Waktu makan malam sudah lewat 1 jam yang lalu, kini Kiara berbaring di atas sofa ruang tamu di dalam ruangan yang terisi 2 buah kamar ini, mendongak menatap langit-langit. Menghela napas sebanyak yang ia mampu ketika mengingat jika makan malam tadi adalah salah satu hal mengerikan dalam hidupnya, mendapat tatapan aneh dari semua orang dan tidak bisa makan bersama Pricelia serta Jasmine yang duduk dengan satu orang lagi berlesung pipi di bangku pojok. Harusnya hari pertama Kiara di sini dilewati dengan canda tawa dan kegembiraaan serta saling mengenal antar satu sama lain. Ah setidaknya makan malam tadi Kiara bisa mengobrol dengan Pricelia dan Jasmine, pasti dua orang itu akan memperkenalkannya dengan teman-teman yang lain. Bukannya makan malam bersama Aditya itu yang malah membuat semua orang tampak enggan untuk sekedar menyapa nya. s****n sekali.
"Mandi sana." Suara dengan nada rendah terdengar keluar dari belah bibir lain, Kiara refleks duduk di atas sofa, mengedarkan pandangan untuk melihat Aditya yang berada di meja belajarnya di dalam kamar si pria itu –pintu kamar Aditya terbuka, jadi Kiara masih bisa melihat sosok nya yang sedang mengerjakan berbagai macam rumus dengan tumpukkan buku tebal sana sini. Membuat Kiara meringis, ah Aditya memang murid teladan ya.
"Kenapa diam saja? Kau tidak mendengar perkataanku?" Kiara kembali tersentak saat Aditya berbicara lagi, kali ini lebih rendah diiringi tatapan yang tetap tertuju pada buku dan pena yang menari lincah dalam genggaman.
Kiara meneguk ludah kasar, bangkit dari atas sofa untuk segera mengambil handuk yang tergantung, berjalan secepat yang ia bisa untuk menghindari suasana canggung yang tercipta. Kiara belum terbiasa, dengan Aditya yang super datar, dengan Aditya yang terkadang mampu membuatnya berdebar.
Aditya itu... seperti anomali yang tak bisa ia tebak.
Aditya itu terlalu kabur seperti kaca bening yang tertutupi uap hujan.
Aditya itu... pria pertama yang mampu membuatnya lebih penasaran. Tentang kehidupannya, tentang apa yang dipikirkannya.
Kiara ingin tau.. semua yang Aditya lamunkan, semua yang Aditya kehendaki.
Kiara ingin tau.. tapi ia selalu menepis perasaan lain yang tumbuh di hatinya.
Ah.. bukankah Kiara itu.. memang munafik?
.
.
Berguling gelisah di atas ranjang empuknya yang kini seprai nya telah kusut tak beraturan, mendengus dan berdecak banyak kali selama lebih dari 15 menit. Mengingat kembali tentang kejadian saat makan malam tadi. Gadis mungil yang duduk di barisan ketiga saat di ruang makan asrama, duduk berhadapan dengan Aditya yang selama ini tidak bisa diraihnya. Tapi, Kiara dengan penampilan kuno dan kedua kacamata yang bertengger di hidungnya itu mampu menarik Aditya untuk berada dekat dengannya. Kiara si parasit yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya, hinggap tanpa diminta untuk membuatnya merasakan kesal yang benar-benar memuncak.
Kiara yang membuatnya gatal untuk segera menghabisi gadis itu.
"Hey, cepat tidur, ini sudah malam" Orang yang semula masih memasang raut kesal dengan lamunan tentang Kiara itu segera menoleh ke asal suara. Memasang senyum pada sosok yang mematainya dengan dengusan aneh, lalu sosok itu menaiki ranjang dan mematikan lampu tidur. Berucap selamat tidur sebelum benar-benar terbang ke alam mimpi.
Sedangkan satu sosok lainnya, masih tersenyum, mematai punggung gadis yang baru saja terlelap. Berucap pelan, disela kedua matanya yang mulai ikut terpejam, melupakan sejenak tentang Kiara yang mampu membuatnya naik darah.
"Selamat malam, Kak"
.
.
.
Hari pertama Kiara untuk masuk sekolah pagi ini. Ia sangat bersemangat sekali, bangun pukul 5 subuh, mandi dengan siulan riang dan memakai baju seragamnya yang sudah terpasang sempurna, merapikan almamater yang terpasang di tubuh mungilnya dengan senyuman cerah seperti matahari. Kemudian tangannya mengambil kacamata yang terletak di atas nakas, memakainya dan kembali bercermin untuk memastikan bahwa semua nya sudah terlihat sempurna. Termasuk rambut hitam kepang duanya. Bagus, Kiara dengan segala penampilan kuno nya yang entah kenapa membuatnya nyaman.
Kiara baru saja akan memasang tas sandangnya, sebelum kedua matanya yang terlindungi kacamata melirik pada kamar disebrangnya, pintu itu masih tertutup rapat dan tidak ada pergerakkan apapun yang terdengar, Kiara yang takut kalau Aditya telat pun segera membuka pintu kamar pemuda itu untuk mendapati gumpalan daging berbalut selimut yang masih teronggok di atas ranjang, Kiara mendengus, mendekat beberapa langkah dan dengan ragu mulai menggerakkan tangan untuk menyentuh bahu pria tegap itu.
"A-Aditya, bangunlah." Kiara mengguncang tubuh pemuda yang kini mulai menggeliat dan mengerang tak suka, menepis tangan Kiara sebelum kembali menyamankan diri di bantalnya. Tapi, jangan sebut nama 'Kiara' jika ia menyerah begitu saja.
"A-Aditya, kau bisa telat jika tak bangun sekarang." Kiara berucap setengah sangsi, berniat meninggalkan pemuda itu dan pergi ke sekolah seperti tak ada beban. Namun Kiara yang sangat peduli pada orang lain itu, tentu saja tak tega.
"Aisshh!! berisik!!." Aditya menggerutu, menggaruk rambutnya yang berantakkan dengan mata yang masih tertutup rapat. Hal itu sontak membuat Kiara mendengus jengkel, kemudian ia memutuskan untuk segera pergi dan benar-benar akan meninggalkan pemuda tampan tapi pemalas ini sebelum dirinya yang terlambat.
"Kak...kak." Tapi Aditya yang tiba-tiba mengigau sembari semakin bergelung dalam selimut tebalnya membuat langkah Kiara yang hampir menuju pintu menjadi terhenti. Gadis itu sedikit tersentak, menoleh ke belakang dan tanpa sadar malah memutuskan untuk menghampiri Aditya kembali.
"A-Aditya, kau tak apa?" Tanya nya sedikit khawatir sembari mengguncang pelan bahu pemuda itu saat igauan nya semakin keras dan serak, nadanya begitu lirih yang mampu membuat Kiara menjadi terhenyak.
Lalu sebelah tangan Aditya tiba-tiba bertengger di atas pergelangan tangan Kiara, membuat si gadis manis menjadi terdiam sejenak, menatap Aditya dan genggaman pemuda itu di pergelangan tangannya secara bergantian. Berdesis mencoba untuk menyingkirkan tangan kekar itu. Tapi yang terjadi selanjutnya adalah Aditya yang menarik tangannya dengan kuat hingga Kiara sedikit menjerit dan berujung dengan tubuh mungilnya yang terjatuh tepat di atas Aditya yang masih terpejam.
Debaran itu menghampiri, Kiara menahan napas dalam gemetar tubuhnya yang semakin menjadi dan rona merah yang memenuhi pipinya. Beruntung, Aditya masih tertidur yang berarti Aditya tidak mengetahui jika Kiara telah membuat kesalahan dalam taruhan sepihak mereka.
Kiara tersadar, mencoba memberontak namun pelukkan itu semakin erat melingkari pinggangnya. Ia bahkan nyaris mengumpat di dalam hati sebelum sebuah sapuan hangat mendarat di lehernya, membuatnya meremang disela pemberontakkan yang mulai terhenti.
Terpaku, dengan bibir terbuka saat Aditya mengecup lehernya pelan.
"Kau wangi sekali, Kak Serena"
Ah, Serena? siapa itu?
Bukankah Aditya bilang dia benci perempuan ?! Tapi… kenapa ia terlihat begitu tulus saat menyebut nama ‘Serena’ itu?
KNOCK KNOCK
Ketukkan di pintu membuat Kiara segera tersadar, berniat bangkit untuk membukakan pintu, tapi ia langsung terperangah kembali dengan sebait ucapan yang Aditya bisikkan dengan nada rendah dalam igauannya yang super aneh.
" Kak Serena, sumpah, aku tidak berselingkuh. Dia… perempuan s****n itu yang sudah menciumku, Kak."
Sebenarnya... bagaimana kehidupan Aditya? Sebenarnya.. berapa banyak yang Kiara tidak ketahui tentang Aditya?
.
.
Pricelia dan Jasmine mengendikkan bahu setelah saling menatap pada pintu kayu di depan mereka yang tidak juga terbuka meski mereka sudah mengetuknya belasan kali. Akhirnya Pricelia dan Jasmine memilih untuk segera beranjak dari sana saat terpikir mungkin si pemilik kamar yang mereka cari –Kiara- sudah pergi duluan ke sekolah.
"Kak Pricelia." Jasmine tiba-tiba bersuara disela langkah mereka di lorong asrama yang terlihat sepi. Panggilannya dengan nada pelan itu mampu membuat Pricelia meliriknya, pandangan gadis berwajah lonjong itu tampak santai seperti biasa, tapi tidak dengan Jasmine yang kini menggigit bibirnya gugup.
"Apa sih, Jas." Pricelia tampak risih, selama ini ia dengan Jasmine selalu dipenuhi canda tawa dan saling mengganggu, tapi aura berbeda yang Jasmine bawa kali ini mampu membuat Pricelia bertanya-tanya.
"I-itu-" Jasmine menggaruk rambutnya dengan jari telunjuk, memandang ragu pada Pricelia yang mulai antusias menatapnya.
"Apa?"
"Hmm.. apa kau tidak berniat untuk mengatakan perasaanmu yang sejujurnya pada Kak Pratama?." Pricelia tercekat pada pertanyaan yang tak pernah ia kira akan keluar dari bibir Jasmine. Gadis ceria itu tiba-tiba menampakkan ekspresi kagetnya yang sangat kentara.
"K-kau.. apa maksudmu sih?" Tapi Pricelia yang selama ini mampu menutupi semua perasaan sedih nya dengan sikap ceria sepertinya tak berlaku hari ini. Meskipun ia tersenyum dan terkekeh pelan menanggapi pertanyaan Jasmine tadi. Namun sangat tampak, bahwa di mata gadis berwajah lonjong itu ada luka yang tertoreh di sana.
Saat mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah –Sekedar informasi, gedung asrama mereka terletak beberapa meter jaraknya dari gedung sekolah- Jasmine menahan lengan kurus Pricelia, membuat Pricelia tersentak dan langsung mengalihkan tatapan pada gadis yang lebih muda darinya itu. Senyum itu masih terpasang di bibir lucu Pricelia, tapi binar matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda. Ia tersenyum di luar, tapi...siapa tau kan di dalam?
"Kak, selama ini aku berpura-pura untuk tak tau karena aku selalu melihatmu tersenyum. Tapi saat makan malam kemarin dimana aku melihat tatapan penuh luka mu ketika Kak Pratama menelpon seseorang dengan senyuman dan suara lembutnya. Aku.. tau kalau kau tidak baik-baik saja, Kak."
Pricelia bersumpah jika ini adalah kali pertama ia melihat Jasmine yang selalu tampak bodoh dan jahil itu berubah menjadi seserius ini. Pandangan matanya yang seperti anak kecil, dalam sekejap berubah penuh intimidasi. Sontak Pricelia tak bisa memainkan perannya seperti biasa. Peran yang selalu ceria dan penuh senyum. Jasmine adalah sahabat dekatnya, yang tau seluk beluk tentang perasaannya, yang sangat mengerti tentang dirinya.
Pricelia tertunduk, menahan rasa panas yang menyambangi kedua netra nya, mengabaikan para siswa yang sudah mulai berdatangan masuk ke dalam gerbang, mengacuhkan cengkraman Jasmine yang semakin menguat pada lengannya.
"K-kau benar.. aku tidak baik-baik saja, Jasmine."
.
.
Kiara berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila sedari tadi meski ia sudah tidak berada di dekat Aditya lagi. Tadi pria datar itu sempat memeluknya dengan igauan yang benar-benar membuat Kiara bingung, awalnya ia yang ingin berontak lagi malah disambut dengkuran halus Aditya yang kembali terdengar teratur. Pria itu tertidur lagi seperti tidak terjadi apa-apa, meski Kiara nyaris merasa jantungnya akan lepas. Ah, beruntung setelah itu ia benar-benar bisa bebas dari kukungan Aditya.
DRRTT DRTT
Ponsel di dalam saku Kiara bergetar, menunjukkan nama seseorang yang menelpon di layar datar tersebut. Membuat Kiara mendengus sembari bibir terangkat membentuk senyum tipis.
"Halo, Kak?" Ucapnya masih dengan langkah kecil yang terlihat bersemangat.
'Apa kau baik-baik saja di sana, Kiara?' Suara itu bertanya dengan lembut, sedikit membuat Kiara merasa terenyuh dan bersalah. Ia menarik napas sebentar, lalu menghembuskannya untuk sekedar menenangkan diri.
"Yeah, aku baik, Kak. Tak usah mengkhawatirkanku. Dan aku di sini masuk ke sekolah elite dengan hasil kerja kerasku sendiri. Jadi aku tak apa meski aku tidak tinggal di rumah itu lagi" Kiara berujar yakin, tapi sebelah tangannya yang menggenggam ponsel malah sedikit mengerat, menampakkan urat-urat tangannya yang menonjol samar.
'Kiara, kau tak perlu memaksakan diri. Kami ingin kau kembali ke rumah secepatnya.' Ada nada lirih di sana yang membuat Kiara sedikit tersentuh. Selama ini ia memang paling lemah dengan kakak satu-satu nya itu. Karena menurut Kiara hanya dia lah orang yang mengerti dirinya.
"Tak apa, Kak. Lagipula-" Kiara semakin menggenggam erat ponselnya, langkah penuh semangatnya terhenti sebentar, pandangannya menajam ke satu arah, dimana ia melihat satu orang siswa berkulit pucat dengan penampilan berandalannya memasuki gerbang sekolah yang terbuka lebar, "-Aku sudah menemukan b******n tengik itu. Kau lihat saja, Kak. Aktingku sangat bagus di sini. Mungkin aku bisa menjadi aktris terkenal." Ujarnya santai, tapi nadanya berubah mengerikan.
Ah, aku ingatkan lagi... Kiara itu munafik kan?
'Kiara-'
"Ah, Kak, tolong bilang pada ayah meski aku ini adalah gadis berandalan yang tak tau diuntung-" Tangan Kiara terkepal erat, rasa sesak itu semakin menyambanginya, "-Aku tetap bisa bertahan hidup di sini. “
.
.
Semua barang-barang di kamar mandi ia sapu bersih dengan tangannya hingga jatuh dan berserakkan di atas lantai dengan bunyi yang cukup keras, raut penuh amarah terpampang nyata di wajahnya dengan teriakkan yang keluar mengejutkan, ia menjambak rambut hitamnya kuat-kuat, duduk menyandar di dinding kamar mandi dengan kedua lutut terangkat. Ia bermimpi buruk lagi, tentang ibu nya yang sudah meninggalkannya menyisakan rasa sakit hati yang tidak penrah bisa hilang, teringat tentang gadis pujaan yang juga meninggalkannya disaat ia sedang terpuruk –saat ia berpikir bahwa sebuah kebahagiaan sudah ia dapatkan kembali, teringat tentang hari s****n itu dimana sahabatnya sendiri mencium dan memfitnahnya di depan kekasih hati -sahabat yang kini sudah ia blacklist dari daftar hidupnya.
“s****n!!” Ia berteriak kuat-kuat, mata liar memandang ke segala arah hingga pandangan terpaku pada satu gunting yang terletak di wastafel. Seringaiannya muncul mengerikan, satu tangan dengan urat-urat kasar yang tercetak jelas segera mengambil gunting itu, memandangnya penuh obsesi sebelum meletakkan ujungnya di lengan atas, menggoreskan perlahan, menikmati sensasi yang merasuk, meresapi bagaimana rasa sakit mendominasi, membuatnya lupa tentang semua beban yang terpikul di pundak.
Goresan itu menjalar turun hingga kulitnya terbuka mengeluarkan darah yang pada akhirnya jatuh menetes ke lantai, ia tertawa keras sekali –sesekali menangis, lalu atensinya melirik sebotol obat yang berisi kapsul di dekat wastafel –ia mengambilnya dan kemudian mendengus keras.
“Aku tidak butuh benda s****n ini!!”
Aditya mengambil botol berisi obat-obatan itu dan kemudian membuangnya ke tempat sampah di sudut kamar mandi. Lalu ia menyeringai ketika darahnya tidak berhenti menetes, “Ah, melihat darah yang mengalir ini seperti melihat masalahku luruh dan hilang begitu saja.”
-TBC-