BAB 2

1041 Words
        Sembilan bulan kemudian...         Menjalani pernikahan diam-diam, tak ada seorang pun yang tahu adalah hal yang sangat menyiksa karena setiap kali teman kantornya bertandang ke rumah Ilona dia harus menolaknya baik-baik. Akan menjadi berita heboh jika ada yang tahu bahwa dia tinggal dengan bosnya sendiri yang tak lain adalah suaminya. Suami yang menurut orang sempurna, tapi baginya Erick penuh dengan kekurangan.             Andai saja Ilona bisa menolak pernikahan itu. Sungguh dia ingin, tapi surat wasiat neneknya membuatnya mau tidak mau harus menerima Erick sebagai suaminya. Ditambah perselingkuhan mantan kekasihnya dengan sahabatnya sendiri yang memporak-porandakan hati Ilona. Tanpa pikir panjang, dia menikah dengan Erick yang masih memiliki kekasih bernama Sasa. Wanita yang berprofesi sebagai banker. Kalau Erick bisa memilih dia pun tak akan memilih Ilona sebagai istrinya, tapi kalau dia tidak menikahi Ilona, dia akan dicoret dari daftar keluarga. Amarta tidak main-main dengan ancamannya. Dan lagi, Erick sangat menyayangi Amarta. Dia tidak ingin melukai hati ibunya walaupun sekecil biji markisa sekalipun.             Ilona tidak menyukai Erick begitu pun sebaliknya. Bagi Ilona, Erick hanyalah bos yang suka menyuruh-nyuruh, arogan, dingin dan egois. Bagi Erick, Ilona adalah karyawan yang sok tahu, ingin menjatuhkannya dan suka bertindak semaunya. Bahkan tak segan dia menatap Ilona dengan kesinisan yang—mampu menusuk ketenangan Ilona.             Delapan bulan setelah pernikahan mereka secara diam-diam dan rahasia. Semua orang kantor tidak ada yang tahu. Tidak satu pun. Mereka bekerja masih seperti biasa sama seperti sebelum Ilona menyandang gelar sebagai Nyonya Erick Wira Gunawan.             Ilona memutar-mutar pulpennya di atas meja. Entah kenapa dia merasa tidak suka pada Sasa. Perempuan berambut curly itu—mengganggu tidurnya akhir-akhir ini. Oke, Ilona tahu dia baik—meskipun sebenarnya agak meragukan juga kalau Sasa itu wanita baik, tapi bagaimana kalau suatu saat Sasa mengetahui soal pernikahannya dengan Erick lalu mereka putus. Kemudian menyebarkan pernikahan secara diam-diam ini?             “Aku benci sekali sama Erick!” gerutu Mona yang sering diomeli Erick karena kesalahan-kesalahan sepele dan terlebih karena kekonyolan Mona. Mona muak pada bosnya yang—entahlah. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau saja Erick bisa lebih ramah padanya bisa dipastikan Mona akan menjadi fans fanatik Erick.             Ilona terkesiap.                                                   Mona melipat kedua tangannya di atas perut. “Kalau punya kesempatan buat mencekik leher Erick, pasti aku cekik, deh!” katanya dengan ekspresi wajah mencucu.             Ilona tertawa kecil melihat ekspresi mencucu dan nada suara Mona yang lucu.             “Kenapa ketawa?” Mona mengambil biskuit rasa keju di atas meja Ilona dan menggigitnya.             “Dari dulu Erick memang gitu kan?” kata Ilona.             “Iya sih, tapi—“ Mona menatap Ilona dengan tatapan memelas. “Bagaimana perasaan Sasa ya. Kok dia kuat banget pacaran  tiga tahun lamanya tanpa ada kepastian.” Sasa sudah menjadi rahasia umum dikenal sebagai kekasih Erick karena wanita yang kecantikannya mirip dengan penyanyi top Indonesia itu cukup sering datang ke kantor Erick—yang menyebabkan ketidakyakinan Ilona kalau Sasa bekerja sebagai banker.             Ilona mengangkat bahu. Dia jadi ingat saat pertama kalinya tahu kalau bos yang dibencinya itu akan jadi suaminya.             “Ingat, ya, Pak Erick, ini hanya sebagai status. Aku tidak akan ikhlas melepas tubuhku untuk Anda. Anda tahu kan kalau kita ini sebenarnya musuh dalam dalam banyak hal.”             Erick tertawa mendengar celotehan Ilona yang saat itu sedang fitting gaun pengantin. Dan itu pertama kalinya Ilona mendengar Erick tertawa. Ya, dia tentu senang karena bisa mendapatkan haknya sebagai salah satu pemilik hak waris perusahaannya.             “Aku tidak tahu bagaimana nanti menjalani hari demi hari bersama Anda.” Ilona menyilangkan kedua tangannya di atas perut.             “Asal kamu tahu, aku juga tidak tahu bagaimana nanti menjalani hari-hari dengan tinggal satu atap bersama bawahan yang tidak aku sukai sama sekali karena kecerobohan dan sifat sok tahunya.”             “Kita musuh dalam banyak hal.” ujar Ilona ironi.             “Aku bersyukur Sasa wanita yang lembut.” Erick mulai membanding-bandingkan Ilona dengan Sasa.             “Yang tampak baik di depan belum tentu baik di belakang.” Ilona tersenyum sinis. Dia tidak sepenuhnya yakin Sasa wanita yang baik. Mengingat bagaimana tatapan wanita itu ketika menatapnya.             “Pernah tidak sih, kamu membayangkan punya suami seperti Erick?” tanya Mona tak terduga.             Bukan membayangkan lagi tapi memang Erick adalah suami Ilona.             “Tidak.” Ilona menggeleng. “Aku tidak mau membayangkan hal-hal negatif.”             Mona tertawa. “Punya suami seperti Erick itu termasuk hal yang negatif ya?”             “Iyalah.” sahut Ilona lalu menyesap kopinya yang mulai mendingin.             “Tapi dia punya banyak harta.” Mona mengedipkan sebelah matanya.             “Itu harta keluarganya. Erick tanpa harta dari keluarganya—apalah artinya seorang Erick.”             “Eh, bagaimana kabar mantan kamu itu?” tanya Mona yang tiba-tiba tertarik dengan kabar mantan kekasih Ilona.             Pertanyaan dari Mona mengingatkannya kembali pada mantan kekasihnya—Arun. Pria yang entah bagaimana sekarang menjadi milik mantan sahabatnya. Menikung dari belakang. Ya, mungkin kebencian Ilona tidak sebesar ini kalau wanita yang dikencani Arun bukan Kamila—sahabatnya sendiri.             “Dia mati.” jawab Ilona dengan tatapan kosong.             “Serius sudah mati?” tanya Mona dengan mata membulat.             “Mati.” ulang Ilona tanpa menatap Mona.             Mona merasakan ketakutan yang entah berasal darimana. Ilona seakan memiliki bakat untuk mengatakan hal-hal mnegerikan seakan nyata. ***             Ilona mengaduk kopi dalam mug putih bergambar karakter favoritnya—Rapunzel. Gara-gara Rapunzel, Ilona pernah memanjangkan rambutnya hingga selutut waktu SD tapi karena nenek bawel dan sebal melihat rambut Ilona tidak beraturan, dia memotongnya. Nenek memang begitu, terlalu otoriter. Saat itu Ilona menangis meraung-raung. Umurnya baru sembilan tahun kala dia sangat tergila-gila pada Rapunzel. Tapi sekarang dia bebas dari keotoriteran nenek karena nenek sudah meninggal tepat saat usia Ilona tujuh belas tahun dan sialnya surat wasiat nenek dikeluarkan oleh pengacara kepercayaan nenek pada usianya yang ke dua puluh lima tahun. Yaitu perintah untuk menikah dengan Erick Wira Gunawan. Bosnya yang paling dibenci seantreo kantor.             Ilona melihat Erick mencium kening Sasa sebelum Sasa pergi membawa mobil Erick. Ilona tersenyum miris. “Ya, bagaimana Sasa tidak bersikap baik pada Erick kalau pria itu selalu saja memanjakannya. Suatu saat nanti kamu akan tahu dia tipe wanita macam apa, Rik.” Ilona menyesap kopinya. Dia yakin akan terkaannya tentang Sasa. Semacam insting sebagai seorang wanita.             “Buatkan aku kopi.” titah Erick.             “Nih,” Ilona menyerahkan mug bergambar Rapunzel pada Erick.             Dahi Erick mengernyit. “Itu kan bekas bibir kamu.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD