"Bu."
Arisha menuruni anak tangga dengan cepat. Sambil mengambil sepatu, dia minta izin pada Lastri yang tengah melamun di kursi. Di depannya memang ada laptop, tetapi fokus ibunya tetap tak mengarah ke sana. Setelah memakai sneakers-nya dengan benar, dia memeluk Lastri dari belakang.
"Aku pamit dulu, ya. Ada kumpulan pengurus di rumah pembina."
Lastri terkesiap. Sudah beberapa bulan ini, semenjak Arshi pergi, dia sampai melupakan bahwa Arisha telah tinggal bersamanya. Dia mengusap lengan sang putri, mengangguk.
"Hati-hati."
Arisha menarik napas panjang lebih dulu, kemudian membisikan sesuatu pada ibunya.
"Ibu nggak sendiri. Masih ada Arisha di sini. Kita lewati semuanya sama-sama, oke?"
Arisha tersenyum, semakin memeluk Lastri cukup erat. Lastri ikut tersenyum tipis.
"Iya. Udah sana jalan, nanti telat," kata Lastri setelah beberapa detik mereka terdiam.
"Jalan, ya, Bu. Assalamualaikum."
Sebelum berlari keluar rumah, gadis dengan cardigan hijau tua itu mencium pipi Lastri sekilas. Ibu tiga anak tersebut sampai menggelengkan kepalanya pelan. Kelakuan Arshi dan Arisha sungguh sangat berbanding terkandung terbalik.
Di depan rumah, Arisha menaiki motornya. Disusul oleh Babang yang berhenti di depan pagar.
"Bareng nggak?" teriak Babang merasa kasihan. Kali saja Arisha tidak tahu arah—menimbang bahwa gadis ini baru pulang kembali setelah sekian lama.
Sebenarnya, Khansa—anak pembina mereka—telah share location di grup pengurus pengukuhan. Ya, tapi bisa saja kalau Arisha tidak bisa baca google maps dan berakhir nyasar ke sawah.
"Bareng! Dua motor!" Arisha memajukan motor sampai di depan Babang.
"Kenapa nggak satu aja, sih? Ribet amat."
Babang melontarkan protes. Lagipula, dia sangat tidak keberatan kalau Arisha mau mengisi jok belakangnya. Tentu, pikiran dia dan Babang berbeda.
"Lebih ribet lagi kalau gue boncengan sama lo, Bambang. Nanti kulit putih gue yang suci dan putih ini bisa kotor kalau sampai bersentuhan sama lo!" jawabnya agak nyelekit.
Dia tidak boleh satu motor dengan laki-laki, kecuali memang sangat mendesak. Ingat, sangat mendesak. Itu pesan dari Fatur maupun papanya.
"Dih, gue juga nggak mau modus sama lo. Dih, pede, wooo."
Babang bersorak meledek.
Capek dengar keributan, Arisha menyuruh Babang untuk lekas berangkat. Dia tidak mau telat dan diledek oleh Hadwan hanya gara-gara ribut dengan Babang di depan rumah.
Sampai rumah Bu Dinda—pembina English Club—Arisha dan Babang silih menatap bergantian. Dia dan Babang sudah masuk ke waktu yang telat, tetapi panitia yang lain malah semakin telat. Hanya ada Khansa yang tengah main si kucing di ruang tamu. Di depannya sudah ada beberapa makanan untuk mereka.
"Yang lain mana?" tanya Arisha. Kali saja kalau mereka lagi kompak di warung karena lapar. Mengingat kalau jam kumpulan masih pagi, jam tujuh.
Khansa mendongak. "Belum dateng. Biasalah. Hobi anak EC emang suka ngaret, sih."
Arisha hanya bergumam, kemudian duduk lesehan di lantai dan memainkan ponsel. Dia mencari nama Fatur, mengirim sebuah pesan mengenai keadaannya di sini.
Sayangnya, Fatur masih belum aktif dari tadi malam.
Beberapa jam kemudian, anak yang lain berhamburan datang. Intan langsung duduk di sebelahnya. Dia mulai cerita perjuangan dari rumah sampai akhirnya bisa sampai di sini.
"Eh, sumpah atuh da. Nyebelin banget adek gue. Motornya dibawa sama dia, padahal gue udah izin dari kemarin-kemarin. Akhirnya, ya gue cari angkot aja kan. Eh, si angkotnya lama bener ngetem di alun-alun. Gue turun aja, karena lama. Pas naik angkot yang di depannya, angkot yang gue tumpangi langsung jalan. Makin lama deui atuh euy, jadinya teh," kata Intan menggebu. Wajahnya sampai memerah.
Siapapun yang pernah bilang, kalau punya adik itu enak, sini lawan Intan. Buka mata lebar-lebar.
"Salah lo sendiri. Sabar dikit aja, kek. Kasihan tukang angkotnya," timpal Arisha berbisik di akhir kalimat. Intan sampai menoyor kepala gadis itu semakin emosi. "Duh, udah ditumpengan ini kepala."
"Sha, chat si Hadwan, gih. Ini udah jam sepuluh, lho."
Dia mendongak, menoleh pada Ikhwan yang menyuruhnya. Apa dia tidak salah dengar?
"Gue nggak punya nomor dia, Ikhwan. Lo aja."
"Ada, di grup. Kuota gue abis," jawab Ikhwan meringis.
Dia kesal. Kalau dia chat Hadwan, nanti Hadwan mikir apaan, ya? Gengsi aja gitu kalau Hadwan sampai tahu nomornya.
"Yang lain, mungkin. Gue nggak mau, ah, males."
Bukan tanpa alasan, Arisha menolak permintaan Ikhwan. Terbilang sepele sebenarnya. Hanya mengirim pesan saja, agar Hadwan cepat datang. Namun, pikiran Arisha yang terlalu melanglang buana.
"Kuota gue pun abis!" Semuanya kompak menjawab bersama. Bau-bau tidak sedap, hm.
"Ya udah, gue tethering deh. Nggak papa, sepuasnya kalian aja." Arisha tetap berdalih. Mencari cara agar nomornya tidak diketahui oleh lelaki itu.
"Ribet, Sha. Lo aja, buruan. Udah mau ngerjain tugas nih, gue."
Mendengar Khansa yang berargumen, Arisha mendengus. Dia jadi ingat tugasnya di rumah yang masih banyak. Tiga pelajaran sebenarnya. Hanya, dia tipikal orang yang tidak tenang kalau hari libur seperti ini, tugas belum selesai semuanya.
Orang Baik: Hadwan, buruan datang. Ini udah jam sepuluh lebih sepuluh menit. Kita janjian jam tujuh pagi. Namanya bukan ngaret lagi, lho, ini.
Hadwan aktif, ceklis dua. Namun, lelaki itu tetap tak kunjung datang ataupun membalas pesannya lebih dulu. Setidaknya, mereka tidak digantung seperti ini.
"Lama banget. Anggotanya tukang ngaret, ketuanya makin ngaret. Padahal, gue cuma butuh persetujuan dia doang. Udah gitu mah, gue mau balik, asli," kata Intan kesal. Bukan satu atau dua kali, Hadwan sering seperti ini.
Namun, mereka tidak ada yang berani bicara langsung pada Hadwan. Takut langsung dikasih tugas banyak.
Arisha kembali melihat ponsel. Mengetik sesuatu di sana.
Orang Baik: KETUA KOK CONTOHIN YANG NGGAK BENER. Buruan dateng atau kami semua mau balik. Bodo amat sama pengukuhan nanti. Lo aja yang urus sendirian. Kami udah cape bagi waktu, rela ini itu, tapi lo lama banget datangnya.
Arisha sampai menyalin pesan yang sudah dia kirim. Dia kembali menempelnya di papan pesan, mengirimnya puluhan kali pada Hadwan.
Mengigit risoles ganas yang tak bersalah, Arisha mendumel dalam hati. Kakinya sudah kesemutan, tolong. Tugasnya untuk membuat surat undangan pun selesai. Hanya saja, dia masih harus menunggu Hadwan untuk mencetaknya.
Takut kalau ada kata-kata dia yang salah, makanya dia nunggu Hadwan lebih dulu.
"Sorry, telat."
Hadwan membuka sepatu. Saat dia masuk rumah, Hadwan langsung mendapatkan tatapan tajam dari gadis yang duduk di tengah antara Intan dan Khansa.
"BUKAN TELAT, TELAT BANGET. Jadi ketua, bisa tanggung jawab perihal waktu sedikiiiiit aja nggak, sih? Kami nunggu beberapa jam di sini. Kaki gue sampe kayak mau copot," kata Arisha melotot.
Hadwan lekas duduk di sebelah Babang, tepat di depan Arisha langsung.
"Gue cowok, semalam ada bola. Gue telat bangun jadinya." Hadwan mengeluarkan laptop.
Arisha mendengus kembali. Dikira dia b**o, kalau tidak tahu bahwa bulan sekarang bukan musimnya main bola.
"Babang juga cowok, nggak ngaret."
Intan ikutan angkat suara. Melihat Arisha yang berani, dia ikutan berani. Ya setidaknya, sih, kalau dia kena tugas banyak, Arisha pun kena. Jadi, dia ada temannya.
"Semalaman, gue main PS sama Ikhwan di Warkop. Tapi, gue kan kuat, sehat, gesit, nggak kayak si Hadwan."
Tatapan Hadwan langsung berubah, menatap datar Babang yang bicara tanpa merasa bersalah. Hingga akhirnya, Hadwan lebih memilih mendengarkan laporan sie. Lapangan, yaitu Khansa.
"Di pos pertama, letaknya deket sungai. Yang di saung kayu itu, lho."
Hadwan mengangguk tahu saat Khansa membicarakan tempatnya. Sedangkan Arisha planga-plongo. Dia mana tahu, huh.
"Di pos itu, dikasih soal listening. Nanti mereka jawab sepuluh soal yang harus sesuai sama teks yang mereka denger," jelas Khansa kembali.
"Gimana kalau lima aja?" Hadwan memberikan usulan.
"Iya, mending lima deh, kayaknya. Sepuluh soal kebanyakan. Takut mereka tertekan. Kasihan. Mana tugas sekolah udah banyak banget."
Berikan tepuk tangan untuk Arisha. Dia sangat pengertian sekali pada adik kelasnya.
"Ngikut aja lo, Arisan."
Hadwan melotot setelah mendengar Arisha ikut berpendapat. Dih, dia bukan ikut-ikutan, karena dia sendiri pun merasa kasihan. Apalagi—entah di pos berapa—mereka harus dites vocab sebanyak 100 buah.
"Apa, sih, Wawan? Jangan ngajak ribut mulu," balasnya sengit.
Hadwan hanya membuang muka. Kemudian, menyuruh Khansa untuk melanjutkannya lagi setelah mengubah soal di catatan.
"Di pos dua, ada reading. Mereka baca cerita, terus jawab soal. Soalnya ada tiga puluh."
"Dua puluh aja!"
"Dua puluh!"
Arisha dan Hadwan kompak menyela. Kedua insan itu langsung saling menatap tajam.
"Kalau udah sehati mah beda," komentar Intan pelan. Hingga dia mendapat sikutan dari Arisha langsung.
Sehati apaan. Yang ada, dia dan Hadwan tidak bisa akur.
"Oke, dua puluh," putus Khansa.
Khansa mengubah kembali soal.
"Di pos ketiga, ada tes writing. Mereka disuruh menjabarkan gambar yang mereka lihat."
Kali ini, Hadwan setuju.
"Di pos empat, ada writing lagi. Mereka disuruh buat menulis tentang cita-cita pakai bahasa Inggris. Dan di pos lima—pos terakhir—mereka dites vocab sama sie. Humas, Sie. Lapangan, dan pembina. Udah, gitu doang, sih, dari gue."
Khansa mengakhiri laporannya. Hadwan mengangguk beberapa kali.
"Oke, bagus. Gue setuju penempatan tesnya, cuma di pos satu sama dua kurangin soalnya. Takut nanti kita kesorean."
"Tapi nanti, waktunya ditentukan," sela Khansa lagi.
"Berapa lama?"
"Pos satu, lima belas menit. Pos dua, setengah jam."
"Waktunya tetap pakai yang itu, cuma soalnya beneran kurangin aja."
"Oke."
Khansa akhirnya setuju juga. Hadwan beralih pada Arisha. Gadis itu langsung menaikan alis, bertanya kenapa Hadwan masih memperhatikannya dengan seintens itu.
"Surat izin orang tua sama undangan pemateri mana?"
Oh, itu. Dia kira Hadwan kenapa.
Arisha mengambil laptop, menyimpannya di atas meja.
"Lama banget. Bisa bagi waktu dikiiiiit aja nggak, sih?" kata Hadwan semakin gencar meledek.
Arisha langsung menatap jijik lelaki itu. Demi apapun, dia baru pertama kali menemukan orang seperti Hadwan. Sangat menyebalkan. Ketua ekskul di sekolah dia dulu, sangat cool, pengertian, mengayomi. Lah, Hadwan?
Cuma remahan rengginang.
"Sabar dong, Wawan. Tangan gue cuma ada dua."
Arisha kembai mendelik, kemudian memutar laptop pada Hadwan saat word di depannya telah dibuka.
Hadwan mulai serius membaca setiap kata yang tertuang di sana. Lumayan bagus sebenarnya, tetapi dia ingin Arisha berusaha lebih keras supaya tidak jadi pemalas yang unggul.
"Balikan lagi. Perhatikan tanda baca. Semuanya salah."
"Wawaaaan."