Hod 69, Miss X

1424 Words
Pak Ratno sama sekali tidak dapat menjelaskan apa pun yang berhubungan dengan kejadian kebakaran rumah yang berada di hadapan mereka. Yang kini telah menjadi kumpulan puing yang sudah menyatu dengan ilalang dan tiang-tiang penyangga yang warna hitamnya berlomba dengan pembusukan akibat lapuk diterpa hujan dan panas. Beliau sangat menyesal karena tidak banyak membantu. Warga yang ikut bersamanya, juga tidak tahu banyak perihal kejadian sebenarnya. Pengetahuan mereka akan kejadian kebakaran rumah tersebut, semua sama seperti yang diketahui oleh Pak Ratno. Jadi percuma saja jika mereka masih harus bertahan di tempat itu lebih lama lagi. Alih-alih mendapat kabar baik, ketua RT dan para warga itu bisa saja mengetahui kalau mereka memiliki tawanan yang terikat di mobil, jika salah satu dari mereka tiba-tiba berhasil berteriak atau memberontak. Sebelum mereka melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari, buru-buru Emran mengingatkan kakak iparnya tersebut. “Mungkin sebaiknya kita ke kantor polisi saja, Mas. Biar pasti siapa jasad wanita yang ditemukan di ruang bawah tanah rumah ini,” usul Emran segera. Entah mengapa, dia juga masih belum percaya kalau Melia Dina Harja sudah meninggal dunia dalam kebakaran itu. Dan siapa pun jasad yang ditemukan polisi itu, pastilah orang lain yang entah bagaimana bisa kebetulan berada di rumah itu. “Polisi pasti punya data lengkapnya. Jadi kita tidak perlu menduga-duga seperti ini.” “Nah, benar yang dikatakan oleh bapak ini,” sambut Pak Ratno mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Emran. “Yang bisa memberitahu kejadian sebenarnya adalah polisi. Kantor polisi tidak terlalu jauh dari sini. Keluar dari kompleks ini, ambil jalan sesuai jalur saja. Tak sampai dua puluh menit, bapak-bapak bisa menemukannya.” Irfan mengangguk. Apa yang dikatakan oleh Emran bukan saja ada benarnya. Tetapi juga bermakna kalau mereka tidak boleh lebih lama lagi berada di sana. Takut terjadi kesalahpahaman yang akhirnya akan menghambat pencarian mereka. “Baiklah. Bapak benar. Kami akan ke kantor polisi saja sekarang. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin saya ketahui. Polisi pasti memiliki semua jawabannya.” Pak Ratno mengangguk pasti. “Polisi akan mengungkap seperti apa kejadian sebenarnya, Pak. Saya percaya itu.” Pak Ratno menimpali. “Pak Anto!” tiba-tiba salah satu warga berkata agak keras. Membuat semua orang terkaget, lalu menoleh ke arahnya. Termasuk Irfan dan Emran. “Ada apa, Pak Anwar?” tanya Pak Ratno kepada warganya tersebut. Pak Anwar yang tiba-tiba berkata agak keras itu memandang Pak RT sesaat, kemudian memandang Irfan. “Namanya Pak Anto, Pak. Yang menempati rumah ini sebelum kebakaran, kan dua orang. Suami istri. Si suami bernama Pak Anto. Saya ingat sekali karena beberapa kali dia singgah ke warung saya untuk membeli sembako atau keperluan lainnya. Sebelum akhirnya mereka mendadak pindah entah kemana.” “Namanya Pak Anto,” Irfan mengangguk. “Saya akan menyimpan informasi tersebut. Selain nama, apa bapak masih mengingat wajahnya?” Pak Anwar berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat, tetapi kemudian dia menggeleng lemah. “Wah, maafkan saya. Saya gak ingat secara detailnya, Pak. Tapi sepertinya, orangnya biasa-biasa saja, Pak. Gak ada ciri khusus yang bisa diingat. Bukan begitu, pak RT? Kawan-kawan?” Pak Ratno dan semua warga tampaknya sama seperti Pak Anwar. Mereka mengangguk-angguk secara bersamaan, mendukung apa yang barusan dikatakan dengan mengatakan mereka juga tidak mengingat secara pasti wajah yang menempati rumah tersebut. “Mereka jarang sekali keluar rumah. Agaknya, kalau tidak ada keperluan mendesak, mereka lebih memilih menghabiskan waktu di dalam rumah saja. itulah mengapa saya tiba-tiba saja mengatakannya. Karena semenjak tadi, saya mencoba mengingat nama itu. Pak Anto.” Irfan mengangguk. Dia memutuskan untuk mengikuti saran Pak Ratno untuk mencari informasi langsung ke kantor polisi. Ditambah, dia juga paham maksud Emran mengajak mereka segera menyingkir dari tempat itu. “Baiklah, bapak-bapak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan babak-bapak sekalian. Saya mohon doanya agar anak dan istri saya segera ditemukan.” Aamiin …,” sekelompok warga yang datang bersama ketua RT mereka mengucap bersama-sama. Irfan dan Emran menyalami semuanya sebelum mereka meninggalkan tempat itu. “Kita langsung ke kantor polisi!” ucap Irfan begitu Emran memutar kunci kontak mobil. “Aku mendapat firasat kalau kita akan segera mengetahui peristiwa besar di sana.” “Aku sangat berharap kalau Mbak Melia masih hidup, Mas.” Timpal Emran. “Aku juga. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Jasad siapa yang ditemukan polisi kalau bukan Melia?” Emran menghela napas. Memang sangat kecil kemungkinan kalau Melia masih hidup. Polisi jelas-jelas mendapatkan korban tewas seorang wanita di ruang bawah tanah itu. Meski aneh saja mengapa jasad Aufa tidak ditemukan? “Kau memikirkan Aufa?” tanya Irfan menoleh ke arah Emran yang sedang menatap lurus ke depan. Hari sudah menjelang siang, menyebabkan lalu lintas jalanan sudah mulai padat. Emran mengangguk. “Iya, mas. Aku gak mengerti mengapa Aufa tidak muncul lagi di depanku. Atau setidaknya mengikutiku secara sembunyi-sembunyi.” Kali ini, Irfan yang menghela napas berat. “Jangankan kamu, Em. Aku saja yang jelas-jelas belum pernah bertemu dengannya, merasa sangat merindukannya. Seolah aku sudah sering melihatnya dan pada detik-detik terakhir seperti ini, aku merasakan kerinduan yang mendalam.” Emran menoleh ke kakak iparnya sekilas. Wajah sedih Irfan terukir sangat jelas beberapa hari belakangan ini. Semenjak Aufa dan Melia masuk dan kembali ke dalam kehidupannya, Irfan tampak tak setenang sebelumnya. Emosinya juga naik turun. Namun Emran sangat memaklumi hal tersebut. di dalam hatinya, dia sudah berjanji untuk mendampingi Irfan sampai kapan pun. “Em, di depan itu!” Irfan menunjuk ke depan mereka. Emran melihat papan nama yang bertuliskan Kantor Polisi, tempat yang mereka tuju. Dia langsung masuk dan berhenti di pelataran parkir yang cukup luas. Mobil yang ditumpangi Denni dan Hendo yang membawa tawanan mereka juga menyusul masuk. Irfan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Denni. “Kalian tetap di mobil. Tunggu saja aba-abaku.” “Baik, bos.” Irfan mengajak Emran keluar dari mobil dan langsung menuju tiga orang pria berseragam polisi yang berada di pos depan. Begitu sampai, Irfan langsung memperkenalkan dirinya dan mengutarakan maksud serta tujuannya. Salah seorang polisi langsung mengajak Irfan dan Emran masuk untuk menemui atasannya yang dahulu menghandle kasus kebakaran yang disampaikan Irfan. Mereka dipertemukan dengan Iptu Bagas. Pria berusia sekitar pertengahan empat puluhan itu menyambut Irfan dan Emran dengan ramah. Sambil mencari berkas kebakaran yang terjadi pada rumah kompleks perumahan Bunga Sari sekitar setahun yang lalu dari dalam lemari file, Iptu Bagas menceritakan sekilas temuannya. “Jasad yang kami temukan di tempat kejadian perkara, sudah sangat rusak akibat terbakar. Hampir tidak ada yang tersisa kecuali tulang belulang. Hingga sulit sekali untuk mengindentifikasi nya. Dari hasil laboratorium forensik, kami hanya mendapatkan data kalau jasad adalah seorang wanita dengan usia sekitar 25-35 tahun. Penyebab kematian sudah jelas karena terbakar. Sementara penyebab kebakaran itu sendiri adalah karena ledakan gas." Irfan memandang Emran. "25 - 35 tahun itu rentang usia Melia, Em," ucapnya lebih meyakinkan ke dirinya sendiri. Emran mengangguk. "Semoga ada titik terangnya. Jadi kita pihak keluarga akan mendapatkan jawaban yang selama ini ditunggu-tunggu," jawab Emran. Iptu Bagas kembali ke mejanya dengan membawa satu berkas yang cukup tebal. "Sayangnya, dengan data yang sangat sedikit itu, sulit sekali mencari kecocokan dengan data base yang tersimpan di kepolisian. Ditambah, tidak ada keluarga yang datang melaporkan kehilangan. Dengan demikian, kami memutuskan memberi nama korban sebagai 'Miss X' atau seorang yang Tanpa Nama. Bahkan setelah setahun berlalu, tidak seorang pun melaporkan kehilangan wanita ini, sampai bapak-bapak sekalian datang,” demikian Iptu Bagas menjelaskan. Dia membuka amplop coklat dan mengeluarkan isinya dan memperlihatkan beberapa foto jasad baik yang masih berada di reruntuhan kebakaran, juga yang sudah berada di kamar autopsi. Saat foto-foto jasad dipampangkan, Irfan langsung membuang muka seraya menyembunyikan kepedihan dan titik air mata yang hendak jatuh dari sudut matanya. Jasad itu tampak sangat mengenaskan. Hangus terbakar dan hanya menyisakan sisa-sisa tulang belulang yang mampu membuat perut orang yang melihatnya langsung mual. “Apakah tidak ada benda-benda yang bisa menjadi tanda pengenal jasad ini, Pak?” tanya Emran mewakili Irfan yang masih tak mampu melihat foto-foto mengenaskan tersebut. “Sayangnya, tidak ada.” Iptu Bagas menggeleng. “Jadi untuk memastikan apakah jasad ini adalah keluarga anda, harus dilakukan tes DNA terlebih dahulu. Jika bisa, yang melakukan tes adalah orang tua korban.” Irfan segera mengumpulkan gambar-gambar di atas meja dan menyodorkannya kepada Iptu Bagas, agar tak terlihat lagi di matanya. Terlalu perih dan jantungnya terasa sangat sakit sekali saat membayangkan jasad yang hanya tinggal tulang belulang itu adalah Melia, kekasih yang hingga kini belum dapat dilupakannya. “Baik, pak. Saya akan membawa kedua orang tua korban untuk di tes. Dan satu lagi, di parkir, ada dua orang yang telah menculik calon istri dan anakku, menyekap mereka di rumah yang terbakar ini sekian tahun lamanya. Tangkap mereka, Pak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD