“Sya, kamu baik-baik aja, Sayang?” tanya Emran dari balik pintu kamar mandi. Qisya masih sibuk memuntahkan isi perutnya. Sejak Emran menceritakan apa yang dilihatnya di warung bakso, rasa mual Qisya nggak kunjung reda. Emran sendiri sebenarnya juga merasa jijik, apalagi mengingat dia dan Qisya sering makan di sana, tapi untungnya nggak sampai muntah seperti istrinya. Sesaat kemudian, Qisya keluar dari kamar mandi dengan tubuh lemas dan wajah pucat. Ia menyandarkan punggung ke dinding, napasnya masih terengah. “Ternyata warung itu pakai penglaris sejorok itu ya Allah... pantesan aja rame,” gumamnya dengan suara parau. “Kita baru menyadarinya sekarang, Sya. Padahal, harus kuakui, baksonya emang enak,” kata Emran, sedikit merasa bersalah. Qisya mengernyit, menatap Emran dengan bingung. “T

