Dua

2361 Words
Rabu (13.13), 12 Mei 2021 ------------------- Rasa sakit yang serasa membuat kepalanya pecah adalah hal pertama yang menyambut Destia ketika dirinya mulai terjaga. Wanita itu mengerang pelan sambil memijat kepala, sedangkan kelopak matanya mengerjap-ngerjap agar terbuka. Selama beberapa saat Destia hanya diam dengan posisi berbaring telentang. Dia berusaha memfokuskan pandangan di antara rasa sakit yang terus mendera kepalanya. Merasa yang dilakukannya sia-sia, Destia memukul pelan keningnya dengan harapan dapat meredakan rasa sakit itu. Perlahan dia bertumpu pada satu siku lalu bangkit duduk di pinggir ranjang. “Maaa!” panggil Destia. Dia menunggu sahutan dari Mamanya sambil terus memijat kening. “Mamaaaa!” kali ini suara Destia lebih keras. KLEK. Destia tersenyum ketika mendengar pintu kamar terbuka. Tidak peduli bahwa usianya sudah hampir mendekati dua puluh tujuh tahun, Destia tetap manja pada Mamanya. “Bagaimana perasaanmu?” DEG. Destia mengangkat kepalanya secara tiba-tiba. Matanya yang baru saja bisa melihat dengan jelas kembali langsung bertemu pandang dengan mata hitam pekat yang seolah akan menghisapnya. Ini pasti ulah Papa, pikir Destia kesal. “Siapa yang memberimu izin masuk ke kamarku?” bentak Destia sambil melotot. Alan yang kini berdiri menjulang di depan Destia berdecak kesal. “Aku tidak perlu izin untuk masuk ke kamar ini.” Mendadak Destia bangkit dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menantang mata lelaki itu. “Dasar kurang ajar. Keluar dari kamarku sekarang juga sebelum aku menghajarmu!” “Kau yang kurang ajar, gadis kecil. Harusnya kau belajar bagaimana cara berbicara yang benar pada orang yang lebih tua darimu.” Geram Alan sambil mendorong kening Destia dengan ujung jari telunjuknya. Gadis kecil? Destia tertegun. Alisnya bertaut ketika otaknya berputar dengan cepat. Selama ini memang hampir semua orang yang baru ditemuinya pasti menganggap dirinya anak-anak atau remaja. Tapi cara lelaki di depannya ketika menyebut dirinya ‘gadis kecil’ terasa familiar, hingga ingatan dalam alam bawah sadarnya seperti berusaha muncul ke permukaan. “Kenapa? Mulai ingat aksi tidak bertanggung jawabmu semalam di club?” sindir Alan. Seperti bendungan yang jebol, kilasan kejadian semalam membanjiri benak Destia. Mulai dari pertengkaran dengan Papanya hingga aksi nekat Destia melarikan diri dari rumah hanya bermodalkan beberapa lembar uang. Wajah Destia merona malu ketika dia mulai bisa mengingat perbuatannya di club walau hanya berupa potongan-potongan ingatan. Dia menggigit bibir sambil menatap sekelilingnya. Benar saja. Dia tidak sedang berada di kamarnya. Kamar bernuansa abu-abu itu terlihat jelas sangat maskulin. Berbanding terbalik dengan kamarnya sendiri yang sangat feminim dan didimonasi warna biru lembut. Destia menunduk menatap jemarinya yang kini saling bertaut dengan gugup. Dia malu sekali dan sangat ingin kembali ke kasur empuk di belakangnya lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut untuk menghindari tatapan tajam nan menusuk lelaki di depannya. Destia kembali berusaha menggali ingatan tentang semalam di club, terutama tentang lelaki di depannya dan bagaimana dirinya bisa berakhir di sini. Dia ingat ketika dirinya menari seperti orang gila, lalu mencari toilet karena mual. Saat itulah dia bertemu dengan lelaki yang sekarang masih berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. Mereka berdebat—apa sih yang mereka debatkan? Dan ingatan itu terputus sampai di situ. Perlahan Destia mengangkat wajahnya kembali. Dia nyengir kuda untuk menutupi perasaan gugupnya. “Aku tidak ingat namamu. Aku hanya ingat kau pemilik club itu.” Ujar Destia. “Alan. Namaku Alan.” Jawab Alan dingin. Destia menunduk lagi. Tatapan Alan begitu tajam. Andai mata lelaki itu adalah laser, mungkin