1 - RICHARD

1247 Words
“Rick, lo harus lihat ini.” Reaksi yang diberikan Richard hanyalah menaikkan alis sembari memandang Ruri, asisten yang sudah bersama dirinya sejak memulai karir hampir tujuh tahun lalu. Perempuan yang umurnya hanya terpaut dua tahun darinya tersebut adalah satu-satunya manusia yang Richard percaya di dunia hiburan. Juga satu dari segelintir orang yang memanggilnya Rick, panggilan yang hanya bisa ditoleransi Richard jika datang dari orang-orang terdekat. “Lo kalau ngasih naskah, jangan yang sampah kenapa?” Sebelum menyerahkannya, Ruri menggunakan script di tangannya untuk menoyor kepala pria itu dengan kuat. “Bakar aja duit hasil main film lo kalau menurut lo naskahnya sampah. Orang kok nggak tahu bersyukur sama sekali.” Richard menanggapinya dengan sebuah cengiran. “Gue kan ngomong fakta.” “Fakta di otak m***m lo nggak berlaku!” ucap Ruri yang kembali menoyor Richard, kali ini pelipis pria itu yang jadi sasaran. “Lo jangan marah dong ke gue. Ngeri banget lo kalau marah.” “Siapa suruh lo punya hobi bikin orang emosi?” Richard menjulurkan lidah seraya menerima script yang diulurkan Ruri. Sejujurnya dia sedang tidak ingin main film karena setelah syuting dua film berturut-turut—dan keduanya adalah film aksi—dia sangat ingin istirahat. Tubuhnya sangat lelah dengan jadwal film yang merusak jam biologisnya. Dia kangen dengan masa-masa ketika dia masih menjadi model. Big money, quick job. Melihat judulnya, Revulsion, Richard mengerang pelan, terlebih setelah melihat penulis naskah film tersebut. Tanpa mengintip isinya, Richard mengulurkan script itu kepada Ruri. “Lo tahu gue nggak mau lagi main film romantis.” “Lo sejak kapan jadi cenayang? Belum lo baca udah bilang gitu.” Richard berdecak. “Gue nggak perlu baca buat tahu. Liat siapa yang nulis aja gue udah tahu ini film kayak gimana.” “Rick, andaikan gue baru kenal lo kemaren, pasti gue biarin lo ngelewatin kesempatan ini. Tapi karena gue baik hati dan peduli sama lo, gue minta lo baca naskahnya baik-baik, baru kasih komentar.” “Apa yang beda, sih?” tanya Richard dengan kesal. Dia lantas melempar naskah itu ke sofa yang ada di seberang tempatnya duduk. “Dia ini spesialis penulis rom-com. Siapa pun tahu, film kayak gitu pasti happy ending dan klise. Gue abis syuting dua film aksi, dan harus main film romantis?” Tawa Richard terdengar seperti ejekan. “Gue tahu lo peduli sama gue, tapi gue udah nggak mau lagi main film romantis, apalagi kalau lawan main gue nggak cocok.” Mereka saling pandang sebelum Ruri memajukan tubuhnya dan menatap lekat pria yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri itu. “Rick, in case lo lupa, nama lo masih terikat sama Mina, seenggaknya sampai dia lahiran. Beruntung dia nggak laporin lo atas pasal p*******n. Gue nggak—” “Perlu berapa kali gue bilang itu bukan anak gue? Gue aja nggak inget pernah ketemu cewek itu!” “Rick—” “Lo nggak percaya sama gue?” potong Richard lagi. “Gue kira lo bakal lebih percaya gue daripada orang lain.” “Eh, monyet! Kalau lo orang yang nggak bisa dipercaya, gue nggak bakalan sama lo bertahun-tahun. Masalahnya, banyak orang masih nggak percaya sama alasan lo, jadi nggak penting apakah gue percaya sama lo atau nggak, karena yang perlu diyakinin bukan gue.” Richard mengembuskan napas lelah. “Gue pengen semua ini berakhir dan nama gue balik lagi, Ru.” “Dan nggak ada yang lebih nendang dibanding lo main film romantis sebagai comeback setelah nanti hasil tes DNA keluar dan terbukti lo bukan ayah anaknya Mina. Film itu bakal bikin orang simpati dan jatuh cinta lagi sama lo. Karir lo bakal naik. Lo tahu gue nggak akan sugarcoat apa pun supaya lo setuju ngelakuin sesuatu. Percaya gue soal film ini.” Mengingat kehidupannya yang berubah drastis tujuh bulan terakhir, tidak ada yang diinginkan Richard selain lepas dari tuduhan tanpa dasar yang dialamatkan kepadanya. Belum lagi rasa malu yang harus Richard tanggung akibat perempuan yang namanya ingin dia hapus dari ingatan. Kenangan saat pipinya ditampar—bukan hanya sekali, tapi dua kali!—masih sering menghantuinya. Setiap kali mengingatnya, rasa geramnya menjadi berlipat ganda. Kebenciannya kepada Jazmine Anjani dengan resmi berlayar malam itu. “Belum tentu mereka mau pake gue buat film itu, Ru. Status gue sekarang masih tertuduh ngehamilin anak orang.” Kali ini gantian Ruri yang berdecak. “Eh, kalau gue tahu lo nggak bakal jadi kandidat, nggak akan gue susah payah ngelobi sana-sini buat dapetin script itu. Lo harus nunjukkin kualitas lo pas audisi nanti.” Mendengar kata itu, Richard menjengit. “Apa lo bilang? Gue harus audisi?” Ruri mengangguk mantap. “Karena produsernya bukan orang Indonesia.” Kalimat Ruri itu berhasil menarik perhatian Richard. “Terus dari mana?” “Produsernya orang Amerika, dan film ini bakal tayang di salah satu streaming service yang akan diedarkan di seluruh dunia. Produksi pertama mereka untuk bahasa Indonesia. Gue nggak mau pamali dengan bilang filmnya bakal sukses besar, tapi gue bisa bilang, begitu film ini keluar, semua perhatian orang dan media pasti akan ke sini. Eksposurnya bakal gede, dan kalau lo berhasil dapet peran ini, nama lo bakal kebawa.” “Kenapa lo nggak bilang itu lebih dulu?” “Karena kalau gue bilang ini bukan buat rilisan bioskop, lo pasti nggak mau.” Richard terdiam. Ruri benar. Dalam pikirannya, terbayang betapa besarnya dampak yang akan diberikan film ini, jika dia berhasil mendapatkan peran utama. Dia juga yakin, film ini akan dirilis tahun depan, dan waktunya pas untuk dia kembali menjadi pria yang menjadi korban salah tuduh. Pandangan Richard berganti dari Ruri ke naskah yang tadi dilemparnya. Tidak ada yang lebih dia inginkan selain melebarkan karirnya di dunia perfilman internasional. Richard sangat percaya, kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. “Lo tahu siapa yang ngejar peran ini?” Ruri memutar bola matanya. “Gue jelas nggak punya daftarnya, tapi Randy Satrio dan Primo Alebaran pasti nggak mau ketinggalan.” “s**t!” Nyali Richard menciut. Bukan karena dia tidak percaya diri, tapi jika sudah bersaing dengan dua aktor tersebut, dia pasti akan kalah. Masalah tampang, Richard yakin dia unggul dibanding Randy dan Primo—karena keduanya pria tulen Indonesia sementara dia punya darah Belanda dan Amerika dari Papanya—tetapi jika menyangkut image, detik ini dia kalah telak, terlepas dari kemampuan akting mereka yang setara. Ketiganya tidak bisa dibilang senior, tapi juga bukan pendatang baru. Ketiganya pernah disebut sebagai Trifecta of Promising Young Actors karena karir mereka di dunia film tanah air dimulai di waktu yang hampir bersamaan, belum lagi ketiganya berangkat dari modeling. Namun dua tahun terakhir, ketiganya mulai mengambil proyek yang berbeda hingga menipiskan persamaan yang pernah disematkan kepada mereka. Randy lebih fokus ke film-film bergenre historical dan romance, sementara Primo jauh lebih suka bermain di webseries, dan Richard lebih menikmati peran di film aksi yang menantang. Fakta bahwa Randy dan Primo mengejar peran di Revulsion, membuat Richard sedikit ragu. “Awas aja kalau lo mulai mikir mereka jauh lebih hebat daripada lo.” “Well, they are, Ru.” “Nanti gue kabarin kapan audisinya, dan lebih baik lo baca itu naskah baik-baik. Gue nggak mau tahu, besok pas gue ke sini, lo udah harus selesaiin baca naskahnya.” Ruri bangkit dari duduknya dan mengambil script yang tadi dilempar Richard. Dia menyodorkannya kembali ke pria yang sekarang tampak lesu. “Ini saatnya lo ngebuktiin bahwa lo nggak cuma modal tampang. Buktiin mereka salah.” Richard menerima naskah itu dan mengangguk. “We’ll see,” jawabnya singkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD