Terungkap

1181 Words
Aldo meringis saat ditatap begitu, tapi tetap menjaga sopan santun. “Sorry ya kita telat.” Berbeda dengan Aldo, Rafa malah terlihat sangat santai tanpa rasa bersalah. Sudah merasa tidak aneh dengan prilaku ajaib kedua teman Alden ini. Mereka satu sekolah jadi Rafa tahu. “Sorry sorry, enteng banget lo minta maaf.” Dewa menukas sinis. Aldo menggaruk keningnya bingung, merasa serba salah. Cowok itu menyodorkan tangannya.“Gue Aldo.” “Kita tahu.” Serentak mereka. Aldo seketika menurunkan tangannya. “Sep kok bisa sih lo temenan sama dua curut ini?” Itu suara Rafa, yang dapat dengan cepat dibalas oleh Dewa. “Yee. Seharusnya gue yang nanya kitu, kenapa Septian sama Alden bisa-bisanya temenan sama manusia unfaedah kaya kalian?” “Unfaedah apanya? Kalian tuh yang unfaedah.” Rafa menyorot Dewa dengan tajam. Aldo yang tidak paham dengan situasi, bertanya canggung. “Kalian tau gue?” “Tahu lah. Lo kan orang anak SMA sebelah, yang doyannya pacarin anak cewek SMA gue.” Dio menjawab sewot. Setelah sekian lama bosan mendengar tentang Aldo dari teman cewek sekelas, akhirnya Dio bisa bertatap muka dengan Aldo yang diam-diam Dio jadikan musuh abadinya. Aldo terkenal dengan keplayboyannya dan Dio tidak suka karena nama Aldo justru lebih terkenal dari pada namanya. Aldo perusak famor playboy Dio. Aldo akhirnya sedikit paham. “Oh jadi lo sirik sama gue.” Tudingnya. “Najis, gantengan gue kemana-mana.” “Iya gantengan Dio.” Dewa mendukung Dio. Biasanya Dewa akan berkoar bahwa dirinya lebih ganteng dari Dio, tapi kali ini tidak, Dewa akan mendukung Dio. Rafa mendesis malas. “Gue kira temen yang lo maksud bukan dua curut ini Sep.” “Dan gue kira tamu yang dari tadi gue tunggu ini bukan manusia remehan wafer kayak kalian ini.” Dewa kembali membalas. Aldo melotot. Apa Dewa bilang, remehan wafer? “Wah lo ngajak berantem?” Aldo mulai tersulut. “Siapa takut?! Sep telpon Alden biar dia hajar manusia gak berguna kayak mereka.” Dewa berseru semangat kepada Septian yang dari tadi hanya menonton mereka. Rafa menyemburkan tawanya, sedangkan Aldo menatap Dewa geli. Lainnya hal dengan Dio, cowok itu menatap Dewa seolah-olah ingin memakannya habis-habisan. Tingkah pengecut Dewa memang sering membuatnya naik darah. “Panjang umur, tuh Alden.” Seru Rafa menunjuk Alden , yang berada disebrang cafe. Entah sedang apa Alden disana, karena cowok itu telah kembali memakai helmnya, siap untuk pergi. Dio menatap Dewa takjub. “Itu tandanya tuhan lebih sayang sama kita, dari pada sama manusia laknat kayak mereka.” “Ini bocah mulutnya perlu gue jahit kayaknya.” Aldo menatap berang Dio. Tiba-tiba Septian berdiri, cowok itu mengeluarkan sejumlah uang dari dompet Alden yang dirasa cukup untuk traktiran mereka.“Tunggu disini gue samperin Alden dulu. Gawat, dia gak bawa duit. Dompetnya ada di kita.” Jelas Septian. “Ya biarin aja sep.” Dio yang pertama kali protes, diikuti oleh Dewa. “Jangan di kasih, duitnya gue habisin dulu.” “Bacot lo.” Septian menonyor kepala Dewa sebelum berlalu. Setelah sampai diluar cafe, ternyata Alden sudah melajukan motornya “ALDEN TUNGGUIN WOY.” Percuma Alden sudah melaju jauh dari pandangannya. “Yah gue harus susul dong kalo gini. Males juga nanti kalo harus kerumahnya.” Septian berbicara sendiri, buru-buru ia mencari motornya supaya tidak tertinggal jauh dan kehilangan jejak Alden. Septian melajukan motornya dengan kecepatan penuh, lama dia mengikuti Alden tapi akhirnya Septian yang kesel sendiri karena Alden tidak berhenti-berhenti. Beberapa u*****n keluar dari mulut Septian, Alden membawanya terlalu jauh. Sekarang saja sudah hampir setengah jam Septian mengikuti Alden ditambah Septian sulit mengimbangi kecepatan motor Alden yang diatas kecepatan rata-rata itu. Alden membuatnya seperti akan mati diusia muda dengan kecepatannya, meskipun wajar karena nyatanya Alden adalah seorang pembalap handal dijalanan. Oke, Septian akui hal yang satu ini, Septian kewalahan mengejarnya. Tapi untung setelah mendumel panjang lebar memaki Alden, akhirnya Alden memberhentikan motornya disisi jalan dekat warung yang bisa Septian bilang bahwa warung itu adalah markas para preman, ya karena diwarung itu terdapat banyak preman. Tapi Septian dibuat kaget karena Alden malah menyapa para preman itu dengan ramah dan bisa Septian lihat bahwa mereka bukan sebatas kenal tapi terlihat sangat dekat. Ada apa ini? Pikirnya bingung. Alden kembali berjalan dan mengarah ke arah bangunan besar yang sudah terlihat tua, Septian mengerit bingung ketika Alden masuk kedalamnya. Dan Septian berdoa dalam hati semoga apa yang dicurigainya tidak benar-benar terjadi dan nyata. Septian memarkirkan motornya cukup jauh dari motor Alden dan kembali menyusul Alden masuk kedalam bangunan tua itu. Setelah hampir tersasar dibangunan tua itu, akhirnya Septian bisa bernapas lega ketika mendengar suara-suara riuh yang dapat didengar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Septian berjalan perlahan entah mengapa tiba-tiba septian merasa gugup, bahkan tangannya mulai berkeringat dingin. Septian membuka pintu yang terlihat sudah rapuh itu, dan Septian benar-benar dikejutkan ketika ia mendapati berpuluh-puluh orang sedang bersorak ramai. Rupanya dari sanalah suara yang tadi Septian dengar. Lalu entah kenapa tiba-tiba Septian tidak mempercayai keadaan ini. Septian tidak salah lihat. Septian tidak salah mengenali wajah. Septian juga tidak salah mengenali suasana. Hatinya terasa perih ketika didapatinya sang sahabat yang ternyata menjadi salah-satu dalang pemicu datangnya sorak-sorakan itu. Jelas rasa kecewa itu ada. Septian merasa tidak dianggap untuk sekedar menjadi tempat berbagi cerita. Telinganya juga tidak tuli untuk sekedar mendengarkan percakapan disekitarnya meskipun matanya agak terganggu karena pencahayaan yang minim karena semua lampu hanya tersorot ketengah-tengah kearah sang sahabat dan ke arah seseorang bertubuh kekar disana. “Dia anak baru disini.” Septian dikejutkan oleh suara seseorang, ketika menengok Septian dapat melihat seorang laki-laki yang ia kira usia agak lebih tua darinya beberapa tahun. “Siapa?” Seru Septian. “Lo liatin dia dari tadi. Gue kira lo penasaran sama dia?” Septian yang datang tiba-tiba tentu sedikit menjadi perhatian, hingga laki-laki itu datang menghampiri Septian. “Hah? Ah iya.” Septian tersenyum canggung setelahnya. “Dia Alden anak baru-baru ini yang ngikut beginian. Dia masih bocah tapi anehnya dia selalu menang.” Lelaki itu menjelaskan, dimatanya juga terdapat binar kesenangan, terbukti bahwa dia mengagumi Alden. Septian kembali menatap Alden. Baku hantam kembali terjadi, tapi dengan lewes Alden dapat menghindarinya dan membalas serangan laki-laki itu tidak kalah buas. Laki-laki yang berada disamping Septian menyeringai “Aneh. Baru-baru ini kayaknya banyak banget anak sekolah yang datang ketempat beginian. Padahal kalau dilihat-lihat mereka kelihatan tajir tapi masih aja nyari duit.” Laki-laki itu menggeleng prihatin ”Padahal kegiatan ini dilarang buat anak seusia dia.” Lelaki itu tertawa setelahnya. Septian tertawa, setelah laki-laki itu maju lebih dekat ke arah pertarungan Alden dan meninggalkan dirinya sendiri di dekat pintu masuk. “Jadi ini urusan yang lo maksud Den. Hebat Den! Lo bikin gue tersesat dan bingung disaat yang bersamaan sama jalan pikiran lo.” Setelah puas melihat pemandangan didepan matanya Septian mundur dengan teratur. “Tenang bro gue bakalan pura-pura gak tau tentang semua ini. Biar aja tetep jadi rahasia lo.” Septian terkekeh kembali. “Sumpah Den lo bener-bener sahabat paling b*****t yang pernah gue punya.” Septian mulai menjauh dari tempat itu dan kemudian berjalan menuju kearah parkiran dimana motornya berada. Sesaat Septian memandang motor Alden, dan dengan bringas ditendangnya motor Alden hingga terjatuh ke jalanan. Napasnya terengah. “b******k! Lo anggap gue apa Den?! Bisa-bisanya lo rahasiain ini dari gue, sahabat macem apa lo.” Tapi sebagaimana Septian merasa kecewa, tetap saja dimata Septian, Alden adalah sosok yang begitu hebat. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD