Pertemuan Pertama

1089 Words
Mereka semua -- Bapak, Ibu, Sora, Samran, dan sang Bude -- duduk lesehan di atas karpet berwarna hijau polos. Karena di ruang tamu rumah Sora, memang tidak ada set sofa. Ada satu set sofa. Tapi diletakkan di teras. Buka di ruang tamu. Ada meja pendek di tengah - tengah karpet. Di atas meja itu terhidang beberapa toples makanan ringan, dan juga air mineral dan teh. Kemudian Bude Liza yang sejak tadi stand by di dapur, kemudian ikut bergabung. Mengingat lewat Bude Liza lah, akhirnya pertemuan hari ini bisa terjadi. Bude Liza pun akhirnya, membuka obrolan. Eh, Bude Liza terlebih dahulu menyerukan nama bude Samran. Lalu keduanya heboh berpelukan. Dan saling bercipika - cipiki. "Kenalin Dek Fuad, Rahma, Sora ... ini Bu Pangestutik dan juga Samran. Datang untuk melihat Sora. Siapa tahu akan berjodoh dengan Samran." Bude Liza segera melakukan tugasnya. Memperkenalkan kedua belah pihak, baik tamu ataupun sang tuan rumah. "Bu Pangestutik ... Samran .... Ini Pak Fuad adik ipar saya, Bu Rahma adik bungsu saya, dan Sora, keponakan saya yang hendak dikenalkan pada Samran. Siapa tahu saja ternyata berjodoh. Semua pihak pun kemudian saling tersenyum satu sama lain. Tidak saling bersalaman seperti layaknya orang berkenalan. Karena tadi semuanya sudah saling bersalaman saat Bude Pangestutik dan Samdan datang. "Bapak Fuad, Bu Rahma, dan Sora ... kedatangan saya ke sini, adalah untuk membawa keponakan saya, Samran, untuk dikenalkan pada Sora. Samran ini anak baik. Dia juga sudah mapan. Dia anak yang mandiri. Pintar masak. Makanya dia buka restoran Chinese food dan Alhamdulillah sukses. Dia ini anak satu - satunya dari adik laki - laki saya. Pak Hartawan namanya. Dan ibunya Samran bernama Harumi. Samran dulu punya adik sebenarnya. Laki - laki juga. Namanya Gara. Tapi Gara sudah meninggal dunia, satu tahun yang lalu karena kecelakaan motor. "Kedua orang tua Samran ini dua - duanya kerja di Sumber Kembangan." Bude Pangestutik menyebutkan nama pabrik rokok paling besar se Kediri. Bahkan di Indonesia. Kualitas rokoknya sudah diakui dunia. Laku keras di pasar internasional. "Adik saya Hartawan berjabatan sebagai mandor. Dan adik ipar saya Harumi berjabatan sebagai Tata Usaha. Jadi saat ini Samran sudah berusia hampir 28 tahun. Tapi dia belum pernah kelihatan membawa pacar. Padahal posisinya adik saya Hartawan sudah mau pensiun. Pertengahan tahun ini dia sudah pensiun. Bapak dan Ibu tahu sendiri. Orang yang terbiasa bekerja, ketika pensiun, banyak yang tiba - tiba sakit keras. Padahal sebelumnya sehat - sehat saja. "Karena banyak faktor. Karena adaptasi dengan suasana baru. Biasanya banyak teman, jadi di rumah aja, bingung mau ngapain. Biasanya dapat gaji bulanan lalu tiba - tiba enggak. Dan mungkin ada faktor lain juga. Makanya saya sarankan kalau Samran harus segera menikah. Supaya adik saya cepat dapat cucu. Jadi nanti ada hiburan di rumah. Supaya jadi pelipur lara juga, pasca meninggalnya Gara belum lama ini." Bude Pangestutik menjelaskan alasan - alasan kenapa ia sampai ikut campur terlalu jauh dalam mengatur perjodohan keponakannya. Mendengar cerita itu, banyak hal berputar dalam kepala Sora. Sebenernya Sora lebih salah fokus pada penjelasan terakhir Bude Pangestutik, sih. Tentang Samran yang ternyata, notabene bukan anak tunggal. Melainkan punya adik. Hanya saja adiknya sudah meninggal karena kecelakaan. Ketika berusia 20 tahun. Dan kejadian itu masih 1 tahun yang lalu. Kesedihan di keluarga Samran pasti masih sangat membekas. Karena hal itu, timbul rasa simpati yang begitu besar dalam hati Sora. "Karena Bu Pangestutik sudah menjelaskan tentang keluarga Samran. Saya kemudian akan menjelaskan tentang keluarga kami." Ayah meneruskan obrolan. "Saya seorang wiraswasta, Bu. Penghasilan saya tidak menentu dari percetakan. Kami juga membuka loket pembayaran listrik, BPJS, dan lain - lain. Istri saja seorang ibu rumah tangga. Anak - anak saya ada 4, dan Sora ini adalah yang pertama. Adik pertama Sora perempuan juga. Saat ini sudah bekerja di Mojokerto. Sora ini dulu sebenarnya juga sudah kerja. Di salah satu bank syariah di Kediri. Hanya saja karena ingin kuliah, jadi kerjanya berhenti dulu. Dua adik yang lain laki - laki, masih sekolah. Satunya SMA, yang bungsu masih SD." Ayah menjelaskan kondisi keluarga mereka apa adanya tapa ditutup - tutupi. Karena awal sebuah hubungan harus dimulai dari kejujuran. "Iya, Pak. Memangnya kenapa kok berhenti kerja untuk kuliah? Bukannya sudah bagus punya pekerjaan?" Bude Pangestutik bertanya. Ayah kembali yang menjawab. "Karena saat mendaftar, tidak ada kelar karyawan. Hanya ada kelas reguler. Dan dulu saat lulus SMA sebenarnya juga ingin kuliah, tapi belum ada biaya. Makanya kerja dulu cari biaya. Nanti setelah lulus insya Allah akan ada pekerjaan lain yang lebih baik." Bude Pangestutik mengangguk mengerti. "Kalau Mbak Sora, selain kuliah apa ada kegiatan lain?" Bude Pangestutik kembali melakukan interogasi. Astaga ... untung Sora ini sudah terbiasa berada dalam kondisi terhimpit. Jadi ia tidak terlalu gugup mengahadapi pertanyaan demi pertanyaan. "Ada, Bude. Saya suka menulis. Alhamdulillah sudah ada beberapa buku yang terbit." "Wah ... penulis to ternyata." Bude Pangestutik lagi - lagi mengangguk - angguk. "Keren juga ya, bisa, nulis. Nerbitinnya ke perusahan penerbitan mana, Mbak?" "Beda - beda, Bude. Ada yang indie, ada yang mayor. Yang indie ada di kota Depok dan Bogor. Sementara yang mayor di Jogja." "Bedanya indie sama mayor apa, ya?" "Bedanya, kalau penerbit indie, semua buku yang dikirim ke sana langsung diterima, dan terbit dalam waktu singkat, karena tidak melalui proses penerbitan yang detail. Tapi konsekuensinya, kita harus rajin menjual buku kita dan memiliki kemampuan penasaran yang baik. Penerbit membantu kita menjual buku sekadarnya saja. Kalau mayor, mereka membantu kita memasarkan buku secara luas. Dicetak banyak, dijual di toko buku off line dan online ke seluruh Indonesia. Tapi ada syaratnya, naskah yang lolos hanya yang mereka setujui saja. Proses revisi sangat detail, sehingga menjadi lama dan revisi berulang - ulang. Seperti itu." Bude Pangestutik mengangguk - angguk kembali. Sora menunggu apakah wanita itu masih akan bertanya lagi Atau tidak. Sebenarnya Sora juga bingung kenapa kok Bude Pangestutik terus bertanya secara detail seperti itu. Takutnya jangan - jangan Bude Pangestutik tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Hanya bicara basa - basi untuk mengorek Informasi dari Sora saja. Atau jangan - jangan Bude Pangestutik juga tertarik untuk menerbitkan buku. Pertemuan mereka sore itu dihentikan oleh lantunan adzan ashar di Masjid yang berada tepat di depan rumah Sora. Selepas adzan Athar, Sora hendak mengambil camilan lain dari dapur. Ketika hendak berdiri, terjadi sedikit insiden. Jadi Sora itu orangnya memang gampang sekali kesemutan. Nah, karena ia ingin sedikit pencitraan dengan gaya duduk lesehan yang paripurna, akibatnya ia mengabaikan kakinya yang sudah mulai kesemutan sejak tadi. Akibatnya Sora tidak bisa berdiri ketika hendak berdiri. Dan itu menjadi bahan tertawaan semua orang. Bahkan Samran juga ikut tertawa. Dan itu membuat Sora malu setengah mati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD