Danish mengusap lebamnya dengan ringisan, lalu bibirnya menampilkan senyum aneh penuh makna, ia menatap lamat-lamat pintu yang baru saja menelan sosok Aditya dan Kiara. Danish mendudukkan diri di ranjang, menyandarkan tubuh dengan kedua tangan sebagai penopang, kemudian bibir tergerak mengucapkan untaian kata, "Kiara Azellia.. kau itu.. sama bodohnya dengan kakakmu. Kau kira aku.. tidak tau tentang siapa kau sebenarnya ha?"
.
.
Kiara mendelik pada tangan Aditya yang menggenggamnya namun keangkuhan pria itu yang tetap bertahan setinggi langit. Sebenarnya Aditya mau membawanya kemana sih, ah Kiara jadi teringat dengan kacamata nya yang tertinggal di kamar mandi.
"A-Aditya." Pangilnya pelan. Aditya berhenti, menoleh pada Kiara dengan tampang datarnya yang mampu membuat Kiara menjadi jengkel diam-diam.
"Kacamataku tertinggal di toilet. Aku akan mengambilnya dulu." Saat Kiara mengucapkan itu, ia segera berjalan menjauh dari Aditya yang kini menyandarkan punggungnya di dinding, memperhatikan punggung sempit Kiara yang berbelok ke lorong dimana toilet berada.
Aditya termenung, tak peduli meski beberapa siswa perempuan menatapnya penuh minat. Aditya hanya memasang ekspresi datar yang tak bisa ditebak. Orang-orang pikir, Aditya hanya memikirkan tentang pelajaran atau cara apa untuk menghajar orang-orang yang membuatnya kesal hari ini. Namun, jauh di dalam benaknya, ia memikirkan tentang Kiara, siswi culun baru yang menjadi teman sekamarnya, tiba-tiba datang dengan tampang sok polosnya, dengan kemunafikkannya dan dengan gaya sok ramah yang membuat Aditya muak.
Tapi... ada satu hal dari Kiara yang membuat Aditya penasaran. Tentang betapa gadis itu berani menghampirinya saat ia bahkan sudah diusir secara tak hormat. Gadis itu berbeda... datang kembali ke kamar asrama, mengatakan jika ia tak akan melepaskan hak nya begitu saja.
Kiara itu... polos tapi penuh hal-hal menarik.
Kiara itu... munafik, tapi berbeda. Ia.. tidak mudah ditebak. Ia seperti mempunyai strategi sendiri dalam hidupnya.
"Aditya." Tapi, Panggilan yang tiba-tiba masuk ke dalam pendengarannya, panggilan yang sangat Aditya rindukan, menghampirinya begitu saja. Membuat Aditya menoleh, mendapati seorang gadis yang pernah menjadi orang terpenting dalam hidupnya, tentu saja hanya sebatas sahabat.
Tapi Aditya teringat dengan kelicikkan itu dan bagaimana si gadis menghancurkan hubungannya dengan sang kekasih. Aditya membuang muka, menggeram dalam hati dan berharap bel masuk berbunyi agar ia terbebas dari suasana canggung ini.
"Apa?" Tanyanya berusaha tampak tak minat, melirik ke sekitar yang sudah mulai sepi.
Si lawan bicara menampilkan senyum lirih, menunduk sebentar, menghirup napas dalam-dalam, lalu pandangannya kembali pada sosok Aditya yang tak meliriknya lagi.
"Aku hanya rindu saja.. Sudah berapa tahun ya kita tidak lagi saling menyapa? Bagaimana kabarmu? Kau…bisa mengendalikan emosimu dengan baik?"
.
.
.
.
.
.
Kiara bergabung dengan Pricelia dan Jasmine untuk melangkah bersama menuju gedung asrama, Kiara bersyukur dalam hati karena kira nya si Aditya menyebalkan itu sedang dipanggil ke ruang guru, yang artinya Kiara bisa terbebas dari orang datar itu.
"Hey, tadi saat istirahat Aditya menanyakan keberadaanmu. Tumben sekali dia begitu peduli pada seseorang." Pricelia merangkulnya, menunjukkan cengiran unik, sedang Jasmine tampak bermain game sambil menggerutu saat kata 'game over' terpampang di layar.
Kiara berjengit, seketika ingat kejadian tadi saat istirahat. Tentang Danish yang tiba-tiba menciumnya, tentang Aditya yang menolongnya dari Danish dan tentang kenapa semua ini bisa terjadi padanya bahkan saat ia baru sehari bersekolah. Ah, tentang pembullyan itu juga membuat Kiara pusing bukan main.
"Ah, benarkah?" Kiara pura-pura tertarik, menampakkan binar mata nya yang lucu dibalik kacamata berframe kuno, lalu tiba-tiba cubitan gemas menghampiri pipi chubby nya, membuat langkah terhenti untuk menoleh pada Jasmine yang sudah melupakan ponselnya dan beralih mencubit pipi tembemnya. Kiara mengaduh, memasang tampang cemberut yang membuat Pricelia terkekeh pelan, ikut-ikutan mencuri kesempatan mencubit pipi Kiara sebelum panggilan dengan suara bass yang seksi menghancurkan keributan itu.
" Pricelia, Jasmine!." Seorang pria jangkung menghampiri, menampakkan senyum lebar dan dimple di pipi nya. Tali tas nya disandang sebelah bahu dengan tangan yang lain berada di saku celana. Penampilan yang sempurna, mampu membuat Pricelia mematung dengan binar mata penuh kagum.
"Ah, Kak Pratama." Itu Jasmine, mengangkat tangan untuk berhigh five yang langsung dibalas oleh Pratama yang kini mulai mensejajarkan langkah dengan tiga orang lainnya.
Pricelia yang berusaha menetralkan detak jantungnya, Kiara yang memandang Pratama penasaran dan Jasmine yang masih menunjukkan cengiran kotaknya.
"Siapa dia?" Kedua mata Pratama tak sengaja beralih pada Kiara yang diapit oleh Jasmine dan Pricelia. Kiara tersenyum canggung, menggaruk lehernya kikuk dan memperbaiki kacamata nya yang hampir melorot.
"Ah, aku lupa memberitahumu, Kak. Ini Kiara, murid baru yang pernah aku dan Pricelia ceritakan itu lho." Jasmine menjawab, marangkul Kiara hingga tubuh mereka merapat tanpa jarak.
"Oh, Hai, Kiara. Aku Pratama, kelas 3-1." Pratama tersenyum, suaranya terdengar ramah yang membuat Kiara tersenyum lebar.
.
.
"Dah, Pricelia, Jasmine, Kak Pratama." Kiara melambaikan tangan saat dipersimpangan koridor, berpisah dari Jasmine, Pratama dan Pricelia yang arah kamar asramanya berbeda dengannya. Kiara melangkah cepat menuju kamarnya, sudah terbayang di dalam otak untuk membersihkan diri dan segera tidur. Ah, juga dia akan mengobati dulu lebamnya. Meski lebam Kiara tidak terlalu terlihat, tapi tetap saja itu sangat perih.
Kiara berbelok pada persimpangan terakhir, tapi langkahnya tiba-tiba melambat ketika melihat satu sosok yang bersandar di pintu kamarnya. Dengan lipatan tangan di d**a dan kaki tertekuk mengetuk lantai asrama yang licin. Kiara terdiam, kaku tiba-tiba, berniat berbalik untuk melarikan diri, tapi sosok itu memanggilnya dengan suara berat yang khas.
"Kiara Azellia."
Kiara tidak bergerak, tangannya terkepal begitu erat, pelipisnya berkerut samar dengan emosi yang terlihat. Kiara memberi sugesti di dalam hati untuk tidak lepas kendali dan memukul pria sok keren itu dengan dirinya yang berakhir membuat masalah baru. Jadi, Kiara hanya menatap langkah pria itu yang mulai mendekat.
"Bagaimana dengan lebam mu?" Tanya nya sok peduli, melupakan lebamnya sendiri yang bahkan lebih parah lagi.
"Sudah tidak sakit lagi. Lebih baik kau obati lebammu sendiri." Kiara memperbaiki kacamatanya yang melorot, memberikan senyum paksa pada sosok pucat yang berdecih pelan. Kiara hendak melangkah kembali sebelum pergelangan tangannya ditahan lebih dulu.
