Bab 3. Luka Kembali Terbuka

1378 Words
Jasmine bergumam pelan menyebut nama pria yang empat tahun ini tak lagi dia sebut. Nama yang mati-matian selalu Jasmine hindari. Mata Jasmine nyaris berembun. Jika saja, tidak ada orang di ruang keluarga itu mungkin dia akan berteriak, dan memaki pria yang ada di hadapannya ini. Tapi tidak! Jasmine memilih untuk diam seraya menatap nanar pria yang ada di hadapannya. Tatapan tersirat penuh luka yang mendalam. Bagaikan sebuah pisau yang menancap ke jantungnya. Napas Jasmine rasanya ingin berhenti. Xavier Coldwell—menatap Jasmine dengan tatapan nyaris tak percaya. Namun, terlihat jelas tatapan Xavier tersirat penuh arti yang sulit untuk diungkapkan. Pria itu menatap Jasmine seperti tersesat di tengah hutan yang luas dan gelap. Jika siang hari hutan menunjukkan keindahan, lain halnya dengan malam hari— membuat hutan itu layaknya gelap, dan kesunyian yang tak berkawan. Sejenak, Xavier dan Jasmine masih saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang seakan menimbulkan sebuah percikan api. Manik mata cokelat Jasmine mengisyaratkan kebencian yang mendalam pada Xavier. Lain halnya dengan Xavier yang seakan begitu menyelami keindahan manik mata Jasmine. Mereka beradu pandang cukup lama. Sampai mereka berdua lupa kalau di ruangan itu tak hanya mereka berdua. “Apa kalian saling mengenal?” Suara Jelena berhasil menyadarkan Jasmine bahwa dirinya terlalu lama menatap Xavier. Tatapan Jelena menatap Jasmine dengan begitu lekat dan bingung. “Ah, tidak. Aku tidak mengenalnya. Hanya saja wajah pria itu seperti tidak asing. Tapi setelah aku lihat dengan benar, aku tidak mengenalnya. Maaf.” Jasmine mengalihkan pandangannya, membuang wajahnya tak mau lagi menatap Xavier. Jelena menganggukkan kepalanya. “Xavier, kemari,” pintanya pada Xavier yang masih berdiri di ambang pintu untuk duduk di sampingnya. Xavier sedikit mengembuskan napas panjang. Pria itu melangkah mendekat pada Jelena, menuruti keinginan wanita itu. Meski tatapannya masih mencuri-curi melihat wajah Jasmine, tapi pria itu segera duduk di samping Jelena. “Apa kau tadi sibuk, Xavier?” tanya Johan seraya menatap Xavier. “Tadi asistenku melaporkan beberapa project kerja sama perusahaanku di New York, Paman,” jawab Xavier dengan nada datar, tapi tetap terdengar sopan. Johan mengangguk-anggukkan kepalanya, merespon ucapan Xavier. “Jelena, ayo kenalkan Xavier pada adikmu. Pasti adikmu tidak sabar,” ujar Mila dengan senyuman di wajahnya pada Jelena. “Oh, astaga. Aku sampai lupa memperkenalkan Xavier,” kata Jelena yang kini memeluk erat lengan Xavier dan segera menatap Jasmine. “Jasmine, kenalkan ini Xavier, kekasihku. Tahun ini kami akan bertunangan.” Bagai tersambar petir, tubuh Jasmine seakan ingin ambruk. Seperti bumi yang berhenti berputar pada porosnya. Dia merasakan hatinya hancur lebur. Sepasang iris mata cokelatnya menunjukkan sebuah kekecewaan yang begitu mendalam. Tatapan nanar. Pedih. Terluka. Melebur menjadi satu. Napas Jasmine seakan ingin berhenti. Tenggorokan tercekat. Air mata nyaris menggenangi pupil matanya. Beruntung, Jasmine mampu mengatasi dirinya. “Selamat. Aku turut bahagia.” Hanya itu kalimat yang bisa Jasmine ucapkan saat ini. Demi berusaha menenangkan dirinya, dia mengambil teh hangat yang diantarkan pelayan dan mulai menyesap teh itu. Sejak tadi Xavier masih diam, menatap Jasmine dengan tatapan penuh arti. Dalam diam, pria itu bisa melihat jelas kepedihan di wajah Jasmine. Hati pria itu mulai bergemuruh. Semua perasaan yang sulit terungkapkan. “Jasmine, kau lihat kakakmu tahun ini akan bertunangan. Kapan kau menyusul?” tanya Mila dengan tak sabar. Jasmine berusaha tersenyum anggun di balik hatinya yang hancur. “Sekarang ini aku ingin fokus pada karirku. Belum terpikir pada pernikahan.” “Kenapa belum terpikir dengan pernikahan? Usiamu sudah cukup untuk menikah?” Suara Xavier tiba-tiba bertanya pada Jasmine tanpa dosa. Pria itu seakan bertanya layaknya kakak ipar yang menginterogasi adik iparnya sendiri. Jasmine terdiam sejenak kala mendengar pertanyaan Xavier. Mati-matian wanita itu mengumpulkan semua keberanian dalam dirinya agar mampu menjawab. Sepasang iris mata Jasmine tak bisa berbohong kalau dia begitu hancur. Akan tetapi, nyatanya dia tetap berusaha untuk tersenyum di hadapan banyak orang. “Menikah bukan prioritas utamaku. Paling tidak aku harus mempersiapkan masa depanku sendiri. Karena di luar sana banyak wanita yang ditinggal begitu saja oleh suaminya. Terlalu banyak wanita lemah di dunia ini. Mereka tidak mampu berjuang berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Itu kenapa saat ini aku lebih fokus pada pekerjaanku. Aku belum terpikir untuk pernikahan.” Jasmine menjawab dengan nada yang anggun dan bijaksana. Kata-kata Jasmine sukses membuat Xander diam. Pria itu diam bukan karena tidak bisa menjawab, melainkan kata-kata itu seolah menusuknya, membuat dirinya sangatlah tersudut. “Jasmine, kau tidak bisa seperti itu.” Mila tak suka putrinya berpikir demikian. “Sudah, tidak apa-apa, Sayang. Lagi pula Jasmine berhak menentukan pilihannya. Jasmine juga masih muda. Dia baru saja naik jabatan. Wajar saja kalau fokus dia adalah karir.” Johan segera memotong ucapan sang istri. Mila mendesah pasrah. Tak bisa lagi membantah, akhirnya wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu, tak mau memperdebatkan tentang masalah pernikahan pada putri bungsunya. “Xavier, adikku baru saja naik jabatan. Dia menjadi Direktur Marketing di perusahaan kosmetik terbesar. Dia berhasil membawa nama perusahaannya sebagai salah satu perusahaan kosmetik dengan laba tertinggi tahun ini,” ujar Jelena membanggakan adiknya pada sang kekasih. Xavier mengangguk ikut bangga. “Selamat, Jasmine.” “Thanks,” jawab Jasmine dengan nada datar dan dingin. Jika sejak tadi Xavier menatapnya, lain halnya dengan Jasmine yang enggan menatap Xavier. Wanita itu memilih membuang wajahnya, seolah tak mengenal Xavier. “Ya sudah, Daddy dan Mommy tinggal dulu sebentar, ya. Kami ingin membahas beberapa tamu yang nanti diundang di pesta pertunangan nanti,” kata Mila dengan raut wajah yang begitu riang bahagia. “Iya, Mom,” jawab Jelena dengan senyuman di wajahnya. Johan dan Mila pun segera meninggalkan ruang keluarga. Selain berdiskusi tentang tamu undangan di rencana pesta pertunangan Xavier dan Jelena—mereka juga tak ingin mengganggu anak muda yang tengah berkumpul itu. “Jasmine, bagaimana kabar Bernard? Sebelum kau pulang, Mom bercerita kalau Bernard sedang ada di Dubiai?” tanya Jelena kala kedua orang tuanya pergi. “Kabar Bernard baik. Pagi ini dia baru saja terbang ke sana,” jawab Jasmine datar. “Nanti jangan lupa sampaikan salamku untuknya, ya? Tadi aku pikir dia ikut ke sini,” kata Jelena seraya menatap sang adik. Jasmine hanya menganggukkan kepalanya merespon ucapan Jelena. Namun, dia tak menyadari kalau sepasang iris mata cokelat Xavier tak lepas menatapnya. Bahkan kala Jelena menanyakan tentang ‘Bernard’ membuat Xavier menatap Jasmine begitu lekat dan dalam. Suara dering ponsel berbunyi membuat semua orang melihat pada ponsel milik Jelena yang tak henti berdering itu. Jelena mengambil ponselnya dan menatap ke Xavier dan Jasmine bergantian. “Aku harus merus menjawab teleponku dulu. Aku tinggal sebentar, ya?” ucap Jelena yang segera meninggalkan Xavier dan Jasmine. Dia langsung pergi begitu saja, tak menunggu respon dari Xavier atau pun Jasmine. Saat ini di ruang keluarga yang besar itu hanya tersisa Xavier dan Jasmine. Xavier yang tak lepas menatap Jasmine, sedangkan Jasmine yang selalu membuang wajahnya, enggan menatap Xavier. Jasmine mengembuskan napas panjang. “Aku harus masuk ke kamar. Kau tunggulah di sini. Kakakku akan segera kembali,” ucapnya yang langsung bangkit berdiri. Namun, sayangnya langkahnya terhenti kala Xavier berada di hadapannya. Pria itu memiliki tubuh tinggi dan tegap. Menghadang Jasmine agar tak pergi. “Minggir, Xavier!” seru Jasmine tegas. “Kita harus bicara, Jasmine.” Xavier mencengkram kuat lengan Jasmine. “Bicara? Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan!” Jasmine menghunuskan tatapan tajamnya pada Xavier. “Jasmine—” “Stop! Tidak ada yang perlu dijelaskan, Xavier! Apa yang terjadi pada masa lalu adalah kebodohanku yang memercayaimu. Jadi lupakan saja.” Jasmine menyentak kasar tangan Xavier yang mulai mengendurkan cengkeraman lengannya. Xavier terdiam sejenak mendengar ucapan Jasmine. “Maaf.” Hanya kata ini yang lolos dari mulut Xavier. Tanpa dosa, pria itu menatap Jasmine seakan dirinya tak bersalah. Jasmine melangkah mundur. Dia tersenyum patah. Sebuah senyuman yang tak lagi sempurna. Terlebih kala Xavier mengucapkan kata ‘Maaf’ membuat hati Jasmine seakan tercabik. “Kau tidak perlu minta maaf. Aku sama sekali tidak lagi mengingat apa pun. Jadilah orang asing di hadapanku, Xavier Coldwell. Meski kau akan menjadi calon suami kakakku, anggaplah aku tidak ada. Karena di masa depan, aku tidak akan pernah sudi mengenalmu.” Nada bicara Jasmine bergetar kala mengatakan itu. Matanya berembun, menahan air mata agar tak berlinang. Detik selanjutnya, dia berlari pergi meninggalkan Xavier yang masih bergeming dari tempatnya. Sepasang iris mata cokelat gelap pria itu terus menatap punggung Jasmine yang mulai lenyap dari pandangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD