d**a Shifa sesak. Padahal, ia menghubungi Dara hanya ingin mencurahkan isi hatinya. Namun, lagi-lagi perempuan cerewet itu malah menceramahinya.
Kling!
Sebuah notifikasi pesan masuk, membuatnya mengangkat kepala.
Diambilnya kembali ponsel dengan rasa malas. Ia hanya melihat pesan masuk melalui bar notifikasi, tanpa ingin membuka.
Nama Dandy kembali terpampang pada layar. Dibacanya pesan yang telah masuk.
[Aman?]
Shifa membaca pesan itu dalam hati, matanya memejam sebentar. Jempol Shifa hampir saja ingin menuliskan sesuatu, tetapi diurungkannya ketika terdengar suara batuk serak dari suami yang berada dalam kamar pribadinya. Kepalanya bergerak menuju ruangan dalam rumah. Terdiam beberapa saat. Isi kepalanya penuh dengan kekacauan.
Shifa membuka aplikasi chat-nya, lalu menghapus pesan dari Dandy tanpa membuka. Dimatikannya kembali data ponsel. Lalu mengempaskan tubuh dengan tangis yang mulai meradang. Meski tentu saja sebisa mungkin ia menahan suara, agar tak didengar oleh suami dan anak-anaknya di dalam.
Ia menyelonjorkan tubuh sepenuhnya pada sofa, lalu meringkuk. Tubuhnya bergetar hebat seiring tangis yang tak bisa lagi ditahannya.
Ingatannya kembali pada kisah sepuluh bulan lalu.
Kala itu, suaminya yang seorang buruh pabrik tiba-tiba jatuh sakit. Badannya panas ketika pulang bekerja. Aditya menggigil kedinginan. Meski kepala dan tubuhnya sepanas kompor, tetapi telapak tangan dan kakinya begitu dingin dengan wajah pucat pasi.
“Kamu kecapekan mungkin, Mas.” Shifa berkata demikian ketika menyentuh dahi sang suami.
“Nggak tahu juga, Fa. Tapi beberapa hari kemarin, Mas memang kurang enak badan. Kalau tidur malam hari sering mendadak kedinginan. Terkadang malah kepanasan sampai muncul banyak keringat. Hawanya seperti nggak enak aja.”
Aditya berkata dengan napas tersengal, memegang dadanya.
“Istirahat saja, Mas. Akan kuambilkan paracetamol untukmu.”
Bergegas ia mengambil obat. Tak lupa air dan kain untuk mengompres. Membiarkan lelakinya itu beristirahat.
Beberapa hari setelahnya Aditya dilanda batuk yang membuatnya terganggu.
Sejak saat itu, Aditya izin tak masuk kerja. Ia pergi berobat untuk mencari kesembuhan. Namun, beberapa hari berlalu, rupanya tak ada perubahan. Obat yang diberikan dokter hanya mampu meredam panas beberapa waktu saja. Setelahnya, ia kembali mengigil.
Batuknya pun semakin parah, bahkan membuatnya harus memilih tidur di kamar sendiri agar tidak menularkannya kepada Shifa dan kedua anaknya.
Sebulan berlalu bobot tubuhnya berangsur turun drastis. Tak tanggung-tanggung 11 kilogram hilang, berganti menjadi tubuh kurus menonjol seperti menyisakan tulang dan kulit saja.
Shifa mulai kelimpungan, gaji dan tabungan Aditya sudah hampir habis untuk berobat dan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ia mulai putar otak dengan mencoba berjualan online. Namun, laba yang didapatkannya memang tak seberapa. Sementara penyakit Aditya bertambah parah.
Menggunakan sisa tabungan yang ada, Shifa bertekat memeriksakan penyakit Aditya dengan lebih detail. Seluruh cek kesehatan ingin dilakukannya untuk mengetahui penyakit sebenarnya.
“Nggak usah, Fa. Mas masih bisa tahan, kok. Mungkin, sebentar lagi bakal sembuh. Mending uangnya buat bayar sekolah anak-anak,” elak Aditya ketika lagi-lagi Shifa mengajaknya ke klinik yang lebih besar.
“Mas, kamu tahu nggak? Kamu itu egois loh.”
Mendengarkan kalimat yang dilontarkan Shifa, Aditya menautkan alis memandang tajam sang istri.
“Apa maksudmu,” ucapnya sembari meneguk segelas jahe hangat yang dibuatkan Shifa beberapa menit lalu.
“Kamu nggak mikir anak-anak? Nggak kasihan, nggak mikir aku juga? Ini udah hampir dua bulan, loh. Kamu harusnya berjuang untuk sembuh, demi kita semua. Aku bukannya nuntut nafkah dari kamu, Mas. Tapi harusnya kamu ngerti tanpa perlu menjelaskannya.”
Shifa menggeleng. Menarik napas panjang. Sedangkan lelakinya tampak masih berpikir ulang.
“Aku takut uang sisa yang kita punya tak bisa memenuhi kebutuhan kita jika harus untuk digunakan seperti itu. Semua hal medis itu mahal, aku nggak mau kalian dan terutama kamu kekurangan.”
Aditya memang begitu. Ia selalu abai terhadap kesehatan. Menurutnya, membeli obat di apotek sendiri lebih hemat dibandingkan dengan menemui dokter dan harus membayar beberapa kali lipat dari obat yang ditebusnya sendiri.
“Aku nggak mau ngurusin kamu, Mas. Jika kamu masih teguh dengan idealismemu sendiri. Aku udah capek mikir banyak. Cicilan kita, sekolah anak-anak, kebutuhan sehari-hari. Belum lagi mikir kamu yang makin hari bertambah parah seperti ini. Kamu keterlaluan!”
Shifa menggebrak meja yang di sana berdiri gelas berisi jahe hangat yang seketika bergoyang dan menumpahkan isinya.
Ia berdiri dengan kesal, hampir melangkahkan kaki. Akan tetapi, dicegah oleh Aditya dengan menarik pergelangan tangannya.
“Baiklah ....” Aditya terdiam menunggu Shifa membalikkan wajah.
Shifa menoleh perlahan dengan wajah yang masih begitu kesal.
“Aku mau.” Kalimat lanjutan Aditya membuat Shifa menarik napas panjang.
Tanpa lagi menunggu, Shifa membawa sang suami menuju klinik besar terdekat untuk memeriksakan semua kesehatannya.
Shifa menunggu di sebuah kursi panjang dengan gelisah. Matanya bergerak melirik setiap manusia yang wara-wiri di depannya. Beberapa kali pula bola matanya fokus pada pintu di sebelah kanan tempatnya duduk. Menunggu Aditya keluar dari sana.
Ia menggenggam tas selempang yang dikenakannya dengan erat. Harap-harap cemas. Apakah uangnya bakal cukup untuk membayar tagihannya nanti?
Hingga yang ditunggu pun keluar. Aditya mendekat pada Shifa dengan membawa secarik kertas, lalu menyodorkannya pada perempuannya itu. Ia duduk dengan susah payah, menstabilkan napas yang semakin sesak.
Mulut Shifa membuka karena kaget, nominal yang tertulis pada kertas ternyata lebih banyak dari dugaan.
Shifa menggeleng, berbisik pada Aditya.
“Nggak cukup, Mas.”
“Terus bagaimana?”
Keringat dingin membasahi kepala dan tangan Shifa. Otaknya tampak berputar dengan bola mata yang terus gelisah.
Hingga tanpa diduga, pandangannya berserobok dengan seseorang yang dikenalnya. Dandy, seorang kawan lama Shifa.
Pria itu mendekat, mengajak Shifa dan Aditya bersalaman. “Ini siapa yang sakit?” tanyanya dengan melirik sepasang suami istri di hadapannya itu.
Shifa melirikkan bola mata pada Aditya yang tersenyum pada Dandy dengan tatapan sayu dan wajah pucat.
“Owh, maaf. Semoga segera diberi kesembuhan, Bro.”
Aditya memang kenal dengan Dandy sebelumnya sebagai kawan nongkrong. Sedangkan dengan Shifa, keduanya saling mengenal sebagai teman sekolah.
Shifa menatap Dandy dengan senyum kecut. Pria itu mengernyit, seperti paham dengan mimik dan ekspresi yang ditunjukkan Shifa. Tampaknya ada yang sedang membuat keduanya kepikiran.
“Ini ada apa? Ada yang bisa kubantu, mungkin?” Dandy mengendikan kedua bahu.
Lagi-lagi Shifa menarik napas panjang. Sebenarnya ia malu untuk mengatakan, tetapi keadaannya begitu mendesak, dan mereka harus membayar tagihan itu agar bisa pulang. Sebab mereka meninggalkan kedua anaknya di rumah tanpa pengawasan.
“Mm ... begini ....” Aditya menarik tangan Shifa yang hendak berbicara, menggeleng padanya.
“Mas, kita sedang butuh. Dan ini darurat.”
Dandy hanya diam menatap dua manusia di hadapannya. Ia paham betul apa yang tengah meresahkan keduanya ketika melirik secarik kertas pada jemari Shifa. Apa lagi jika bukan uang.
“Tenanglah, akan kubantu. Tak usah sungkan, Bro. Bukankah kita teman? Sudah seharusnya seorang teman meringankan beban kawannya, bukan?”
Aditya lagi-lagi kalah, ia menunduk merasakan malu. Tak kuasa apa pun.
“Baiklah, hitung saja sebagai hutang. Akan kubayar nanti. Terima kasih sebelumnya.” Shifa semringah, tak lagi dengan senyum yang dipaksakan. Lebih tulus.
Pertikaian mulut singkatnya dengan Shifa membuat napas Aditya kembali sesak. Ia mengempaskan punggung pada sandaran kursi. Pasrah.