tubuh Destia sudah terpotong-potong seperti daging cincang. Kalau bukan karena rasa malu dan bersalahnya, Destia pasti tidak akan segugup ini menghadapi si pemilik club di depannya. Setelah satu tarikan nafas panjang, Destia kembali mengangkat wajah. Kali ini sorot matanya penuh tekad. “Baiklah, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku mabuk sampai seperti itu. Tapi kan itu urusanku. Untuk apa aku minta maaf?” “Apa perlu aku menghitung kesalahanmu, gadis kecil?” Alan melotot. “Mabuk-mabukan, keluyuran tengah malam, mengenakan pakaian yang sangat tidak pantas untuk gadis seusiamu. Dan lagi, kau berbicara tidak sopan dan membentak pada orang yang lebih tua darimu.” “Hei, kenapa kau hanya mengurusiku? Pelanggan yang lain bahkan lebih mabuk dariku. Dan bukankah club itu dibuka sampai pagi? Lalu apa lagi? Berpakaian sangat tidak pantas? Yang benar saja. Bahkan semalam aku melihat ada wanita yang nyaris telanjang. Kenapa kau tidak menegurnya?” Destia telah melupakan rasa gugupnya dan balas melotot pada Alan. “Seharusnya kau memasang papan peringatan di depan clubmu. Para pengunjung wajib berpakaian tertutup. Seharusnya seperti itu.” “Biasanya aku juga tidak pernah ikut campur urusan pelangganku. Tapi kau, gadis kecil. Hitung dulu umurmu sebelum berani masuk ke kelab malam. Kalau kau sudah merasa cukup dewasa untuk masuk ke kelab malam, harusnya kau juga sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa anak di bawah umur tidak boleh bermain-main di club.”   Destia ternganga namun tidak ada sepatah katapun yang keluar. Harusnya Destia sudah menduga bahwa lelaki di depannya mengira dirinya masih anak kecil. “Hei, Tuan Alan. Dengarkan baik-baik. Aku sudah dua puluh enam tahun. Aku sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri tanpa perlu diatur-atur orang lain.” “Sampai kapan kau mau terus berbohong?” “Aku tidak bohong!” nada suara Destia meninggi. “Tunjukkan KTP-mu!” “Aku pergi dari rumah tanpa membawa apapun!” “Dan kau berani bilang bahwa dirimu sudah dewasa padahal kelakuanmu masih seperti anak kecil?” tandas Alan. Destia kehilangan kata-kata. Kalau dipikir lagi kelakuannya memang seperti anak kecil. Kabur begitu saja tanpa memikirkan akibatnya. Dan sekarang dia malah berakhir dengan lelaki asing yang bisa saja memanfaatkan dirinya. “Baiklah, aku mengaku salah. Kelakuanku masih seperti anak kecil.” “Berapa usiamu?” tanya Alan masih dengan sikap tenangnya. “Sudah aku bilang dua puluh enam tahun!” rasanya Destia ingin menjerit. “Aku akan terus bertanya sampai kau mengaku.” “Kau mau aku berbohong?” “Jawab dengan jujur!” “Dua puluh enam tahun! Apa kau tuli?” Sorot mata Alan menggelap. “Jaga bicaramu.” Desisnya. “Kalau begitu jangan desak aku untuk berbohong!” “Berapa usiamu?” Rasanya Destia ingin menjambak rambut tebal lelaki itu. “Bahkan sampai manusia bertetangga dengan alien aku akan tetap mengatakan dua puluh enam tahun.” “Jadi sekarang kau mengaku kalau sudah berbohong?” “Apa maksudmu?” “Kau bilang sampai manusia bertetangga dengan alien? Bukankah harusnya usiamu bertambah? Dengan kata lain, kau akan terus mengatakan dua puluh enam tidak peduli sekarang ataupun tahun-tahun mendatang.” “Astaga.” Destia menepuk keningnya sendiri. Begitu dia menatap Alan kembali, senyum manis menghiasi bibirnya. “Aku tidak menyangka orang sepertimu percaya bahwa suatu hari manusia akan bertetangga dengan alien.” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” “Tidak. Menurutmu apa alien ada yang tampan sepertimu?” Destia mengedip-ngedipkan mata pada Alan. “Berapa usiamu?” Wajah Destia kembali masam. “Baiklah, tiga belas.” “Akhirnya kau mengaku. Sekarang cepat mandi. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu.” Alan menampilkan senyumnya sebelum berbalik hendak meninggalkan Destia. “Hah? Kau percaya ketika aku berkata bahwa usiaku tiga belas tahun?” “Tentu saja. Cepatlah mandi! Berdebat denganmu sangat melelahkan.” BRAK. Destia menatap pintu yang baru saja tertutup dengan kekesalan yang sudah mencapai puncak. Sakit kepalanya yang beberapa saat lalu sudah reda kini kembali berdenyut. “Arrgghh!!” teriak Destia kesal sambil melempar bantal ke pintu. *** Destia makan dengan lahap tanpa mempedulikan tatapan Alan di seberang meja makan. “Makan pelan-pelan. Bisa-bisa kau tersedak kalau cara makanmu seperti itu.” Alan menasihati sambil menyodorkan segelas air putih. “Nasi gorengnya enak sekali.” Puji Destia setelah menelan lalu meminum air putih yang disodorkan Alan. “Apa kau yang membuatnya?” “Aku sangat tidak suka mendengarmu menggunakan kata ‘kau’ padaku. Apa orang tuamu tidak pernah mengajarkan untuk menggunakan panggilan kepada orang yang lebih tua?” Destia merengut. “Katakan dulu berapa usiamu!” “Tiga puluh tujuh tahun.” Lumayan jauh juga. Sebelas tahun, pikir Destia. “Bagaimana kalau aku memanggilmu ‘Paman’?” “Silahkan saja.” Destia menahan tawanya. Dia hanya bercanda tapi Alan menanggapinya dengan serius. Terserahlah. Toh dirinya tidak rugi apapun. “Apa Paman tidak keberatan aku menggunakan pakaian Paman?” “Sama sekali tidak.” sudut bibir Alan terangkat membentuk senyuman. “Kau terlihat tenggelam dalam kemeja itu.” “Mau bagaimana lagi? Paman sebesar gorilla sedangkan aku seimut peri. Tidak ada pakaian Paman yang cukup kecil untukku.” Sahut Destia sambil menandaskan nasi di piringnya. Alan terkekeh namun memilih tidak menanggapi. “Paman tinggal sendiri?” “Iya, kenapa?” Alan mengangkat salah satu alis. “Padahal kau sudah cukup tua untuk menikah.” “Kau?” “Ups,” Destia kelepasan berkata ‘kau’ lagi. “Aku belum terbiasa.” Setelah selesai makan dengan cekatan Alan membereskan piring lalu membawanya ke dapur yang hanya dipisah selapis dinding dari ruang makan. Dengan nyaman Destia sama sekali tidak menawarkan bantuan untuk mencuci piring tapi dia membuntuti Alan ke dapur. Salah Alan sendiri memaksakan pendapatnya bahwa Destia masih anak kecil. Sementara Alan masih sibuk, Destia memilih mengamati dapur itu. Tanpa sungkan dia membuka kulkas lalu mengamati isinya. “Paman, boleh aku minta apel?” tanya Destia sambil menunjukkan buah apel merah segar di tangannya. “Ambil saja yang kau mau.” Jawab Alan tanpa mengalihkan pandangan. “Dan kau belum memberitahu dimana alamat rumahmu?” Diingatkan tentang rumah membuat Destia teringat pada Papanya dan pertengkaran mereka. Dia jadi tidak ingin pulang. “Paman, boleh aku tinggal di sini untuk sementara waktu? Aku bisa membantu membereskan rumah.” Alan mengeringkan tangannya dengan serbet lalu berbalik menatap Destia. Sorot matanya yang semula hangat berubah menjadi dingin kembali. “Bukankah aku sudah bilang bahwa tingkahmu ini kekanak-kanakan?” “Terserah Paman mau berkata apa. Yang jelas aku tidak mau pulang.” “Lalu bagaimana dengan sekolahmu?” “Aku sudah tidak sekolah.” “Kenapa?” ada nada tidak suka dalam suara Alan. Karena aku sudah lulus, dasar Paman bodoh! Destia sangat ingin melontarkan kalimat itu. Tapi dia menahan diri. “Paman tahu mengapa aku kabur dari rumah?” “Mana mungkin aku bisa tahu.” Destia merengut mendengar jawaban Alan. “Kau mau tahu atau tidak?” bentak Destia. Alan menyadari kalimatnya yang terdengar sangat tidak peduli. Jadi kali ini dia mengalah dan tidak mempermasalahkan sikap tidak sopan Destia. “Baiklah, aku ingin tahu.” “Papaku berniat menjodohkanku.” “Hah?” Alan ternganga. Dia sungguh tidak menyangka ada seorang Ayah yang tega menjodohkan putrinya yang masih kecil. Tapi kemudian Alan teringat pada Maya dan aksi bejatnya yang menjual putri kecilnya kepada p****************g. Mungkin usia Ratna saat itu sama seperti usia Destia sekarang. “Lelaki yang dipilih Papa adalah pemilik perusahaan yang berencana akan menjadi investor di perusahaan Papa. Aku jadi merasa seperti di jual demi kelancaran kerja sama kedua perusahaan itu.” Jelas Destia dengan sedih. Yang dia ceritakan pada Alan adalah kebenaran. Dia sungguh merasa seperti barang yang diperjual-belikan oleh Papanya. Destia tahu dari dulu Papanya tidak pernah menyayangi dirinya maupun Mamanya. Selama ini Destia tumbuh hanya dengan bergelimang kasih dari Mamanya. Ketika Destia mengeluh tentang sikap sang Papa, Mamanya pasti akan menghibur dengan mengatakan bahwa Papanya terlalu sibuk bekerja untuk mereka. “Apa Papamu yang membuatmu berhenti sekolah?” Alan bertanya dengan lembut. Destia menundukkan wajah dan memilih tidak menjawab. Alan mendesah. Dia menduga sikap diam Destia adalah jawaban iya. “Bagaimana kalau keluargamu melapor ke polisi? Kau akan membuat heboh dan tentu saja merepotkanku.” “Aku akan menghubungi Mama kalau Paman mengizinkanku meminjam telepon. Mama pasti mengerti dengan keputusanku.” Alan diam sambil berpikir. Dia sedang tidak ingin menjadi pengasuh anak kecil. Tapi saat ini Destia membutuhkan bantuannya. “Kalau perlu aku akan bekerja di club.” Sambung Destia karena Alan tidak kunjung bersuara. “Bukankah itu ide bagus? Paman bisa membayarku layaknya para pekerja Paman. Dan aku akan membayar untuk uang sewa tinggal di sini.” “Rumahku bukan tempat kost. Dan aku tidak akan membiarkan kau kembali ke club.” Destia menggerutu dalam hati. Kalau saja Papanya tidak terlalu kolot dengan menganggap bahwa wanita seharusnya hanya tinggal di rumah, pasti saat ini Destia tidak perlu kebingungan mencari kerja. Apa lagi dia sama sekali tidak memiliki keahlian apapun. Dia teringat kembali impiannya ketika masih sekolah dulu. Destia sangat ingin menjadi guru. Karena itu dia memilih jurusan pendidikan di perguruan tinggi. Tapi semua percuma ketika Papanya dengan sikap keras kepalanya melarang Destia bekerja. Kini ijazahnya teronggok mengenaskan di lemari. “Aku janji tidak akan minum lagi. Aku akan bekerja keras. Sungguh!” Destia mengatupkan kedua tangan di depan d**a dan menatap Alan dengan sorot mata memohon. Lagi-lagi Alan mendesah. Puppy eyes Destia mengingatkan Alan pada Rafka. Dia menggosok matanya dengan lelah sebelum mengangguk. “Baiklah. Mulai besok kau bisa bekerja di clubku. Dan kau bisa tinggal dengan gratis di sini asal turut menjaga kerapian dan kebersihan rumah ini.” “Yeeee,” pekik Destia. Tanpa diduga wanita itu melompat ke dalam pelukan Alan. “Terima kasih, Paman. Paman sangat baik.” Ucap Destia sambil menanamkan kecupan di pipi Alan. “Jadi, kamar yang tadi akan menjadi kamarku?” “Eh, itu, ehm,” pikiran Alan seperti kehilangan fokus sejak tubuh mungil Destia masuk ke pelukannya. Posturnya memang kecil. Tapi lekuk tubuhnya begitu terasa terutama ketika d**a Destia menempel di d**a Alan. “Bagaimana, Paman?” desak Destia tidak sabar. Lengannya masih melingkar di bawah lengan Alan dengan wajah mendongak ke arah lelaki itu. Butuh waktu beberapa saat untuk Alan memulihkan diri sebelum berhasil berkata, “Yah, tentu saja. Kau bisa tidur di kamar itu.” Destia kembali mengecup pipi Alan sebelum melepaskan pelukan. Setelahnya dia langsung berbalik kembali ke lantai dua meninggalkan Alan yang tertegun di tempat dengan jantung bekerja ekstra cepat. “Sadarlah Alan!” tegur Alan pada dirinya sendiri. “Mana mungkin kau bernafsu pada gadis kecil seperti itu?” Sementara itu di kamar tempat Destia tidur semalam, wanita itu menenggelamkan wajah di balik selimut untuk meredam tawanya. Dia sangat tahu apa akibat perbuatannya tadi pada Alan. Dan memang Destia sengaja melakukannya. Anggap saja itu balas dendam karena Alan sudah menganggap Destia anak kecil dan tidak mempercayai penjelasannya. ------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD