Ia Telah Datang

1211 Words
Ketika keluar kamar, ternyata Bu Rahma masih sholat berjamaah dengan Pak Fuad. Sembari menunggu, Sora duduk diam di ruang tamu sembari bermain ponsel. Ia sedikit melanjutkan sebuah novel di platform kepenulisan online yang sudah beberapa hari tak ia sentuh. Ia sudah banyak ditagih oleh pembaca untuk segera meneruskan ceritanya. "Mbak ... kita jadi ke rumah Mas Samran atau nggak, sih? Kok pada belum siap - siap?" Zona mendadak muncul. Rambut, wajah, tangan dan kakinya basah semua. Bisa Sora tebak, adiknya itu baru saja selesai mengambil wudhu. Sora yang masih sensitif, berusaha menekan emosinya sendiri supaya tidak meledak. Karena Zona kan tidak mengerti dengan masalah pelik yang sedang ia hadapi sekarang. "Udah, kamu sholat dulu aja sana!" titah Sora. "Lhah, aku tanya belum dijawab, lho. Kalau jadi nanti habis sholat aku sekalian ganti baju." "Udah, sholat dulu aja sana. Keburu habis waktu maghrib - nya. Buruan!" Sora sedikit menaikkan intonasi bicaranya. Membuat Zona sedikit kesal, dan sedikit takut juga. Akhirnya Zona segera pergi sholat saja. Sora kemudian lanjut membaca komentar - komentar dari pembaca setianya. Komentar - komentar itu sedikit membuat beban di hati Sora berkurang. Membuatnya sedikit terhibur. Setelah tahu orang tuanya sudah selesai sholat, Sora langsung berjalan menghampiri mereka. Melihat putrinya datang, Bu Rahma segera bertanya pada Sora. "Gimana, Mbak?" "Ini, si Samran ... dia bilang gimana kalau kita berangkatnya pakai taksi online aja. Dia yang panggil mobilnya. Katanya dia masih sibuk masak. Nanti pas pulang aja dianterin sama dia. Gimana, Buk?" Bu Rahma menimbang - bimbang bagaimana enaknya. Tapi ia tetap bingung. Belum menemukan solusi. Akhirnya ia bertanya pada sang suami. "Gimana, Pak?" Pak Fuad pun bingung. Ia menggaruk - garuk pelipisnya yang tidak gatal dengan jari telunjuk. "Uhm ... tes aja lagi si Samran. Bilang, kalau nggak bisa jemput, ya udah nggak apa - apa. Nggak jadi ke sana aja." Sora langsung berjengit mendengar ucapan ayahnya itu. Tapi ia setuju sih. Untung Sora adalah seorang penulis. Ia jadi bisa mengarang kata - kata yang lebih baik dalam waktu sekejap. Supaya maksud dari perkataan ayahnya bisa tetap terangkum, namun dalam tutur kata yang lebih sopan. 'Mas Samran, maaf banget. Mas Samran aja gang jemput kami, ya. Kalau Mas Samran nggak mau, ya nggak apa - apa. Kami ke sananya kapan - kapan aja.' Sora langsung mengirim pesan itu. Tak lama kemudian, Samran mengirim balasan. 'Oke ... oke ... aku jemput ya. Tapi agak nanti. Mungkin ba'da Isya' awal. Aku mau nyelesaiin masak dulu. Kurang sedikit. Oke?' Sora langsung memperlihatkan pesan Samran lagi pada kedua orang tuanya. "Ya udah, nggak apa - apa. Yang penting Samran yang jemput." Bu Rahma menjawab. "Iya, deh. Gitu aja," sahut Pak Fuad. "Dengan begitu, dia sudah menunjukkan sedikit pengorbanan atas keseriusannya. Bener pasti. Samran belum tahu menahu tentang penggagalan perjodohan itu. Duh ... ruwet pasti itu si Ibu Pangestutik. Dia sendiri yang ngenalin. Dia juga yang tiba - tiba batalin." Pak Fuad mengomel lagi. Sora tersenyum kecut. "Jadi kita beneran ke rumah Samran malam ini?" Sora memastikan. "Iya," jawab Bu Rahma dan Pak Fuad hampir bersamaan. "Ya udah, kalau gitu aku balas pesan Samran dulu." Sora langsung fokus pada ponselnya. Sebenarnya muncul rasa lega pula dalam hati Sora. Entah lega karena apa. Karena ia jadi ke rumah Samran, karena ia jadi akan bertemu dengan Samran kembali setelag sekian lama, atau karena bisa jadi perjodohannya dengan Samran masih berlanjut. Entah lah. Sora sendiri juga bingung dengan dirinya sendiri. *** Selepas itu Sora dan Bu Rahma langsung sibuk di dapur kembali. Tentu saja untuk mengemasi masakan - masakan yang sudah mereka buat dengan sepenuh hati seharian ini. Semuanya total ada empat kotak. Ada tahu isi mie sayur, ada telur dadar gulung, ada sambal goreng kentang, dan pastinya ada ingkung ayam utuh yang super spesial. Sebenarnya Bu Rahma masih ingin masak mie bihun goreng, Tumis buncis wortel, dan juga serundeng daging. Tapi karena ada berita tak mengenakan dari Bude Pangestutik, yang lain jadi batal dibuat. Adzan Isya' berkumandang. Sora dan keluarga segera melaksanakan sholat Isya' berjamaah. Mereka lalu memanjatkan doa untuk dilancarkan segala agenda hari ini. "Pak ... tapi nanti tolong beneran dibuat jelas, lho, ya. Tanyakan ke orang tuanya si Samran. Sebenarnya perjodohan ini bakal kayak gimana. Nanti takut udah banyak orang yang tahu. Tapi Ternyata mereka cuman main - main. Kasihan Sora kalau ternyata mereka nggak serius." Bu Rahma sudah mewanti - wanti sang suami untuk memperjelas semuanya. "Iya, Buk. Bapak nanti juga udah rencana mau tanya begitu. Bapak juga nggak terima, kalau ternyata mereka cuman mau main - main aja." Pak Fuad menjawab dengan yakin sembari memakai kemeja batiknya. "Beneran lho ya. Awas kalau sampai lupa nanya!" ancam Bu Rahma. "Nggak lah, Buk. Astaga ... nggak percaya amat udah dibilangin sama suaminya juga." Bu Rahma melanjutkan memakai lipstik warna pink - nya terlebih dahulu. "Ya kali aja, soalnya biasanya Bapak, kan, suka grogi kalai udah ketemu orang. Mau ngomong apa, malah jadinya nggak jadi." "Ya enggak lah. Kalau udah urusan kayak gini, ya beda lagi dong ceritanya, Buk!" "Oke lah, Ibuk pegang janjinya, ya. Awas aja kalau ingkar!" "Astaghfirullah ... Nggak percaya amat sama suami sendiri." Pak Fuad dengan sedikit ngambek, segera keluar dari kamar. Juga karena ia sudah selesai siap - siap, sih, sebenarnya. Sora di kamar sedang memagut dirinya dalam cermin. Menatap pantulan dirinya di sana. Ia berdandan seperti biasa. Seperti saat ia berangkat ke kampus. Tidak ada bedanya. Harusnya malam ini ia berdandan dengan spesial. Tapi karena insiden Bu Pangestutik itu, ia jadi malas untuk berdandan lebih. Buat ala juga. Toh belum tentu jika ia dan Samran benar - benar akan berjodoh. Selesai dengan urusannya, Sora segera keluar dari kamar. Ia mendapati sang ayah dan Zona uang sudah ongkang - ongkang kaki di ruang tamu. Malah ibunya yang masih sibuk berdandan di kamar. "Samran udah berangkat atau belum?" tanya Pak Fuad begitu melihat Sora. Sora melihat ponselnya dulu sebelum menjawab pertanyaan ayahnya. Belum ada pesan baru dari Samran. "Nggak tahu, Pak. Belum kasih kabar orangnya," jawab Sora sembari ikut nimbrung duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Bu Rahma keluar dari kamar. Dengan dandanannya yang heboh seperti artis ibu kota. "Gimana, Mbak? Samran udah berangkat apa belum?" Bu Rahma ikut - ikutan bertanya. Mana pertanyaannya sama pula. "Nggak tahu, Buk. Dia belum kasih kabar." Sora dengan sabar menjawab. Sudah terlalu lelah dengan segala situasi melelahkan yang terjadi hari ini. "Coba tanyain dong, Mbak. Kali aja dia nggak jadi jemput. Padahal kita udah telanjur dandan begini!" Bu Rahma benar - benar menggebu - gebu. Sora dengan lelah kembali mengambil ponselnya. Bersiap untuk mengirim chat pada Samran. Tapi belum juga Sora mengetik satu huruf, Samran sudah mengirim pesan duluan. 'Maaf ya, Sora. Baru kasih kabar. Ini aku mau berangkat.' "Nih, dia udah mau otw, Buk!" Sora langsung memberi tahu isi pesan itu pada Bu Rahma. "Ya udah kalau gitu," jawab Bu Rahma sembari ikut nimbrung di ruang tamu. 'Iya. Hati - hati di jalan.' Sora membalas pesan Samran. Mereka kemudian menunggu sambil terus membahas masalah perjodohan itu. Tanpa tahu bahwa Sora sedang harap - harap cemas. Memikirkan nasib perjodohannya yang belum juga sukses. Membayangkan apa saja yang akan terjadi di sana nanti. Huff ... benar - benar menguras emosi dan pikiran. Waktu berjalan cepat. Hingga mereka mendengar deru mobil yang memasuki pekarangan. Mereka langsung menoleh ke arah depan. Samran akhirnya telah datang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD