2. Hancur

1077 Words
"Tomy mana, Ma?" tanya Aruna dengan mata menelisik wajah sang Mama. Sejak ia siuman kemarin, tak nampak wajah Tomy, kekasihnya berada di rumah sakit ini. Pikiran buruk begitu saja terlintas di benak Aruna. Mengetahui kondisinya yang separah ini, tak ayal Aruna jadi berpikir jika Tomy pun pastilah mengalami hal yang lebih buruk lagi. Kemarin, begitu Aruna tersadar setelah dua hari lamanya pingsan, mendapati kakinya yang terasa sakit dan kebas karena balutan perban, membuat Aruna tahu jika salah satu anggota tubuhnya itu memang sedang bermasalah. Benar saja, menurut informasi dari dokter yang merawatnya, Aruna mengalami patah pada salah satu kakinya yang lumayan parah. Dan secepatnya Aruna akan menjalani operasi pada kakinya. Aruna berharap semoga kakinya baik-baik saja. Berusaha menyiapkan mental demi kesembuhannya. Mama masih menatap Aruna dengan pandangan mata iba. Putri yang selama ini ia banggakan harus mengalami kejadian naas yang sedemikian parah. "Ma! Kenapa Mama tidak menjawab pertanyaanku? Tomy baik-baik saja kan, Ma?" Aruna semakin cemas karena mamanya tak kunjung menjawab yang ia tanyakan. "Runa ... sebaiknya kamu fokus saja pada kesembuhanmu. Tidak perlu memikirkan orang lain dulu," jawab Mama dengan wajah sendu. Bagaimana mungkin Aruna masih bisa menanyakan keberadaan Tomy. Jika Tomy sendiri seolah tak seberapa peduli dengan kondisi Aruna. Tomy, kondisinya sangat jauh berbeda dengan Aruna. Lelaki itu hanya mengalami luka ringan dan beberapa robekan di kulit tangan dan kakinya. Akan tetapi, saat di rumah sakit dan mendapati Aruna dengan kondisi yang mengenaskan, seharusnya Tomy mendampingi Aruna. Bukan justru tidak peduli seperti ini. "Ma ... aku khawatir pada Tomy?" "Tomy baik-baik saja, Runa. Kau jangan mengkhawatirkannya." "Benarkah yang Mama katakan? Tomy baik-baik saja?" seolah tak percaya, Aruna mencari kejujuran di mata mamanya. Mama Aruna menggenggam tangan putrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Aruna, Mama mohon jangan banyak berpikir yang bukan-bukan. Kau harus memikirkan dirimu sendiri saat ini, karena beberapa hari lagi dokter akan melakukan operasi pada kakimu." Aruna menghela napas tak mau lagi mendebat mamanya. Benar apa yang Mama katakan, jika memikirkan kondisinya sendiri adalah yang terpenting untuk saat ini. Tak dipungkiri, jika Aruna ingin kembali sehat seperti sedia kala. Dan Aruna juga mencoba untuk berpikir positif bahwa Tomy memang dalam kondisi yang baik-baik saja. *** Tiga hari kemudian, Aruna menjalani operasi. Kondisi salah satu kakinya lumayan parah dan jika tidak segera dioperasi dikhawatirkan akan terjadi pembusukan. Mama dan Ayah Aruna sejak awal putri mereka masuk ke dalam ruang operasi, tak hentinya berdoa demi kesembuhan Aruna. Berharap operasi berjalan lancar dan Aruna bisa kembali berjalan seperti sebelumnya. Sementara itu Tomy, sama sekali tak pernah menampakkan diri lagi sejak hari pertama mereka mengalami kecelakaan. Bahkan beberapa kali Aruna sempat meminta pada Mama dan Ayahnya untuk menghubungi Tomy. Aruna hanya ingin mendengar suara Tomy dan memastikan jika kondisi kekasihnya itu dalam keadaan baik-baik saja. Tapi siapa sangka jika baru tadi malam Tomy mau mengangkat panggilan telepon Aruna. Dan karena suara Tomy yang memang terdengar biasa saja, menunjukkan jika lelaki itu tak ada masalah apapun juga, barulah Runa percaya. Meminta pada kekasihnya agar datang dan mendampinginya saat operasi dilaksanakan. Tapi nyatanya, Tomy tidak datang. Sungguh kecewa hati Mama dan Ayah Aruna. Tomy yang menyebabkan anaknya celaka dan Tomy juga yang kini menjauhi Aruna. Tiga jam lamanya operasi berlangsung. Begitu pintu bercat putih itu terbuka serta seorang berseragam dokter dan dua orang berseragam perawat keluar dari dalamnya, Mama dan Ayah Aruna segera mendekat. Wajah cemas tampak pada keduanya. "Dokter! Bagaimana kondisi Aruna?" tanya Ayah Aruna tidak sabar. "Alhamdulillah, operasi berjalan lancar. Hanya saja__" dokter menjeda kalimatnya. "Hanya saja apa dokter?" Febri yang tidak sabar ingin segera tahu apa yang terjadi dengan putrinya harap-harap cemas menanti jawaban dari lelaki di hadapannya. "Untuk sementara waktu, putri Anda belum bisa berjalan seperti sedia kala. Terjadi masalah pada saraf di kakinya hingga menyebabkan Aruna mengalami kelumpuhan." "Apa dokter! Lumpuh?" Febri membekap mulutnya tidak percaya. "Mohon maaf Bapak dan Ibu. Saya permisi dulu. Jika ada perkembangan dengan kondisi saudari Aruna, kami akan segera menginformasikan kemudian," pamit dokter lalu meninggalkan Mama dan Ayah Aruna. Luluh lantak hati Ayah dan Mama Aruna. Keduanya saling tatap lalu berpelukan menyalurkan rasa kesedihan yang mendalam karena derita yang dialami oleh putri mereka. **** Satu bulan berlalu, Aruna sudah bisa kembali ke rumah. Hanya saja, Aruna yang sekarang bukanlah seperti Aruna yang dulu. Aruna yang ceria, semangat dan tangguh, tak nampak lagi di wajah Aruna yang sekarang. Aruna selalu murung, tak ada sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah cantiknya. Rambutnya yang dulu selalu tergerai indah, sekarang sering dibiarkan terurai begitu saja. Tampak lusuh dan kusut. Kadang kala Febri yang akan menyisir rambut Aruna dengan diiringi derai air mata. Ya, kondisi Aruna yang sekarang begitu memprihatinkan. Semua terjadi karena kelumpuhan yang Aruna alami. Semenjak operasi satu bulan lalu dan dokter memvonisnya tak bisa berjalan untuk sementara waktu, Aruna tak bisa menerima kenyataan yang ada. Gadis itu terlalu shock. Dia belum bisa menerima semua meski Ayah atau mamanya selalu membesarkan hati Aruna. Ayah dan Mama selalu mengatakan jika Aruna harus tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikan ia kaki yang suatu saat bisa ia gunakan untuk berjalan kembali. Memang benar kaki Aruna masih ada harapan untuk bisa berjalan lagi, karena kaki Aruna tak perlu diamputasi. Aruna masih bisa mengikuti terapi. Dokter mengatakan, Aruna masih ada harapan untuk bisa berjalan kembali. Namun, semangat Aruna sudah berada di titik terendah. Kehilangan Tomy juga salah satu faktor yang memicu Aruna depresi ringan. Dan satu hal lagi, satu minggu yang lalu, Aruna mendapat surat dari kantor di mana gadis itu bekerja selama ini. Surat pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Karena Aruna dianggap tidak produktif lagi dan perusahaan memutuskan untuk memberhentikan Aruna dengan memberikan pesangon sejumlah uang yang tidak seberapa nilainya. Bukan uang yang manjadikan Aruna semakin sedih. Tapi dengan hanya berada di atas kursi roda sangat membatasi pergerakannya. Gadis itu hilang rasa kepercayaan dirinya. Merasa tak lagi ada teman. Jangankan teman, kekasihnya saja tega meningalkannya di saat kondisi Aruna yang terpuruk seperti ini. Padahal yang Aruna butuhkan saat ini hanyalah support dari sang kekasih dan orang-orang terdekatnya. Tapi nyatanya, Aruna tak mendapatkan itu semua. Hanya Ayah, Mama dan adiknya saja yang masih setia mendampinginya. Sementara yang lain, mereka seolah tak pernah lagi mengenal siapa Aruna. Semua teman mengirimkan pesan yang berisi rasa simpati, tapi diantara mereka tak ada satupun yang mau mengunjunginya di rumah. Kecuali saat Aruna masih di rawat di rumah sakit dulu. Ada beberapa teman yang menjenguknya karena bersimpati atas musibah yang menimpanya. Aruna tahu mereka semua sibuk dengan aktifitas masing-masing, dan menyadari akan hal itu membuat Aruna semakin terlarut akan kesedihan yang mendalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD