Hod 50, Penjelasan Irfan

1321 Words
“Ayahku punya segalanya. Dengan uangnya, dia bisa menyuap tim dokternya untuk mengeluarkan surat sakit atas namaku. Termasuk surat rujukan rumah sakit. Aku bahkan dibius kembali ketika sadar, agar tak mengamuk di pesawat. Lalu ketika aku terbangun, aku sudah berada di rumah yang dipersiapkan untuk mengurungku. Aku dipenjara selama tiga tahun di sana. Tanpa alat komunikasi apa pun, hingga aku tidak bisa menghubungi siapa pun dan tidak tahu apa-apa selama tiga tahun itu. “Saat akhirnya aku dibebaskan, aku merasa sudah tak mungkin lagi bisa bersama Melia. Apa lagi kudengar, polisi juga sudah menghentikan pencarian terhadap dirinya. Yang bisa kulakukan adalah menyalahkan kedua orang tuaku sepanjang waktu. Lalu aku memutuskan untuk meninggalkan mereka dan tak ingin menganggap mereka sebagai orang tuaku lagi. “Dua tahun lalu, ayah dan ibuku meninggal. Aku sudah tak punya lagi orang-orang yang bisa kusalahkan atas hilangnya kekasihku. Dan sejak itu, pikiranku kembali ke masa lalu. Keinginan untuk mencoba lagi mencari Melia, sedikit demi sedikit mulai mekar. Namun aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku pernah mencoba datang kemari, namun hanya mampu melihat rumah ini dari jauh saja. karena sekali pun aku datang, aku tak tahu harus berkata apa pada kalian. Sekali aku tak mampu menjaga orang yang kusayangi, selamanya aku akan menjadi orang yang tak mampu bertanggung jawab. Aku sudah mencoba kembali ke polisi. Namun kasus hilangnya Melia sudah kadaluarsa. Mereka sudah menutupnya dan selagi tidak ada bukti-bukti yang mendukung, aku tidak bisa meminta polisi membuka kembali kasus Melia. “Itulah mengapa aku tidak akan menyalahkan Rendi jika dia membenciku dan menghajarku hingga puas. Karena jika aku berada di posisinya, pastilah aku akan melakukan hal yang sama. Tapi dalam hal ini, aku hanya ingin mengingatkan, bahwa kita semua yang berada di sini berada di pihak yang sama. Merasakan hal yang sama. Kita sama-sama menyayangi Melia. Sama-sama kehilangannya. Dan sama-sama berharap Melia masih hidup di suatu tempat dan berharap suatu saat dia akan kembali kepada kita.” Sepanjang Irfan mengungkapkan seluruh perasaannya, Bu Harja hanya bisa menangis terisak-isak. Semua yang diucapkan Irfan benar-benar membangkitkan kenangan lama akan anak gadisnya yang telah lama menghilang entah kemana. Bahkan mereka sama sekali tidak mengetahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Namun entah mengapa, kedatangan kembali Irfan seolah memberi angin segar kepadanya. Melihat Irfan, Bu Harja seolah juga melihat Melia hadir di tengah mereka. Ada setitik kebahagiaan yang dirasakannya ketika pertama sekali Irfan menghubungi mereka beberapa hari yang lalu. Sementara itu, Pak Harja hanya mampu menghela napas beratnya berkali-kali. Beragam kenangan kembali membayang di kepalanya. Kerinduan kepada anak gadisnya kembali membuncah, namun dia harus tersadar di tempat yang sama. Dalam kondisi yang sama, seperti saat dia kehilangan anak gadisnya tersebut. Meski perasaannya sama seperti istrinya, ketika beberapa hari lalu Irfan menghubungi mereka, bahwa seolah ada setitik cahaya terang yang akan menghampiri mereka. Kehadiran Irfan memang seolah sudah lama mereka nantikan. Walau bagaimana pun, dulu, mereka menyayangi Irfan sudah seperti anak sendiri. Bagaimana Melia menyayangi Irfan, begitu juga seisi rumah menyayanginya. Terlepas apakah Irfan mampu membawa Melia kembali kepada mereka, kehadirannya saja sudah sangat membuat Pak Harja dan istrinya sangat bahagia. Sementara itu, Rendi hanya mampu terdiam. Tergugu setelah mendengarkan apa yang telah terjadi dan yang telah dialami Irfan selama ini. Tidak seperti dugaannya bahwa Irfan telah melupakan mereka, terutama telah melupakan Melia. Bahwa Irfan sama sekali tidak peduli dengan hilangnua Melia. Dan justru bersenang-senang selama bertahun-tahun sementara mereka meratapi kehilangan dengan tangis yang tak berkesudahan. Rendi tersadar, ternyata, apa yang sudah dialami oleh Irfan jauh lebih pedih dari yang mereka alami. Dia sangat malu dengan apa yang telah dilakukannya tadi. Menghajar Irfan hingga babak belur … ya, ampun! Dia tahu Irfan sama sekali tidak melawannya bukan karena tidak mampu melawan. Dia tahu, sekali tepis saja sebenarnya dialah yang akan melayang. Irfan bukan orang sembarangan. Melia pernah bercerita kepadanya, saat itu kakaknya diganggu sekelompok prem4n jalanan. Dan dengan mudahnya Irfan membuat semua orang yang mengganggunya itu terkapar di jalanan. Dibanding dengan dirinya, Irfan seperti langit dan dia adalah bumi. Bahkan untuk menerjang lawan saja, kakinya bisa tersandung dan kini bengkak hingga harus dipijat ibunya biar kembali normal. Itu pasti karma buatnya karena telah melampiaskan kemarahan dan emosi tidak pada tempatnya. Rendi benar-benar malu. Sekian tahun dia memendam kemarahan yang ternyata tidak nyata. Mestinya, jikapun selama ini dia menuduh Irfan adalah dalang dari hilangnya Melia, paling tidak, dia harus mendengarkan dahulu apa yang ingin disampaikan oleh Irfan. Bukan main hajar saja seolah dia sudah bisa saja melawan harimau. “Mas … aku … minta maaf …,” akhirnya Rendi memberanikan diri meminta maaf dengan hati yang cukup besar. Dia memandang Irfan yang duduk tenang layaknya seorang pria berkharisma. Dengan pstur tubuh yang tinggi dan ramping, Irfan benar-benar seperti seorang bangsawan yang bisa-bisanya ingin ditumbangkannya dengan kemampuannya yang nol besar. “Aku sangat malu telah sok-sokan menghajar Mas. Padahal aku tahu, Mas pasti bisa dengan mudah menjatuhkanku. Tapi mas tidak melakukannya dan malah membiarkan aku menghajar mas. Aku sangat bodoh. Maafkan aku, Mas.” Irfan mengangguk dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Ren. Apa yang kau lakukan tadi, sudah sepantasnya. Kau pasti sangat menyayangi kakakmu. Aku maklum. Kita semua disini sangat menyayangi Melia. Dan sangat merasakan kehilangannya.” “Tapi … aku sudah membuat Mas terluka dan ….” “Tidak masalah, Ren. Sebentar juga sembuh. Kau tenang saja. Pertahankan saja sikap penyayangmu terhadap keluarga. Hanya sikap emosionalmu yang perlu diredam.” “Iya, Mas. Makasih banyak. Aku akan belajar menjaga sikap lagi mulai dari sekarang.” “Dan jaga juga mulutmu itu!” Bu Harja kembali mengolesi muka anaknya dengan minyak urut di tangannya yang membuat Rendi berteriak lagi. “Ibu! Mukaku rusak!” Bu Harja manyun. “Aku akan membuat minuman,” ucap wanita tua itu mengundurkan diri. “Nak Irfan bilang ada sesuatu yang ingin disampaikan pada kami yang berhubungan dengan Melia. Itulah mengapa Nak Irfan datang ke sini. Benar begitu?” akhirnya Pak Harja kembali mengingatkan maksud kedatangan Irfan dan Emran ke rumahnya. Irfan mengangguk. “Benar, Pak. Ini memang tentang Melia. Percaya atau tidak, ada kemungkinan Melia memang masih hidup.” “A … apa?” pak Harja tampak sangat terkejut. Rendi yang duduk tak jauh dari ayahnya juga tampak terkejut. “Benarkah, Mas? Mbak Melia benar masih hidup? Dimana dia sekarang Mas? Katakana Mas, jangan bikin kami penasaran.” “Rendi! Kau harus bisa menjaga sikapmu! Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan nak Irfan barusan? ‘Ada kemungkinan’! Jadi kau jangan langsung teriak-teriak gak jelas seperti itu!” tegur pak Harja membuat putranya menunduk. “Iya, Pak. Maaf.” Pak Harja kembali memandang Irfan dengan pandangan mata yang penuh harap. “Benarkah begitu, Nak? Benarkah ada kemungkinan Melia masih hidup?” “Iya, pak. Hm … setidaknya sampai tahun lalu.” “Hah? Kenapa bisa begitu?” tanya Pak Harja tak mengerti. “Apa, Pak? Melia masih hidup?” tiba-tiba Bu Harja muncul dari dapur. Nampan berisi beberapa gelas the dan kopi bergetar di tangan tuanya. Emran langsung melompat mendapatkan wanita tua itu dan mengambil nampan tersebut dari tangannya sebelum terjatuh ke lantai. “Ibu duduk saja, yuk,” ajak Emran saat melihat Bu Harja seperti orang linglung saat mendengar kabar tentang putrinya. “Iya, Bu. Dududklah di sini, aku akan menceritakan mengapa aku berasumsi Melia masih hidup,” ucap Irfan mengangguk. Bu Harja melangkah dan duduk di sebelah suaminya dengan perasaan gamang. Sementara itu, Emran menghidangkan the dan kopi yang telah dibuatkan bu Harja. Lalu duduk tak jauh dari Irfan. “Ayo buruan ceritakan, Mas. Bagaimana Mas bisa berpikir mbak Melia masih hidup. Uh, maksudku, ada kemungkinan masih hidup. Bagaimana bisa mas berpikir begitu? Apa ada yang telah terjadi yang tidak kami ketahui?” Irfan mengangguk. “Benar sekali, Ren. Ada sesuatu yang telah terjadi dan sebelumnya kita semua tidak tahu sama sekali.” “Apa itu, mas?” tanya Rendi secepat kilat, mewakili pandangan ingin tahu Pak Harja dan istrinya. “Melia punya anak. Anak itu mungkin berusia sekitar 6 atau 7 tahun.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD