Chapter 2

1827 Words
“Tolong berhentilah menghubungiku. Ini masalahmu dengan El jadi selesaikan sendiri dengannya dan berhenti menggangguku. Karena kau terus menghubungiku seperti ini, Mika sampai salah paham dan tidak ingin bertemu denganku juga” Pintah Conradinez pada seorang wanita di seberang telepon.    Wanita bernama Clarissa yang merupakan mantan Delwyn. Sejak satu bulan setelah Clarissa kembali ke Indonesia, wanita itu terus meneror Conradinez agar bisa bertemu dengan Delwyn. Namun hal itu malah menjadi perkara bagi hubungannya dengan Mikaila.    “Kau tahu sendiri ‘kan kalau El tidak mau menjawab teleponku” Ucap Clarissa.    “Kalau begitu temui dia secara langsung” Ujar Conradinez. “Boro-boro, melihatku saja dia merasa muak” Ucap Clarissa. “Kalau begitu berhenti saja. Percuma juga kau terus menghubungiku, aku tidak bisa membantu apa-apa. Semua keputusan ada pada El” Ujar Conradinez kemudian mengusap wajahnya lelah. Ia baru saja pulang bekerja dan hendak pergi ke rumah Mikaila untuk menemui wanita itu. Namun, lagi-lagi Clarissa meneleponnya untuk hal yang tidak penting seperti ini.    “Jika aku tidak mencintai El, maka sejak awal aku juga tidak akan seperti ini” Ketus Clarissa.    “Kalau kau memang mencintai El, kau tidak akan pernah pergi meninggalkannya” Tukas Conradinez membuat Clarissa terdiam. Namun tak lama kemudian, Clarissa langsung memutuskan sambungan teleponnya begitu saja tanpa mengatakan apapun membuat Conradinez kesal.    “Dasar wanita tidak tahu etika. Setidaknya ucapkan salam perpisahan baru matikan teleponnya” Gerutu Conradinez kemudian menyimpan ponselnya.    “Sudah sampai, Tuan” Lapor Geri pada Conradinez saat mereka telah tiba di rumah Mikaila.    Conradinez pun turun dari mobil dan masuk berjalan menghampiri rumah Mikaila dengan harapan bahwa wanita itu mau bertemu dengannya. Sekali saja dan ia akan menjelaskan semuanya secepat dan sedetail mungkin.    Tok... Tok... Tok...      Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Celine keluar dari dalam. Pemandangan yang akhir-akhir ini sering ia lihat ketika datang ke rumah Mikaila. Padahal biasanya, kekasihnya itu yang membukakan pintu untuknya.    “Eh, Con~ Ayo masuk” Ajak Celine seraya mempersilakan Conradinez masuk ke dalam.    “Tidak perlu, Tan” Tolak Conradinez. “Mmm... Apa Mika ada di dalam?” Tanyanya membuat Celine menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Celine.    “Sebenarnya ada apa dengan kalian? Sudah lebih satu minggu kalian seperti ini dan membuat Tante juga ikut bingung. Bahkan saat pulang tadi, Mika sudah berpesan lebih dulu untuk menolak kedatanganmu” Tanya Celine.    “Hanya salah paham, Tan” Jawab Conradinez. “Salah paham seperti apa sampai kalian seperti ini selama satu minggu?” Tanya Celine.    “Aku janji akan segera menyelesaikan masalah ini, Tan. Tapi...” Ucap Conradinez sengaja menggantung ucapannya.    “Tapi apa?” Tanya Celine. “Apa aku boleh minta tolong?” Tanya Conradinez balik. “Tolong apa? Kalau Tante bisa, pasti akan Tante bantu” Ucap Celine membuat Conradinez tersenyum kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Celina.    “Kamu yakin?” Tanya Celine yang diangguki oleh Conradinez. “Baiklah. Akan Tante coba” Ucapnya.    “Terima kasih, Tan” Ujar Conradinez kemudian pamit dari sana. Sementara itu, Mikaila yang sedari tadi menguping dari dalam kamar dengan menempelkan telinganya di pintu mendengus kesal karena tak dapat mendengar apapun. Ia lantas kembali berdiri tegak kemudian berjalan menuju tempat tidurnya.    “Apa yang mereka bicarakan?” Tanya Mikaila penasaran. “Kenapa juga dia selalu datang ke sini?” Dengusnya.    “Sudahlah Mikaila, hubungan kalian juga sudah berakhir. Tak perlu memedulikannya lagi” Gumam Mikaila kemudian menghela nafas kemudian menepuk-nepuk pundaknya yang terlalu kaku karena hari ini pekerjaannya sangat banyak.    -------                              “Pagi, Mik” Sapa Cinta, salah satu resepsionis di sana. “Pagi” Balas Mikaila seraya tersenyum ramah “Akhir-akhir ini kau sering datang cepat” Ucap Cinta. “Aku ingin mendapat penghargaan karyawan teladan tahun ini” Canda Mikaila membuat Cinta terkekeh.    “Ya ampun, kau ini. Selera humormu memang bukan kaleng-kaleng” Ucap Cinta.    “Apa aku sudah cocok menjadi salah satu komedian?” Tanya Mikaila. “Boleh, Sule dan Andre bahkan akan kalah darimu” Jawab Cinta. “Kalau itu mungkin terlalu berlebihan” Ucap Mikaila membuat keduanya tertawa. “Kalau begitu aku naik dulu, ya. Bye” Pamitnya.    “Bye” Ujar Cinta. Setelahnya, Mikaila melanjutkan perjalanannya naik ke lantai tertinggi gedung tersebut. “Astaga, lihat meja ini. Sungguh sangat tidak beradab” Gumam Mikaila ketika melihat mejanya yang sangat berantakan.    Bagaimana tidak? Kemarin ia langsung pulang begitu saja tanpa membereskan barang-barangnya karena terlalu lelah. Alhasil, ia meninggalkan semua kertas-kertas tersebut berserakan di atas mejanya.    Tak ingin membuang waktu meratapi meja tersebut, Mikaila meletakkan tasnya di kursi kemudian segera membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas mejanya sebelum bosnya datang dan melihat salah satu kebiasaan buruknya ini.    Memisahkan kertas-kertas yang sudah tak dibutuhkan dan yang masih dibutuhkan, memasukkan beberapa berkas ke map masing-masing, membuang sampah yang berserakan di atas mejanya, dan mengatur aksesoris mejanya.    Beberapa saat kemudian, akhirnya Mikaila dapat duduk dengan tenang di kursinya setelah membereskan mejanya. Beristirahat sejenak kemudian mulai menyalakan komputernya untuk membuat tabel laporan yang akan ia serahkan pada Alvis siang nanti.    Tak lama kemudian, Alvis pun datang saat Mikaila tengah mengerjakan laporannya. Ia lantas berdiri lalu menyapa Alvis dengan sopan yang dibalas pria paruh baya itu dengan senyuman hangat seperti biasa. Setelahnya, Mikaila kembali mengerjakan pekerjaannya.    “Apa ini? Sejak kapan ini ada di sini? Seingatku tadi, ini tidak ada di sini” Tanya Mikaila pada dirinya sendiri ketika melihat sebuah berkas yang tak ia kenal. Tanpa menunggu lama, ia lalu membuka map tersebut lalu menghela nafas kesal.    “s**u Dancow sialan” Makinya. “Pasti dia yang meletakkan ini sebelum Pak Alvis datang” Lanjutnya.    Susu Dancow? Itu adalah panggilan Mikaila untuk seorang ketua divisi keuangan yang bernama Dani Santoso. Pria yang diam-diam selalu telat mengumpulkan laporan hingga membuatnya harus merevisi semua laporan yang tadinya tinggal ia serahkan pada Alvis.    Jika bukan saat jam pulang, Dani akan mengumpulkan laporannya keesokan paginya dengan cara mengendap-endap dan meletakkan laporan itu di atas meja Mikaila dengan hati-hati untuk menghindari omelan wanita itu.    Dengan perasaan kesal, Mikaila kembali merevisi laporan yang telah ia buat kemarin dan memasukkan laporan Dani. Tak semudah itu, karena ada beberapa laporan yang terkait dengan laporan pria itu dan ia harus menghitung ulang jumlah tadinya sudah selesai tersebut.    Tak lama kemudian, seorang pria datang membuat Mikaila berdiri dari duduknya lalu bertanya pada pria tersebut. “Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Mikaila seraya tersenyum ramah. Untuk sesaat, pria itu terdiam di tempatnya seraya memandangi Mikaila tanpa berkedip membuat wanita itu bingung. Ia lantas kembali memanggil pria tersebut beberapa kali hingga pria itu tersadar.    “Ah, maaf” Ucap pria itu. “Apa ada yang bisa saya bantu?” Tanya Mikaila lagi. “Aku ingin bertemu dengan Pak Alvis” Jawab pria itu. “Apa Anda sudah membuat janji sebelumnya?” Tanya Mikaila. “Tentu” Jawab pria itu seraya tersenyum. “Kalau boleh tahu siapa nama Anda?” Tanya Mikaila. “Namaku Dimas Hengkara, manajer umum yang baru” Jawab pria bernama Dimas tersebut membuat Mikaila ber-oh ria dalam hatinya.    “Baik, tunggu sebentar” Ucap Mikaila kemudian masuk ke dalam ruangan Alvis dan melaporkan kedatangan Dimas. Setelahnya, Mikaila mempersilakan Dimas untuk masuk saat Alvis telah memberi izin. “Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kau manajer umum yang baru? Kalau begitu ‘kan tidak perlu membuang banyak waktu untuk pertanyaan-pertanyaan seperti tadi” Gerutu Mikaila seraya kembali mengerjakan pekerjaannya.    Suara ketikan dari keyboard yang di tekan Mikaila kembali menggema di lorong selebar lima meter tersebut karena meja Mikaila berada di depan ruangan Alvis.    Bukan, bukan meja kecil yang biasa digunakan di dalam ruangan. Melainkan meja berbentuk ‘L’ besar seperti yang digunakan oleh resepsionis dengan latar logo perusahaan Hoor di belakangnya. Maka tak heran kalau Dani dapat menyerahkan laporannya secara diam-diam pada Mikaila.    Jika kalian bertanya apakah meja tersebut tidak terlalu besar untuk Mikaila yang hanya seorang diri? Maka jawabannya adalah tidak. Karena berkas-berkas Mikaila juga sangat banyak, jadi wajar ia memakai meja sebesar itu seorang diri.    Beberapa saat kemudian, pintu ruangan Alvis kembali terbuka dan Dimas keluar dari sana. Mikaila lantas berdiri dari duduknya untuk menyambut pria itu. “Tidak perlu berdiri untuk menyambutku” Ucap Dimas seraya mendekati Mikaila. “Perkenalkan, aku Dimas Hengkara, manajer umum yang baru” Lanjutnya seraya menyodorkan tangannya pada Mikaila.    “Mikaila Benhard, sekretaris Pak Alvis” Balas Mikaila kemudian melepas salaman mereka.    “Tidak perlu terlalu sopan padaku, santai saja” Pintah Dimas. “Lagi pula kita juga akan sering bertemu untuk ke depannya” Lanjutnya.    “Ah, baiklah” Ucap Mikaila seraya tersenyum. “Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik untuk ke depannya” Ujar Dimas. “Tentu” Ucap Mikaila. “Kalau begitu aku pergi ke ruanganku dulu” Pamit Dimas kemudian beranjak dari sana dengan senyuman menawan yang pria itu bawa saat datang ke sana.    “Not bad-lah untuk kesan pertama” Gumam Mikaila seraya mengangguk-anggukkan kepalanya menilai sikap Dimas yang lumayan friendly menurutnya.    Baru saja Mikaila duduk kembali di kursinya, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada sebuah panggilan yang masuk dan itu berasal dari sang Ibu.    “Halo, Ma” Sapa Mikaila setelah menjawab panggilan tersebut. “Halo, Mik. Con, Mik, Con” Ucap Celine panik. “Sudah kubilang jangan menyebut na...” “Con sakit. Demamnya sangat tinggi sejak semalam. Dia bahkan tidak berangkat kerja hari ini” Potong Celine membuat Mikaila terkejut.    Namun beberapa saat kemudian, ia menghela nafas. Mereka sudah tak memiliki hubungan lagi, jadi untuk khawatir seperti ini? Conradinez sakit, itu bukan lagi urusannya.    “Lalu kenapa kalau dia sakit, Ma? Lagi pula ada Aunty Macy yang akan merawatnya” Ucap Mikaila mencoba untuk acuh. “Sudah ya, aku harus kembali bekerja. Bye, Ma” Lanjutnya kemudian memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.    Mikaila kembali menghela nafas lalu menyimpan ponselnya di atas meja dan kembali mengerjakan pekerjaannya. Namun, baru saja ia mengetik satu angka, ia berhenti lalu menggigit kuku ibu jari serta mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Setelahnya ia melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul sepuluh. Masih ada dua jam lagi sampai jam istirahat tiba.    “Astaga, Mikaila Benhard. Fokuslah bekerja, fokus, fokus, fokus” Gumam Mikaila kemudian kembali mengerjakan pekerjaannya.    Berselang beberapa menit kemudian, Mikaila kembali melihat jam tangannya lalu melanjutkan pekerjaannya. Begitu seterusnya hingga waktu istirahat akhirnya tiba. Mikaila lantas segera membereskan barang-barangnya kemudian berdiri dari kursinya. Baru saja ia hendak pergi dari sana, panggilan Alvis segera menghentikan langkahnya.    “Mika, kau mau ke mana?” Tanya Alvis. “Maaf, Sir. Adik saya tiba-tiba saja sakit di sekolah jadi saya menjemputnya” Jawab Mikaila berbohong. Adik? Sejak kapan dia memiliki adik haha...    “Kalau begitu cepatlah pergi. Adikmu pasti sudah menunggumu” Pintah Alvis membuat Mikaila sedikit merasa bersalah karena telah membohongi pria paruh baya yang sangat baik itu.    “Terima kasih, Sir” Ucap Mikaila kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya lalu pergi dari sana dengan buru-buru.    Saking buru-burunya, ia bahkan mengabaikan panggilan Dimas yang memanggilnya di lobi dan meneruskan langkah cepatnya keluar dari gedung tersebut dan masuk ke dalam mobil taksi yang baru saja selesai mengantar pelanggannya.    Taksi tersebut mulai melaju setelah Mikaila memberikan alamat tujuannya pada sang supir. Tak lama kemudian, akhirnya mereka tiba di kediaman ‘Carbert’s Family’. Yap, pada akhirnya Mikaila memutuskan untuk pergi menemui Conradinez karena sangat khawatir dengan keadaan pria itu.    Bagaimana tidak? Saat sakit, pria itu seribu kali lebih manja dari biasanya. Turun dari tempat tidur pun harus dibantu, apapun itu harus dibantu dan ditemani. Apalagi saat ini pria itu sedang demam tinggi, pasti sangat sulit untuk pria itu.    Setelah membayar ongkos taksinya, Mikaila segera turun dan masuk ke dalam mansion yang sangat mewah dan megah tersebut menuju kamar Conradinez yang berada di lantai dua menggunakan tangga.    Saking khawatirnya ia dengan kondisi Conradinez, sampai-sampai melupakan kalau ada lift yang berada tak jauh dari tangga tersebut yang bisa membuatnya lebih cepat sampai di lantai dua tanpa harus kelelahan.    “Con” Seru Mikaila begitu ia membuka pintu kamar Conradinez. -------                              Love you guys~             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD