26. Jangan Pernah Berhenti

1948 Words
Lucu sekali ia perlu mengitari kastelnya diam-diam begini. Helaan napas lolos dari bibir ranum Arcaviel begitu ia mengintip dari dalam istal. Langit mulai berubah jingga, mengindikasikan senja akan tiba dalam beberapa menit lagi. Awan putih bersih bergumul di atas sana bagai kapas, menghias angkasa yang semestinya kosong-melompong. Arcaviel bisa saja menikmati keindahan itu, duduk leha-leha di pelataran. Akan tetapi, niatnya sekarang bukan untuk begitu. Ia perlu mencari ruangan khusus, di mana semua properti vital kerajaan tersimpan di sana. Mirisnya, Arcaviel sudah berselindung di setiap jengkal kastel utama dan tidak menemukan apa-apa. Bahkan, ia hampir tertangkap basah oleh beberapa kesatria yang kebetulan tengah berkumpul dalam satu ruangan sambil minum-minum. Jika saja ia tidak tanggap, mungkin kesatria-kesatria itu akan melaporkan sikap Arcaviel yang mencurigakan kepada rajanya. “Putri? Anda sedang apa di sini?” Langit senja, entah sejak kapan, sudah menghilang dan tergantikan oleh siluet seorang pria paruh baya. Arcaviel spontan beringsut mundur begitu ia asyik mengintip ke luar istal. Sebetulnya ia lebih terbawa suasana, karena detik itu juga, Arcaviel meratapi kebodohannya sendiri. Pasalnya, untuk apa juga sang Putri perlu berselindung ke balik istal? Itu justru membuat presensinya mencurigakan. Ia semata-mata ingin memindai apabila ada semacam lokasi tersembunyi—seperti ruang bawah tanah, mungkin, di pelataran kastel. Berusaha agar gelagatnya tidak terdeteksi mencurigakan, ia bergegas menjamah kepala Hugen di belakang. Ringkik bahagia kemudian terdengar ketika jemari lentiknya mengusap surai putih lebat itu dengan gemas. “Ah, Tuan Taylan, selamat sore. Saya hanya ingin mengunjungi Hugen, sudah lama tidak mampir kemari,” jawab Arcaviel, mengulaskan senyum semanis mungkin. Battista Taylan, si penjaga istal, tertawa sebentar. “Ikatan Anda dengan Hugen benar-benar erat, Putri,” ucapnya. “Tidakkah Anda ingin mengitari kastel bersamanya?” “Sepertinya tidak dulu, Tuan.” Arcaviel menolak halus, melongok ke arah kuda peliharaan kerajaan itu dan melemparkan sorot teduh. “Saya masih memiliki urusan lain.” Jeda sejenak, Arcaviel menoleh lagi menuju si penjaga istal sembari membatin semoga-ini-pilihan-tepat. “Tuan Taylan, apakah Anda tahu tentang ruangan khusus kerajaan?” “Ruangan khusus?” Battista menggulirkan netra ke atas, tanda berpikir keras. “Oh, itu. Ruangan di mana Yang Mulia menyimpan properti penting, ya, Putri?” lanjut si penjaga istal, dan ketika Putri Aeradale mengangguk, pria itu kembali mengimbuh, “Ada di kastel utama, Putri. Letak ruangannya berseberangan dengan ruang kamar mendiang Brigid.” Astaga, jadi ruangan ‘itu’? Tidak terpikir sama sekali dalam benak Putri Aeradale bila pintu di seberang ruang kamar sang penyihir merupakan ruangan yang tengah ia cari. Arcaviel sendiri hampir terlupa dengan keberadaan ruang tersebut. Jika diingat kembali, ketika ia berkunjung menuju kamar Brigid untuk membangkitkan mananya, pintu seberang itu terasa memanggilnya. Entah ini kebetulan atau memang sebuah petanda bahwa semua jawaban atas rasa penasarannya tersimpan di dalam ruangan itu. Gagal menyamarkan gurat semringah, dipandanginya Battista dengan penuh rasa terima kasih. Lalu, Arcaviel bergegas keluar dari istal, berbelok untuk kembali ke dalam kastel utama. Sepeninggal batang hidung si Putri Aeradale, Battista maju beberapa langkah keluar istal semata-mata menghunjamkan Arcaviel dengan sepasang netra teduhnya. Tidak ada secuil pun humor di sana. Semoga jawaban dari saya membantu Anda lekas mengingat semuanya, Putri. * Ada binar asa membersit dalam manik birunya ketika tiba di lorong tingkat dua dan mendapati tidak ada siapa-siapa. Seperti biasa, Reeval dari pagi mendekam di ruang kerja pria itu, entah mengurus apa, Arcaviel tidak tertarik untuk tahu urusan kerajaan. Oleh karenanya, Arcaviel tidak ragu untuk memanfaatkan kesibukan Reeval sebagai momentum dalam melancarkan aksi pencariannya. Knop pintu itu terasa dingin saat jemari lentik Arcaviel menyentuhnya. Sehalus mungkin, ia buka akses menuju lorong atas itu tidak terlalu lebar. Arcaviel kemudian menyelatkan tubuh mungilnya ke balik sana dari celah pintu dan mulai menaiki undakan. Pacuan adrenalinnya terasa meningkat kala ia menapak satu per satu undakan di antara redup. Dahulu, ketika ia pertama kali menjumpai Brigid, ia ketakutan menaiki undakan ini. Tetapi, sekarang, entah dari mana Putri Aeradale mendapatkan keberanian. Arcaviel hanya terfokus kepada tujuannya saat ini meski terbilang nekat. Ia bahkan tidak ada rencana matang. Arcaviel ingin mencari tahu, namun menolak memikirkan risikonya bila ia tertangkap basah. Realistis saja. Jika Reeval tahu tujuannya dan marah besar, pria itu niscaya menyembunyikan ‘sesuatu’ yang teramat fatal darinya. Bila tidak, itu artinya Arcaviel mungkin hanya terlampau mencurigai kebenaran ucapan sang kakak. Namun, mencoba realistis bukan berarti ia ingin presensinya tertangkap begitu saja oleh Raja Aeradale. Jadi, dapat dirasakannya sekujur tubuh Arcaviel membeku—ia biarkan tangannya tergantung bebas di dekat knop pintu ruang khusus ketika suara maskulin merangsek ke indra pendengarnya.. “Sedang apa di sini?” Penampakan Reeval baru muncul dari bawah undakan. Afeknya teramat datar, sampai-sampai Arcaviel dibuat tidak tahu-menahu apakah pria itu marah atau justru biasa saja. “Arcaviel?” panggilnya, sekali lagi. “Apa yang kau lakukan di lorong ini? Apa aku mengizinkanmu?” “R-Reeve,” sapa Arcaviel, mendadak nyalinya terasa ciut. “Aku … aku ingin mencoba menjelajahi lorong ini.” “Tidak ada yang mengesankan dari lorong kecil ini, Cavi.” Reeval menghela napas, didekatinya sang adik untuk bersemuka dengan pria itu dan mengamatinya lamat-lamat. “Apa kau kepikiran soal Brigid?” Gurat Reeval kelewat tenang. Pria itu sama sekali tidak menunjukkan amarah di sana. Jadi, apakah Reeval benar-benar tidak memalsukan identitas di antara mereka? Entah bagaimana, Arcaviel masih merasa kurang puas. Pada akhirnya, ia tetap menganggukkan kepala, menjadikan kematian sang penyihir sebagai alasan untuk selamat dari intimidasi sang Raja. Diam-diam, ia meminta maaf kepada nenek itu. “Selain itu, aku juga ingin memastikan apakah burung hantunya benar-benar pergi,” jawab Arcaviel, teringat kembali dengan hewan peliharaan Brigid yang raib begitu saja ketika majikannya sekarat. “Aku kepikiran untuk memeliharanya.” Reeval menarik singkat kedua sudut bibirnya. “Aku bisa memberikanmu satu bila kau ingin,” ucapnya, entah mengapa terdengar ambigu di telinga mereka. Tersadar karena rona merah terbit di pipi lawan bicaranya, Reeval terbatuk sebentar, kemudian menambahkan, “Kita bisa menangkapnya di hutan.” Arcaviel mengejap. “Semacam ‘berburu’?” tanyanya, perubahan guratnya mendadak drastis, semringah bukan main. “Hari ini? Ayo!” Ditariknya telapak tangan kukuh Reeval, mengusung pria itu untuk segera turun dari lorong kecil. Arcaviel seakan-akan lupa dengan intensi awalnya kemari. Wajar saja, Reeval sengaja membuatnya teralih. Momen mereka ketika dulu membuat pria itu belajar, berburu dengan busur panah merupakan kesukaan Arcaviel. Tiap kali Arcaviel merajuk padanya, Reeval tinggal menjejalinya busur—dan voilà! Hobi itu sudah mendarah daging. Ironis memang, pecinta hewan tetapi hobinya justru memburu entitas mereka. Yah, sesungguhnya tidak akan terjadi bila orang yang mengajarkan Arcaviel bukanlah Reeval Lanford, subjek kelekatan pribadi Putri Aeradale semasa muda, sekaligus cinta pertamanya yang sudah ia lupakan karena para pengikut k*****t. “Kenapa kau langsung menarik kesimpulan kita dapat ‘berburu’ hari ini?” Binar jenaka mengilat di antara sepasang manik sehitam jelaganya saat mereka sudah keluar dari lorong. Ia iseng merapatkan punggung Arcaviel ke dinding samping, berniat memberikannya sedikit pelajaran. “Aku tidak pernah mengatakan demikian.” Gurat Arcaviel berubah masam. “Aku mau,” ketusnya, berpura-pura merajuk dengan tidak menaruh tatapan kepada Reeval, akan tetapi keputusannya keliru. Ia kini memusatkan atensi kepada jakun pria itu dan baru tersadar begitu Raja Aeradale mendeham. Buru-buru menaikkan pandangan, mereka kembali bertatapan. “Aku mau menangkap burung. Aku mau mencoba busur. Aku mau—” “—Melakukan semua yang kaulakukan dulu?” terka Reeval, yang segera direspons anggukan cepat dari sang Putri. “Kalau begitu, mari.” Ditautkannya jemari mereka selagi pria itu mulai mengusung Putri Aeradale menuruni undakan spiral. Arcaviel melamun sepanjang ia melangkah bersama sang Raja. Jemari kukuh itu tidak kunjung melepaskannya, bahkan perlakuan Reeval teramat halus dan sopan. Wajarkah seorang kakak memperlakukan adiknya sebajik ini? Tanpa sadar, diremasnya telapak tangan Reeval—terlalu nyata, liat, dan solid. Pikiran irasional mulai berkelibang dalam benak Arcaviel. Alih-alih mencari kebenaran, mengapa Arcaviel justru mencemaskan dirinya tidak akan bisa mendapatkan perlakuan ini lagi bila suatu saat nanti Reeval memiliki pendampingnya sendiri? Arcaviel mengejap ketika panas menjalar sampai ke sepasang manik birunya. Berusaha untuk meresap kembali cairan bening tak wajar yang hampir tumpah, ia berniat menoleh ke arah lain—ke mana pun, kecuali Reeval. Akan tetapi, takdir sedang tidak berpihak dengan Putri Aeradale. Sebelum tatapannya sempat beralih ke arah lain, ia sudah lebih dulu mendapat kilau kecemasan dari netra hitam Reeval. “Cav, ada apa?” Jemari kukuh pria itu terangkat untuk meraup pipinya. Jelas, ia sama sekali tidak mengerti dengan perubahan drastis suasana hati sang Putri. Dalam satu kejapan, raut semringah Arcaviel, bahkan masih sempat-sempatnya berpura-pura merajuk, berganti memprihatinkan dan hampir memelas. “Hei, kenapa kau menjadi seperti gadis sungguhan, sih?” Secara ajaib, cairan bening Arcaviel meresap kembali ke pelupuk mata. Kali ini, gurat Putri Aeradale berganti kesal. “Memangnya aku laki-laki?!” tanyanya, balik. Direspons oleh tawa kecil Reeval, Arcaviel mencubit perut pria itu dengan gemas dan memeluknya impulsif. “Reeve, tetap seperti ini. Jangan pernah berhenti, ya?” Lirihan Arcaviel mungkin teredam oleh d**a bidang Raja Aeradale, tetapi ia jelas mendengar. Bisa ia rasakan sekujur tubuh pria itu menegang, mendengarkan kalimat itu dari bibir ranum sang Putri sedikit banyak menerbitkan kembali kegundahannya. Menipiskan bibir, Reeval mulai menanyakan kondisi Putri Aeradale saat ini. Apakah ia sedang sakit? Reeval menarik dirinya dan mengangkat punggung tangannya. Didekatkan tangan pria itu menuju kening Arcaviel kala gadis berparas elok itu mendongak. “Tidak demam, kok,” gumam Reeval, tidak lama ia meringis saat manik biru itu menghunjamkan manik hitam miliknya galak. Tidak ingin mencari gara-gara, ia lekas menambahkan, “Iya, maaf.” Arcaviel mencibir, “Perusak suasana!” Seringai kecil terukir sebentar di bibir pria itu. “Memang,” katanya, tidak berminat menampik tudingan Arcaviel. Sebelum Putri Aeradale kembali berbicara tidak-tidak, Reeval mengusap subtil mercu kepalanya dan menahan tatapan mereka dengan intens. “Aku tidak mengerti kenapa kau membicarakan hal tadi, Cavi. Tetapi, satu hal yang harus kau tahu, aku mustahil berhenti.” * Sebuah busur bersepuh perak tergenggam solid di tangan Arcaviel. Ia mulai menjatuhkan tatapan menuju salah satu concentric point yang tersebar di sana sini, sedangkan Reeval mengamati postur tubuh sang Putri dari belakang. Kadang-kadang, ia bisa mendengar gerutuan Arcaviel lantaran tubuh Hugen berderap meliuk-liuk. Putri Aeradale kentara kesulitan untuk melecutkan sebuah anak panah. “Reeve, ajarkan aku! Mana bisa aku melakukan ini tanpa diajarkan lebih dulu?” protes Arcaviel, deru napasnya sedikit terputus akibat menahan napas terlalu lama. Bukannya menerima respons berguna dari pria itu, telinganya justru mendengar tawa tertahan Reeval. “Berhenti tertawa, Reeve!” “Iya, cerewet.” Pria itu membasahi bibir ranumnya sebentar. “Kemarikan busurnya.” Putri Aeradale belum sempat mengoper busur peraknya. Reeval telanjur merunduk dan mengambil alih senjata itu dari jemari lentik Arcaviel. Posisi depan belakang kedua orang itu mengakibatkan jarak mereka saat ini dekatnya bukan main. Cukup lama Arcaviel melamun dan punggungnya menegak kaku begitu tangan kiri Reeval melingkari tubuh mungilnya, tidak kesulitan untuk memegang busur perak itu. Lalu, Arcaviel mengamati tangan kanan Reeval—bukannya memindai cara memegangnya, ia justru memusatkan atensi kepada urat-urat lengan pria itu di saat Reeval mulai menarik tali busur dan menahannya lama. Tanpa ia tahu, ekor netra hitam Raja Aeradale melirik lamunan panjang sang Putri. Pria itu ingin melontarkan seringai, tetapi ia menutupnya dengan afek datar. “Caramu berpegang memang penting.” Reeval menarik kecil sudut bibirnya. “Lain daripada itu, ada yang lebih penting lagi.” Dikendurkannya cengkeraman tangan kanan pria itu pada tali busur. Ia biarkan tangan kirinya mengambil bobot busur perak itu secara utuh dan menggunakan tangan kanannya, ia bawa mendekat dengan paras elok Putri Aeradale. “Kau tahu apa?” Arcaviel mengejap. “Apa?” tanyanya, menahan napas begitu jemari kanan Reeval mengusap pelipis dekat manik birunya. “Mata—mata dominan. Gunakan itu untuk melihat target,” Reeval tidak lagi repot-repot menyamarkan senyum angkuhnya sewaktu ia menambahkan, “bukan malah melihat dan mengagumi urat-urat lengan pria, gadis.”[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD