Dering ponsel disertai getarannya di atas meja membuat Qisya terbangun dengan tersentak. Separuh jiwanya masih melayang entah ke mana. Baru saat itu dia sadar kalau dirinya tertidur di meja makan. Hidangan yang ia masak usai salat subuh tadi masih terhampar di depan mata, tertutup rapi dengan tudung saji. Ketika kesadarannya sepenuhnya kembali, Qisya teringat kalau dia sedang menunggu Emran, suaminya, pulang kerja.
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Meski sudah sepakat untuk tidak mengadakan perayaan apa pun selain saat lebaran, tetap saja, seperti kebanyakan perempuan, Qisya tak bisa menahan keinginan untuk memasak sesuatu yang istimewa di hari spesial ini. Termasuk hari ini. Dan entah sudah berapa lama dia tertidur sambil menunggu suaminya pulang.
Ponsel di atas meja kembali berdering, terletak di samping tangannya.
Buru-buru Qisya meraihnya dan melihat layar. Nomor yang muncul tidak ada di daftar kontaknya. Dari kode awalnya, jelas bukan panggilan dari ponsel. Mungkin dari rumah atau kantor.
Refleks, matanya melirik ke arah jam digital di layar. Sudah jam enam pagi. Emran belum juga pulang.
Kenapa ya?
Dengan perasaan cemas, Qisya menjawab panggilan itu. “Halo?”
“Selamat pagi, Bu. Apakah saya sedang berbicara dengan Ibu Qisya Afina Danial?” terdengar suara pria dari seberang.
Suara berat dan kaku itu langsung membuat perutnya terasa tidak enak. Jenis suara yang tak ingin didengar siapa pun saat menerima telepon. Qisya bisa langsung menebak. Pasti polisi.
“Iya, benar saya Qisya. Dengan siapa saya berbicara?”
“Iptu Haris Gunandar, dari Polsek Kota Besar, Bu.”
Deg! Jantung Qisya berdetak tak karuan. Darahnya serasa naik ke kepala, panas. Kalau polisi menelepon, hanya ada dua kemungkinan: kabar buruk atau kabar sangat buruk. Pasti.
“Iya, ada apa ya, Pak?” tanya Qisya pelan, mencoba menenangkan diri. Mengingat Emran belum juga pulang sampai sekarang, pikirannya langsung menyimpulkan ini pasti tentang suaminya. Apakah kabar buruk? Atau sangat buruk? Apapun itu, ya Allah, semoga Emran baik-baik saja, doanya dalam hati.
“Mohon maaf, Bu. Dengan berat hati kami ingin menyampaikan bahwa suami Anda, saudara Emran Danial, mengalami kecelakaan dan sekarang berada di Rumah Sakit Kota.”
“Ya Allah….” Qisya tak tahu harus berkata apa. Meski sebelumnya sudah menyiapkan diri, meski pekerjaannya sebagai reporter membuatnya sering menerima berita duka atau kecelakaan, tetap saja jantungnya rasanya seperti diremas saat yang kena musibah adalah belahan jiwanya sendiri.
“Apakah … apakah suami saya ….”
“Tolong jangan panik dulu, Bu. Kecelakaan yang dialami suami Anda memang cukup parah, namun saat ambulans tiba di lokasi dan membawanya ke rumah sakit, beliau masih dalam keadaan hidup.”
Qisya mengucap syukur, meski air mata mulai membasahi pipinya.
“Bu Qisya, jika Anda ingin ke rumah sakit sekarang, saya akan mengirim anggota saya untuk menjemput. Bagaimana, Bu?”
“Baik, Pak. Saya akan ke sana sekarang juga.”
“Baik. Tak sampai lima menit, anggota saya pasti sudah sampai di depan rumah Anda.”
Qisya masih syok. Dia masih duduk di tempatnya sejak tadi. Menatap makanan yang tertata rapi di depannya, tapi pikirannya kosong. Atau melayang entah ke mana. Lalu dia teringat putra semata wayangnya yang masih tertidur. Zidan!
Dengan tergopoh-gopoh, Qisya masuk ke kamar anaknya. Menangis tersedu-sedu sambil membayangkan bagaimana nasib suaminya sekarang.
Beberapa detik kemudian, dia menelepon orang tuanya untuk memberi kabar soal kecelakaan Emran. Juga menghubungi Dion, adiknya, yang bekerja di tempat yang sama dengan Emran. Semua terdengar kaget.
“Zidan jangan ikut kamu bawa ke rumah sakit, Sya,” suara Hartono, sang Papa, terdengar dari seberang.
“Jadi gimana, Pa?” tanya Qisya bingung.
“Biar Rani yang jaga, Kak,” sahut Dion. “Sekarang juga Rani dan anak-anak akan ke rumah Kakak. Mereka akan di sana selama Kakak butuhkan.”
“Ya Allah, aku jadi merepotkan kalian, Yon.”
“Tidak apa, Kak. Kakak tenang saja. Kita keluarga, sudah seharusnya saling menjaga,” ujar Dion.
“Nah, itu benar,” timpal Hartono. “Kamu ke rumah sakit sendirian saja, Sya? Atau Papa dan Mama datang ke sana menjemput?”
“Gak perlu, Pa. Polisi yang akan datang sebentar lagi menjemputku,” jawab Qisya. “Nanti Rani langsung masuk saja. Aku akan bilang sama Bibik untuk menunggunya.”
“Rani on the way, Kak,” terdengar suara Dion.
“Makasih, Yon. Aku akan siap-siap, Pa, Ma.”
“Baiklah. Hati-hati ya, Sayang,” suara Hartono dan Sukma terdengar bersamaan.
Qisya menutup telepon sambil mengusap air mata. Lalu duduk kembali di tepi tempat tidur anaknya. Menatap wajah putranya sambil terus menangis, berharap suaminya tidak dalam kondisi yang terlalu parah.
Saat terdengar suara klakson mobil dari depan rumah, Qisya seperti terbangun dari mimpi. Itu pasti polisi yang datang menjemputnya.
Cepat-cepat dia membangunkan asisten rumah tangganya, memberitahu situasi seperlunya. Lalu mencium Zidan yang masih terlelap sebelum menyambar jaket dan tas untuk segera pergi ke rumah sakit.
*
Iptu Haris Gunandar sudah menunggu di lobi rumah sakit ketika Qisya tiba. Pria berusia sekitar pertengahan empat puluhan itu langsung memperkenalkan diri dan menyampaikan beberapa informasi awal soal kecelakaan yang dialami Emran, sambil mengantar Qisya menuju ruang IGD.
Koridor rumah sakit sudah ramai, padahal hari masih pagi buta. Suasananya seperti pasar tradisional: orang-orang berseragam medis hilir mudik membawa pasien luka, dan lebih banyak lagi yang duduk di ruang tunggu dalam kondisi lusuh—bahkan berdarah.
Menurut penjelasan Iptu Haris, setengah jam setelah kecelakaan yang menimpa suaminya, sebuah bus antar kota yang membawa penumpang penuh juga mengalami kecelakaan. Seluruh penumpangnya mengalami luka-luka dan kini tengah ditangani di rumah sakit yang sama.
Pemandangan mengerikan itu bukan hal baru bagi Qisya. Beberapa tahun lalu, saat ia masih lajang dan bekerja sebagai jurnalis, ia terbiasa meliput kecelakaan seperti ini. Demi mengejar berita eksklusif, ia tak ragu turun ke lokasi kejadian bahkan hingga menjelang pagi.
Namun kondisi sekarang jauh berbeda. Dulu ia hanya memikirkan angle berita. Tapi kali ini, yang jadi korban adalah orang terdekatnya. Suaminya. Dan itu mengubah segalanya.
Saat orang yang kita cintai jadi korban, dunia seakan runtuh. Jiwa serasa tercerabut. Napas seperti terhenti. Tak ada yang tersisa selain rasa cemas yang menghantui, dan bayangan kehilangan yang begitu menakutkan.
Barulah Qisya benar-benar memahami, mengapa dulu begitu banyak isak tangis di lokasi kejadian. Mengapa para istri dan anak-anak menangis meraung. Sebagian karena kehilangan yang sudah nyata, sebagian lagi karena cemas memikirkan bagaimana kondisi orang yang mereka sayangi.
Dan kini, Qisya ada di posisi itu—di tengah pusaran emosi yang sama: takut, sedih, dan nyaris kehilangan kendali.
“Ibu, silakan duduk di sini sambil menunggu dokter yang sedang menangani suami Anda di IGD,” suara Iptu Haris memotong lamunannya.
Qisya mengangguk dan duduk dengan tubuh kaku. Rasanya seperti habis dipukuli habis-habisan. Setiap gerakan menyakitkan. Bahkan bernapas pun terasa berat.
Ketika Iptu Haris kembali dan menyerahkan secangkir kopi instan, Qisya menerima dengan tangan gemetar.
“Saya tidak tahu Ibu lebih suka kopi atau teh. Tapi coba minum ini, ya. Kopi hangat bisa sedikit menenangkan,” ucapnya sembari duduk di samping Qisya.
Butuh usaha besar untuk mengangkat cangkir itu, tapi ucapan polisi itu ada benarnya. Tenggorokan Qisya terasa kering dan ia baru menyadari betapa haus dirinya. Kopi itu langsung tandas dalam beberapa tegukan. “Terima kasih, Pak.”
Iptu Haris mengangguk, mengambil gelas kertas kosong dari tangannya, lalu membuangnya ke tempat sampah di samping kursi.
“Kalau Ibu tidak keberatan, saya ingin menanyakan beberapa hal.”
Qisya menoleh, air matanya mulai menggenang lagi. Ia tahu, polisi ini tidak akan duduk menemaninya jika kecelakaan Emran hanyalah kecelakaan biasa.
Ia mengangguk pelan. “Silakan, Pak.”
“Menurut catatan kami, Saudara Emran Danial bekerja di Café Millenial sebagai kepala sekuriti. Benar begitu, Bu?”
Qisya mengangguk. “Benar, Pak.”
“Saya memang belum sempat mengonfirmasi ke tempat kerjanya. Tapi setahu saya, café itu beroperasi dari malam sampai pagi. Apakah Ibu tahu, suami Ibu dalam perjalanan ke mana saat kecelakaan?”
“Mas Emran sedang dalam perjalanan pulang. Hari ini ulang tahun pernikahan kami,” ucapnya lirih.
“Oh… selamat hari jadi pernikahan, Bu. Maaf, Ibu harus melewatkan hari penting ini di rumah sakit.”
“Tidak apa-apa, Pak. Bukan salah Bapak kalau suami saya kecelakaan.”
Iptu Haris mengangguk singkat. “Kalau boleh tahu, apakah suami Ibu punya kebiasaan mengonsumsi alkohol?”
Qisya langsung mengangkat wajah, menatap polisi itu dengan tatapan tajam. “Tidak, Pak. Saya sangat yakin soal itu. Dia tidak pernah menyentuh alkohol, apalagi narkoba. Sama sekali tidak.”
“Baik. Kalau begitu … apakah suami Ibu pernah bilang sedang berselisih dengan seseorang? Mungkin punya musuh?”
“Musuh?” Qisya mengernyit, terlihat bingung. “Tidak pernah, Pak. Mas Emran tipe yang menghindari konflik. Kalau bisa diam, dia pilih diam. Saya yakin, dia nggak punya musuh.”
Iptu Haris tampak mencatat sesuatu dalam pikirannya, lalu mengangguk-angguk pelan.
“Kenapa, Pak? Kenapa Bapak tanya hal-hal seperti itu?”
“Karena … kami menduga, kecelakaan yang dialami Saudara Emran Danial tidak murni kecelakaan biasa. Ada indikasi kuat bahwa kecelakaan itu disengaja.”