"Kiara, aku minta maaf soal tadi."
Kiara terkesiap, ia sedikit terbelalak, sangat kaget perihal Danish –sosok pucat- yang mau mengucapkan kata-kata maaf. Kiara menggeram dalam hati, harusnya kata maaf itu bukan ditujukan untuknya. Karena.. sebenarnya ada satu orang lagi yang paling tersakiti.
"Soal apa?" Kiara berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar emosi.
"Soal aku yang menciummu. Sungguh, aku hanya terbawa suasana saja tadi." Kalimat yang keluar tanpa beban, tidak seperti dibuat-buat. Tapi Kiara malah menarik ujung sudut bibirnya, meremehkan dalam hati tentang alasan klasik yang benar-benar membuat Kiara bertambah muak.
"Aku memaafkanmu." Kiara hendak marah, meluapkan emosinya. Tapi ia teringat jika ia bukanlah Kiara yang dulu, dia adalah Kiara yang terperangkap dalam sosok culun untuk mebalaskan dendamnya pada orang yang telah menyakiti kakak nya. Kiara membenci dia..Danish yang begitu naif, Danish yang tak pernah memikirkan perasaan orang. Danish yang benar-benar ingin Kiara hajar sampai babak belur.
"Benarkah?" Danish membalikkan tubuh Kiara, senyumnya merekah cerah. Terlihat manis dan tulus, tapi Kiara tak akan terjebak.
"Tentu saja." Kiara ikut menampilkan senyum, pipinya terangkat menggemaskan. Bibir merahnya berkedut lucu menentramkan hati.
"Terimakasih, Kiara." Danish beralih memeluk Kiara erat, menenggelamkan kepala di bahu si manis, meresapi aroma vanilla yang menguar. Diam-diam Kiara tersenyum, mengangkat kedua tangan untuk melingkar di punggung Danish. Tapi perlahan senyum polosnya berubah mengerikan, sudut bibirnya terangkat, menampilkan kurva penuh arti yang tak terbaca. Kedua matanya yang berbinar berubah menajam, memperhatikan bagaimana sosok Danish yang sudah jatuh di perangkapnya.
"Oh ya, panggil aku 'kakak' mulai sekarang, Kiara." Danish berujar, Kiara mengangguk cepat.
Tapi.. tanpa Kiara ketahui.. sekarang Danish juga tersenyum mengerikan. Smirk nya tercipta di sudut bibir yang sedikit robek.
Pelukkan mereka saling mengerat, tanpa disadari adalah bentuk emosi yang berusaha ditutupi. Mereka sama-sama tersenyum. Tapi, dalam artian yang berbeda.
Mereka... saling terjebak dalam perangkap yang sudah dibuat tanpa sadar.
.
.
Kiara yakin ia baru saja berbaring di atas kasur selama setengah jam setelah mengobati lebamnya, tapi perasaannya tiba-tiba tak enak, seperti ada aura hitam yang mengelilinginya dan tatapan menusuk yang tak beralih dari dirinya. Mau tak mau Kiara membuka mata, mengucekya sebentar sebelum mengambil kacamatanya yang tergeletak di nakas untuk memakainya secepat kilat. Mendudukkan diri di atas ranjang sebelum melirik pada satu titik dimana Aditya berdiri di sana dengan tangan berlipat di d**a –ah s**l, harusnya ia mengunci kamarnya- yang menatapnya tajam menusuk tepat di mata. Tanpa sadar membuat Kiara menelan ludah gugup. Kiara bersumpah jika dia adalah gadis berandalan juga dulunya, tapi aura Aditya memang benar-benar membuat Kiara merasa kalah telak dalam rasa intimidasi yang menggetarkan.
"A-Aditya, kenapa kau berdiri di sana?" Sebelah tangan Kiara semakin erat menggenggam seprai kasur saat langkah Aditya mendekat padanya, sepatu sekolahnya belum di lepas dan itu membuat Kiara dapat mendengar derap langkah yang membuat jantungnya semakin berdentum kencang. Aura Aditya berbeda, ia sepertinya terlihat marah.
"Aku kira kau akan berhenti untuk menjadi Kiara yang munafik." Aditya berucap tepat setelah langkahnya berhenti di samping ranjang Kiara. Ia menundukkan kepala, mensejajarkan tinggi dengan Kiara yang masih terduduk, sedikit beringsut memundurkan wajah ketika Aditya mendekatkan lagi kepalanya. Mematai Kiara dengan kedua netranya yang tajam seperti ujung pisau, membuat Kiara lemas dan merapalkan doa dalam hati agar ia tidak pingsan seperti seorang gadis penakut.
Sumpah, Kiara tidak takut kok. Iya serius, Kiara itu gadis pemberani. Percayalah kalau Kiara tidak mungkin-
"Aku yakin tidak ada orang yang masih mau berteman dengan seseorang yang bahkan menciumnya dan melecehkannya. Tapi apa yang barusan kau lakukan dengan Danish di luar kamar asrama dan mengatakan memaafkannya, lalu memeluknya, membuatku kembali berpikir jika kau itu terlalu munafik. Kau itu naif. Kau itu tersenyum, tapi sebenarnya kau sangat ingin marah pada si b******k m***m itu. Ah, aku hanya tak habis pikir saja."
-Oke, Kiara menarik kata-katanya, ia ketakutan sekarang saat Aditya duduk di ranjangnya, masih menampilkan wajah datar penuh tuntutan itu, tanpa sadar membuat Kiara tertunduk. Ah, kenapa dia selalu lemah dengan Aditya, sih?!
"A-aku.."
Ucapan Kiara terhenti saat sebuah tangan besar menyentuh lembut lebam di pipi nya –akibat tamparan dan pukulan dari bocah-bocah tengik itu-, menuai ringisan pelan dari si mungil yang mulai mengangkat kepala, mendapati Aditya yang memandang pada lebamnya.
"Hah, lupakan dulu masalah ini. Lebammu terlihat lebih mengkhawatirkan."
"Aku sudah mengobatinya." Kiara mencegah Aditya yang hendak berdiri. Aditya manggut-manggut, tapi kemudian tatapannya beralih pada sudut bibir Kiara yang sedikit robek.
"Tapi bibirmu terlihat parah." Aditya tanpa sadar mengusap sudut bibir merah merekah itu. Kiara seperti tersengat hingga menjalar ke punggungnya. Bibirnya bahkan nyaris bergetar, sentuhan pelan dari Aditya mampu membuat Kiara semakin tak bisa berpikir jernih. Kiara akui Aditya memang tampan untuk ukuran seorang pria SHS berwajah datar, tapi sumpah, Kiara berharap dia tidak akan pernah jatuh pada pesona Aditya yang mengerikan namun juga menakjubkan. Aditya itu... berbeda, banyak rahasia yang Kiara tidak ketahui. Membuatnya penasaran dengan sikap lembutnya dan sikap kasarnya.
Aditya berhenti menggerakkan tangannya yang tanpa sadar mengusap sudut bibir itu, tatapannya beralih pada bibir Kiara yang bewarna merah muda mengagumkan, sedikit membuat Aditya heran tentang kenapa ada bibir wanita seseksi ini. Aditya menatap lama bibir tebal itu, membuatnya perlahan mendekatkan wajah. Memfokuskan netra pada bibir si mungil.
Kiara panik, dia memundurkan kepala, jantungnya berdetak tak karuan. Ia pikir Aditya benar-benar akan menciumnya, tapi saat pemuda itu beralih berbisik di samping telinga. Saat itulah Kiara kembali dihempaskan pada kenyataan yang sebenarnya.
"Aku tidak mengharapkan wajah malu-malu atau merona mu. Aku harap.. kau tidak berspekulasi jika aku akan menciummu. Karena.. hal itu sungguh menjijikkan. Kau hanyalah seorang gadis dengan sifat-sifat pengkhianat dan menjijikan yang gadis diluar sana juga miliki. Aku benci perempuan!" Bisik Aditya rendah, tanpa sadar Aditya mengepalkan kedua tangannya. Jujur, ia sempat tergiur pada labium merah Kiara, tapi untunglah ia cepat tersadar. Aditya tekankan sekali lagi, ia tidak akan pernah sudi mencium gadis manapun –kecuali Serena-nya.
Ah.. sebenarnya siapa yang munafik di sini ? Kiara atau.. Aditya ?.
.
.
Kiara berusaha mentralkan detak jantungnya saat melihat Aditya yang sudah bangkit dan pergi ke kamar mandi. Ia berusaha mati-matian agar wajah malu-malunya tidak diketahui dan untunglah aktingnya benar-benar terlihat natural. Kiara bersyukur untuk itu sebab ia bisa mengendalikan emosi dan perasaannya.
DDRRT DDRRT
Getar ponsel membuat perhatian Kiara teralihkan, ia segera mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas, melihat sekejap pada nama kakaknya yang terpampang di sana. Perlahan senyum Kiara muncul, kali ini bukan senyum licik dan bukan pula senyum palsu. Kali ini adalah senyum asli Kiara yang terlihat begitu manis dan menggemaskan.
"Halo, Kak." Kiara berucap tepat setelah ia menggeser tombol hijau, lalu tak lama setelah itu terdengar jawaban dari ujung sana.
"Oh hai, Kiara."
"Ada apa, Kak?" Kiara segera beranjak dari posisi duduknya, beralih menuju dapur dimana satu kulkas kecil berada, lalu ia mengeluarkan soda yang ia beli sepulang sekolah bersama Pricelia dan Jasmine. Membuka pentup botol itu dengan sebelah tangan sebelum meminumnya beberapa tegukkan.
"Aku akan ke Jakarta bersama calon istriku besok”
UHUKK UHUKK
Kiara tersedak tepat saat tegukkan ketiga, bola matanya terbelalak lebar. Ia benar-benar kaget, karena ternyata ayahnya yang pengatur itu malah menjodohkan kakaknya dengan seorang wanita –ini pasti karena Kiara menolak keinginan ayahnya yang semula mau menjodohkan Kiara dengan salah satu anak laki-laki dari kolega bisnisnya, berakhir dengan Kiara yang menolak tegas perjodohan itu dan angkat kaki dari rumah, Kiara pikir ayah nya sedikit menyesal, membatalkan perjodohan dan kembali membujuknya untuk pulang. Tapi, Kiara tak menyangka bahwa kesialan yang harusnya ia dapatkan malah berpindah pada kakaknya yang sebenarnya tidak suka seorang wanita –ngomong-ngomong, hanya Kiara yang tau rahasia ini-. Pasti ini sangat berat untuk Adrian lewati.
"Kak, kau.. tidak harus menerima perjodohan itu." Kiara berujar lirih, setengah menahan emosi saat teringat sosok ayahnya. Tanpa sadar ia malah mencengkram botol soda dalam genggamannya dengan kuat.
Terdengar helaan napas disebrang sana, "Tak apa Kiara, asal kau bahagia dan tidak dibebankan dengan perjodohan itu. Maka aku akan siap menggantikanmu untuk menjadi anak yang akan ayah jodohkan dengan teman bisnisnya."
Kiara terenyuh, merasa bersalah pada kakaknya. Ia benar-benar adik yang menyusahkan, kakaknya selalu ingin membuatnya bahagia, namun Kiara sama sekali belum membalas semua jasa itu. Kiara ingat bagaimana dia dulu yang pembangkang, berandalan dan merupakan anak memalukan sebab selalu membuat masalah. Orang tuanya selalu menerima surat panggilan dari kepala sekolah sebab Kiara yang berkelahi ataupun menindas anak-anak kuper di sekolahnya. Kiara ingat bahwa Ayah nya yang sibuk dan malu karena mempunyai anak seperti dirinya tak pernah mau datang ke sekolah untuk menerima panggilan dari para guru. Hanya kakak nya yang datang, tanpa mau mendengar olokkan perihal adiknya dengan segala sifat memalukannya.
Kakak nya yang begitu baik, dan Kiara yang tak cukup baik untuk membalas semuanya.
Ah, tapi Kiara jadi tertarik saat mendengar nama yang disebutkan kakak nya itu.
"Serena?" Kiara bersuara, seperti mencoba mengingat dimana ia pernah mendengar nama itu.
"Serena?! Kenapa kau menyebut nama Kak Serena?!"
Dan Kiara tersentak saat mendengar suara cukup keras dari belakang tubuhnya.
-TBC-