07. Tentang Siluet

1840 Words
Asap bacon menguar dari mulut Amorette. Manik birunya membulat sempurna. Bertepatan dengan itu, ia berhenti mengunyah. Cepat-cepat Amorette merampas segelas mineral di atas meja, menelan kunyahan, kemudian meneguk air sampai tak bersisa. Lidahnya terasa kelu mengingat betapa panas daging babi asap tersebut. Bodohnya, ia lupa karena teralih akan suatu hal. “Hei, jangan gegabah.” Reeval berpangku dagu kala ia memandang tenang gadis di seberangnya. “Kau ini masih sama saja seperti dulu.” Ia mengucapkan kalimat tersebut dengan begitu enteng, bertolak belakang dengan Amorette. Gadis bernetra biru itu bisa merasakan urat malunya pindah ke perut, terasa begitu menggelitiknya. Rasa panas menjalar naik ke pipi. Reeval tidak tahu saja, Amorette begini karena pria itu terus-terusan mengamatinya. Terus terang, Amorette dibuat gugup dan jengah. Sikap gegabahnya bukan ia sama sekali. Ketimbang bacon yang rasanya begitu sedap, Reeval sepertinya lebih tertarik dengan paras sang adik yang sudah lama tidak ia temui. Rentang tangan pria itu mengisyaratkan Amorette untuk kembali berkutat dengan kegiatannya. “Lanjutkan makanmu. Pelan-pelan saja,” ujarnya. Amorette terbatuk singkat. Ia mengangguk terpatah-patah begitu netranya bertumbukan dengan milik Reeval. Bacon di dalam piring pria itu sepertinya telah habis, meninggalkan pisau dan garpu yang sengaja diletakkan bersampingan. Amorette tidak heran mengapa peletakan alat makannya begitu rapi. Sudah pasti karena Reeval merupakan seorang darah biru. Etika makan sangat diper—eh? Guratnya berubah bingung. Tahu dari mana Amorette soal etika makan? Ia tidak pernah mempelajarinya selama ini. “Ada apa lagi, Cav?” tanya Reeval, melihat sang adik belum menyentuh baconnya kembali. Amorette tersentak sebentar, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa, Kak,” balasnya. Ia memerlukan lima menit untuk memakan habis kudapannya. Begitu piringnya sudah kosong, Amorette tanpa sadar melakukan hal serupa dengan Reeval. Ia meletakkan pisau dan garpu bersampingan di atas piring. Lupakan soal etika makan, Amorette menduga ini hanya kebetulan. Ia memang terbiasa melakukan ini selama di Desa Silkvale, bukan karena ia seorang bangsawan, si Putri Aeradale. Amorette mendongak takut-takut. “Sudah habis, Kak Reeve,” gumamnya. Kening Reeval mengerut antara tidak suka dan tidak terbiasa. “Cukup panggil aku Reeve. Sudah berapa kali aku memintamu dengan sebutan itu?” tanya pria itu, saking dinginnya membuat tengkuk Amorette merinding. Amorette meringis pelan. Yang benar saja, permasalahan remeh begitu dibesar-besarkan oleh Raja Aeradale? Ia sama sekali tidak habis pikir. “Maaf, Ka—Reeve,” balas gadis itu, pada akhirnya. Mengabaikan ucapan Amorette, perawakan tinggi Reeval telah beranjak dari kursi. Ia lantas memutari meja besar untuk menjamah Amorette, menangkap pergelangan tangannya dengan lembut. “Kau akan terbiasa, Cav,” lirihnya, kemudian ia mengajak sang adik untuk bangkit dari kursinya. “Aku akan menceritakan semuanya di ruang kerjaku.” Dan kuharap setelah ini, kau akan kembali bersamaku, Arcaviel. Amorette sempat dibuat terlena oleh sorot teduh Reeval. Pria itu sepertinya sangat merindukan Arcaviel. Jika sudah begini, Amorette takut ia akan berakhir mengecewakan Reeval lantaran pria itu keliru mengidentifikasinya sebagai Putri Aeradale. Amorette menghela napas. Bimbang menguasai benaknya. Ia tidak ingin berpura-pura menjadi Arcaviel. Ia hanya ingin kembali ke keluarga kecilnya—bersama Pierce, tentu saja. “Kau melamun lagi.” Usapan lembut di ruas-ruas jemari Amorette menyentak kesadarannya. Amorette cepat-cepat mendongak, semata-mata mendapati manik hitam jelaga Reeval yang sarat akan kerinduan. Tanpa sadar, Amorette mengulaskan senyum tipis. Mana bisa ia mengecewakan pria itu. Entah mengapa, ada secuil gugahan dalam hati kecil Amorette yang memintanya untuk percaya. “Ayo,” balas Amorette, mulai mengekor Reeval dari belakang tanpa melepaskan pegangan mereka. Begitu keluar dari ruang makan, mereka mendapati Marcus sedang bersandar di dinding, sibuk membersihkan busurnya dengan kain. Melihat tuannya datang, buru-buru ia menegakkan tubuhnya dan menaruh busur di bawah kaki. Reeval melirik kesatria itu sekilas, kemudian meneruskan langkah tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Amorette sendiri melemparkan senyum kala tatapan mereka bertemu. Ck. Reeval menggulirkan netra hitamnya di depan. “Ah ya, Deulake.” Pria itu tidak lagi memunggungi kesatrianya. “Setelah urusanku dengan Arcaviel selesai, datang kepadaku. Kita perlu membicarakan sesuatu.” Tanpa bertanya lebih jauh—tidak seperti sang Raja Aeradale akan meresponsnya, kesatria itu berbicara dalam nada asertif, “Baik, Yang Mulia.” Reeval mengangguk singkat. Ia berbalik memunggungi kesatrianya lagi, baru meneruskan langkah. Amorette segera mengekor Reeval, menoleh sedikit ke balik pundak. Ia cukup terkejut saat melihat Marcus masih dalam posisi setengah bungkuk, padahal Reeval telah jauh di depan kesatria itu. Abdi luar biasa dari Kesatria Deulake mau tidak mau menyentak Amorette. Ia seketika ingat dengan siapa dirinya saat ini. Derap alas kaki Amorette dan Reeval saling bersinggungan kala keduanya melintasi lorong kastel. Ada suara alat masak sekaligus aroma sedap dari balik dinding. Beberapa lubang ventilasi terpasang di sisi kiri. Menilik dari suara desing dan harum bumbu masak, sudah pasti ruangan di balik dinding kiri mereka adalah dapur. Tidak sampai lima menit, Amorette dan Reeval tiba di pertengahan lorong—di mana terdapat tangga spiral marmer menuju lantai dua yang sama seperti kemarin. Hanya saja, Amorette berdiri di sisi berlainan. Artinya, bila Amorette tetap meneruskan langkah lurus ke depan, tidak berbelok ke undakan, ia akan bertemu dengan pintu kastel dan jajaran lukisan beraliran gotik. Reeval menuntun Amorette menaiki undakan. Ia baru sadar sedari tadi mereka masih berpegangan tangan. Amorette lekas menepis halus jemari Reeval darinya, berpura-pura ingin memegang pembatas kiri tangga. Dapat ia rasakan pria itu sempat meliriknya, hanya sepintas lalu, sebelum akhirnya beralih muka ke depan. Reeval menaiki satu per satu undakan dengan tegap dan tanggap, mendahului Amorette sekitar dua atau tiga anak tangga. Begitu sampai di undakan teratas, netra biru Amorette lagi-lagi disuguhi dengan lukisannya. “Reeve, apakah itu aku?” tanya Amorette, mengubah cara bicaranya menjadi lebih tidak formal—rupanya tidak sesulit yang ia kira. Lidahnya seperti terbiasa. Langkah Reeval terhenti. Amorette hampir menubrukkan diri ke punggung tegap Reeval apabila ia tidak cepat-cepat berhenti. Pria itu menolehkan kepala. Seukir senyum tipis terulas di bibirnya. “Ya, itu kau,” balas Reeval, mengangkat telapak tangan dan mengacak surai cokelat pirang Amorette. “Apa kau mulai percaya?” Amorette membasahi bibir ranumnya sesaat. “Entahlah, aku hanya seperti melihat diriku di dalam lukisan itu.” “Tentu saja, Cav.” “Seingatku, aku tidak pernah memotong suraiku sependek itu.” “Karena itu hanya gambaran kasar.” Reeval menangkap jemari Amorette, kali ini ia tidak akan membiarkan sang adik melepasnya lagi. “Insiden itu membuat semua orang melupakan wajahmu.” “Insiden itu?” Amorette menatap bingung profil kanan Reeval selagi mereka meneruskan langkah. “Reeve sendiri, apa kau mengingatku?” Di luar dugaan, Reeval menyentak punggung Amorette ke dinding lorong. Tidak kasar, namun cukup membuat Amorette terlonjak. Netra hitam Reeval mengilat kewalahan. Ia meremas lembut lengan Amorette selagi tangan satunya menopang dinding di samping kepala gadis bersurai cokelat pirang itu. Amorette tersekat. Ia dapat merasakan embusan napas mint maskulin dari pria itu, terendus harum dan menenangkan. “Menurutmu?” Reeval tertawa masam. “Aku selalu ingat semua tentangmu—bahkan saat b******n itu ….” Urat biru muncul dari kepalan tangan Reeval yang menopang dinding. Pria bergelar Raja tersebut mengatupkan bibir. Ia mendesah kasar, menarik diri dari Amorette. Reeval memutuskan untuk meneruskan langkah tanpa berkata apa-apa lagi, sedangkan Amorette masih mengatur debar jantungnya. Sikap Raja Aeradale tadi mengejutkan gadis itu bukan main. Sial, ia jadi sedikit takut. Reeval bisa merasakan kerisauan Amorette atas tindakan gegabahnya. Pria itu menyapu kasar wajahnya dengan kedua telapak tangan. Arcaviel saat ini masih menganggapmu sebagai orang asing, berengsek. Berhenti bersikap tidak wajar jika kau tidak mau ia meninggalkanmu lagi! gertak Reeval terhadap egonya sendiri. “Masuk,” Reeval berujar datar begitu mereka tiba di depan sebuah pintu. Amorette melirik ruang kamarnya di kiri belakang paling sudut. Ruang kerja Reeval rupanya terletak bersampingan dengan ruang kamar Raja Aeradale dan berdekatan dengan ruang kamar Putri Aeradale. Reeval sengaja menjadikan ruangan di samping kamarnya sebagai ruang kerja. Selain ia tidak perlu naik dan turun, atau pergi ke paviliun lain, ia juga sering kali memeriksa kamar Arcaviel. Kedengaran mustahil, memang, namun Reeval senantiasa mengharapkan adiknya akan menampakkan batang hidung di sana. Atmosfer sejuk menampar halus kulit tubuh Amorette, terasa begitu menenangkan. Kesan pertamanya tentang ruang kerja Raja Aeradale cukup baik. Seluruh interior tersusun dengan rapi. Sofa putih gading tiga dudukan terletak di sisi kanan pintu ruangan. Di seberang, ada sebuah meja kerja yang cukup besar, berisikan berkas-berkas yang sengaja dibuat tumpang tindih untuk mengurangi area meja yang terpakai. “Duduklah.” Punggung tegap Reeval memenuhi atensinya kembali. Pria itu sudah mendahuluinya, menujukan langkah kepada kursi meja kerja depan sana. Amorette menurut. Ia hampir menarik kursi meja kerja lain—yang posisinya dibatasi oleh meja—ketika Reeval menangkap tangan kirinya. Melalui isyarat netra, Raja Aeradale tampaknya meminta Amorette untuk duduk pada kursi seberangnya. Skeptis, Amorette tetap menduduki kursi khusus seorang Raja, sementara Reeval sibuk berkutat dengan dua tirai putih gading. Ia mengikatnya satu-satu agar sinar mentari menyergap masuk ke dalam ruang kerja. Jam berapa ini? Amorette spontan memicing. Ia beralih muka dari jendela sambil mengusap sepasang netranya, tetapi tidak lama, terik mentari seperti tertutup oleh sesuatu. Pundak Reeval. Amorette memosisikan tubuh dengan menyamping agar dapat bersemuka dengan pria itu. Sarat serius mendominasi netra hitam Reeval. Mau tidak mau, Amorette meneguk liur dengan gugup. Reeval menginspeksi dirinya cukup lama. Hal ini membuatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya tebersit dalam benak Raja Aeradale itu. “Ingin kumulai dari mana?” tanya Reeval, membelah senyap. Pertanyaan itu membuatnya terlonjak singkat. Amorette segera menopang kedua siku pada pegangan kursi dan menegakkan punggung di sandaran. Ia terlihat linglung dalam beberapa saat. Amorette sendiri tidak tahu mana yang harus ia ketahui terlebih dahulu. Tentang Pierce atau tentangnya—Putri Aeradale. Secara tanpa sadar, helaan napas lolos dari bibir Amorette. “A-Aku rasa,” setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memberanikan diri untuk bersuara, “tentang siluet itu lebih dulu.” “Kenapa kau ingin tahu?” tanyanya, kentara enggan membahasnya. “Pierce—sepupuku—aku mencemaskannya.” Amorette menunduk lesu. “Ia sempat menolongku, Reeve, dari siluet itu. Akulah alasan mengapa Pierce diculik.” Benarkah? Reeval membatin bingung. “Bagaimana caramu kemari?” tanyanya, mengundang sorot penasaran dari Amorette. “Hm … kunang-kunang?” Jawaban Amorette sendiri kedengaran skeptis. Lipatan di permukaan kening Reeval semakin dalam, namun ia teringat lagi dengan tujuannya saat ini. “Baiklah. Mungkin aku akan menjabarkan secara singkat tentang siluet itu—dan kaitannya dengan penculikan sepupumu,” tutur Reeval, suaranya lirih begitu ia menyebutkan ‘sepupu’ di akhir kata. Pundak Amorette menegak. Ia menanti penjabaran Reeval dengan sepasang netra mengilat antusias. “Yang kutahu, para siluet biasanya akan menculik seseorang atas perintah dari sebuah sindikat ilegal. Sudah bukan rahasia umum lagi bila mereka gencar melakukan kejahatan genosida.” “G-Genosida—pembunuhan besar-besaran?” paras Amorette dibuat pucat pasi ketika mendengarnya, “I-Itu bukankah berarti ….” … Pierce akan dibunuh? Amorette tanpa sadar menggeleng keras. Ia bisa merasakan nyeri dalam ulu hatinya jika itu benar. “Akan ada dua kemungkinan terburuk, Cav. Mereka bisa saja menjadikannya sebagai pion—bila itu memungkinkan—atau justru membunuhnya.” Reeval menampakkan raut prihatin, mengusap halus pipi Amorette dengan ruas-ruas jemari kukuhnya. “Namun, kau harus tenang. Aku menjanjikanmu keselamatan sepupumu..” Asal kau tetap bersamaku, Arcaviel.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD