sekolahku tapi ternyata salah alamat, harusnya di komplek seberang, Kak. Hehe.." dusta Rama. Rama menyeruput teh buatan Airin untuk menghilangkan kegrogiannya. "Kak, Rama ini yang udah mengantarku pulang kemarin." ujar Airin pada sang kakak. "Oh ya? Kalian teman apa? Teman sekolah? Kok Kakak baru tau Rama sekarang kalau kemarin-kemarin kalian memang sudah dekat?" Rangga. Adik kecilnya itu menggeleng. “Baru juga kenal kemarin, Kak. Rama ini kemarin hampir nabrak aku, tapi untungnya belum kena. Terus dia antar Airin pulang deh.” terang Airin. "Trima kasih ya Ram, sudah mengantar Airin pulang les kemarin. Memang aku lagi sibuk sehingga tidak bisa menjemputnya." Rangga. "Iya, Kak. Lagian nggak enak, nyaris saja Airin celaka karena saya." balas Rama. "Oh iya, gimana luka kamu, Rin?" tanya Rama pada Airin. Airin memperbaiki posisi duduknya kemudian menatap Rama. "Sudah baikan kok. Kemarin sudah di obati Kak Rangga." Airin. Ketiganya berbincang cukup lama. Rama pun cepat akrab dengan kedua kakak beradik itu. "Sudah hampir malam. Aku pamit pulang dulu ya?" pamit Rama. "Biar aku antar sampai depan ya?” ujar Airin. Rama tersenyum sembari mengangguk. Sampainya di depan rumah Airin, Rama kembali berpamitan dengan gadis manis itu. Kemudian, ia melangkah menuju mobilnya. Setelah beberapa langkah, Rama berbalik badan. Ia teringat akan sesuatu. "Ada apa?" bingung Airin. Rama kembali menghampiri Airin. "Boleh aku minta nomor kamu?" tanya Rama. Airin tersenyum lalu memberikan nomor handphonenya pada Rama. Akhirnya, Rama mendapatkan juga apa yang ia inginkan sejak awal pertemuannya dengan Airin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD