Hod 43, Ketika Ayah Merindukan Putrinya

1479 Words
Emran tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, bisa saja Melia menghilang sendiri. Entah karena alasan apa, yang pasti wanita itu tidak mau bersama Irfan lagi. Di sisi lainnya, Emran juga kecewa sekali jika benar Melia menghilang karena diculik oleh orang tua Irfan sendiri. Itu bisa seja terjadi mengingat keduanya sangat tidak setuju dengan wanita pilihan putra mereka. Tetapi apa mungkin mereka menyekap seseorang hingga bertahun-tahun lamanya? Mungkin Irfan benar. bisa jadi Melia kini telah meninggal dunia, setelah melahirkan Aufa. Mungkin Melia mendapat perlakuan sangat buruk yang menyebabkannya sakit dan lemah, hingga tak selamat setelah melahirkan Aufa? Atau bisa juga Melia tewas dalam upayanya melarikan diri dari sekapan orang tua Irfan? Tetapi bisa juga Melia meninggal saat kebakaran terjadi. Dia dan Aufa sama-sama meninggal di dalam kejadian kebakaran tersebut. eh, tetapi, jika benar kejadiannya seperti itu, kenapa hanya Aufa yang dilihatnya? Mengapa Melia tak dapat dilihatnya? Mengapa hanya Aufa yang menjadi arwah gentayangan jika mereka sama-sama tewas dalam satu kebakaran? Atau … jangan-jangan wanita yang pernah menjadi penumpangnya saat dia menjadi driver online adalah Melia? Jika benar, kenapa Melia dan Aufa bisa terpisah? Tetapi mungkin juga wanita itu bukan Melia. Emran pusing sendiri memikirkan semua kemungkinan. Dan betapa bodohnya dia tak pernah meminta Qisya memperlihatkan foto Melia, hingga dia bisa tahu jika penumpangnya tersebut Melia atau bukan. “Kau kenapa, Em?” tanya Irfan yang melihat perubahan pada arut muka Emran. “Apa yang kau pikirkan?” “Anu, Mas. Apa mas masih menyimpan foto-foto Melia? Soalnya selama ini, aku tidak pernah melihat ada sosok wanita dewasa bersama Aufa. Tetapi aku pernah membawa penumpang wanita yang ternyata arwah. Aku tidak tahu apakah itu Melia atau ….” “Maksudmu Melia juga sudah … meninggal?” “Justru itulah aku ingin melihat raut wajah Melia. Jika benar arwah gentayangan yang menaiki mobilku adalah Melia, berarti dia … sudah …,” berat rasanya Emran meneruskan kalimatnya. Apa lagi saat melihat kesedihan di wajah Irfan yang semakin menjadi-jadi. “Tapi bisa saja bukan, Mas. Makanya, aku tadi bertanya apakah Mas masih ada menyimpan foto Melia. Aku ingin melihat wajahnya sama atau berbeda dengan penumpang ku saat itu.” Irfan diam sejenak. “Aku tidak mempunyai foto-fotonya lagi. Semuanya sudah kubakar!” Emran menelan ludah. Irfan Huzair memang orang yang keras dan tidak punya waktu untuk bermain-main. “Tapi kita bisa melihat foto-fotonya dari sosmednya,” gumam Irfan tiba-tiba teringat Melia juga sering mengupdate foto-fotonya di sosmednya. Cepat-cepat Iran mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan membuka sosmed Melia Harja. Ada beberapa foto yang terakhir di update Melia. Tetapi tentu saja itu foto-foto lama. Lama sekali hingga rasanya Irfan ingin membanting ponselnya karena rasa rindu yang tiba-tiba datang merebak. “Kau lihat sendiri saja, Em. Tapi itu foto lama pastinya.” Emran menerima ponsel yang disodorkan Irfan dan melihat ke halaman sosmed Melia. Dan begitu melihat foto pertama saja, Emran sudah merasa yakin seratus persen kalau penumpang wanita di mobilnya kemarin malam itu bukanlah Melia. “Gimana?” Emran menggeleng. Lalu tersenyum senang. “Alhamdulillah. Penumpangku bukan Melia, mas. Dan aku belum pernah melihat wajah ini selama aku bisa melihat arwah orang mati. Artinya masih ada kemungkinan Melia masih hidup. Kita hanya tinggal mencarinya. Mungkin kalau kita bisa mencarinya, kita juga akan bertemu dengan jasad Aufa.” “Kau benar, Em. Bersiaplah. Kita akan ke Bogor besok. Yang pertama kita tanya adalah keluarga Melia. Siapa tahu mereka mempunyai petunjuk.” “Baik, mas.”” “Lalu bagaimana dengan Aufa, Em?” “Aku masih belum melihatnya, Mas.” Irfan menggeleng. “Bukan itu. maksudku … Bagaimana wajah putriku itu? Apakah dia cantik?” Emran tersenyum senang. Seketika wajah gadis kecil yang belakangan ini mulai memenuhi ruang memorinya, tergambar kembali. Tapi tentunya pada saat Aufa memperlihatkan sosok aslinya. Bukan ketika dia mengalami kebakaran. “Aufa Al Huzair adalah gadis kecil yang sangat manis, Mas. Rambutnya panjang, matanya bulat besar dengan hidung yang mancung. Keseluruhan dari wajahnya sangat mirip dengan Mas. Yah, seperti yang kita ketahui, kalau anak perempuan kan biasanya cenderung mirip ayahnya. Sementara anak laki-laki, lebih mirip dengan ibunya. Jadi Aufa memang sangat mirip dengan Mas. Tetapi dia memiliki mata ibunya yang bulat dan besar.” Irfan tampak termenung. Mungkin sedang membayangkan seperti apa rupa putrinya. “Kau benar. Zidan sangat mirip dengan Qisya. Aufa pasti sangat mirip denganku. Ya, Allah … Kalau saja aku bisa melihatnya ….” “Mungkin kelak Mas akan melihatnya datang lewat mimpi. Atau siapa tahu, Aufa bisa memperlihatkan dirinya kepada Mas.” Irfan terbatuk pelan. Tangannya terangkat, mungkin menghapus air matanya yang mengalir pelan. “Mas, aku ingin mengatakan hal yang mungkin dapat membuat mas sedikit terhibur. Aufa sangat senang melihat Mas. Aku melihatnya tersenyum setiap kali Mas melintasinya.” “Ya Allah!” Irfan benar-benar terisak sekarang. Membuat Emran menghentikan perkataannya. Tetapi ternyata Irfan malah menyuruhnya untuk mengatakan hal lainnya yang ingin disimpannya dalam kenangan. “Aufa sangat menyayangimu. Dia melindungimu dari segala gangguan, Mas. Apa mas ingat pernah ketiduran sementara rokok mas sedang menyala. Aufa yang berupaya sekuat tenaga untuk membangunkan Mas, jika tidak rokok mas akan membakar kertas-kertas di atas meja mas dan ….” “Aku ingat itu, Em. Iya, aku terbangun dan baru menyadari kalau rokokku masih menyala dan hampir saja terjatuh ke atas berkas-berkasku,” Ifran tampak antusias dan gembira dengan apa yang baru saja disadarinya. “Jadi … Aufa yang membangunkanku?” “Aufa sendiri yang menceritakannya kepadaku, Mas.” “Ya Allah, anak itu ….” “Dia sangat mencintaimu mas, meski dia tahu kau tak pernah menyadari kehadirannya.” Irfan menggeleng keras. “Sekarang tidak lagi, Em. Aku ingin dia tahu kalau aku sudah menyadari kehadirannya. Aku ingin Aufa tahu kalau aku sangat … sangat menyesal karena terlambat mengetahui tentang dirinya. Aku ingin dia tahu, kalau aku sangat mencintainya. Aku tidak dapat tidur semenjak namanya kau sebut di ruangan ini.” “Aufa pasti kini sudah mengetahui kalau ayahnya juga mencintainya, Mas.” “Em, coba kau lihat lagi, apakah Aufa ada di sekitar kita?” Emran membuka penutup matanya. Melihat ke segala penjuru sampai melihat ke luar ruangan dan koridor. Tetapi dia sama sekali tak melihat kehadiran gadis kecil itu. “Dia tidak ada, Mas.” “Apa dia marah kepadaku karena saat kau mengatakan perihal dirinya, aku tidak mempercayaimu?” Emran terdiam. Dia ingin mengatakan apa yang saat itu terjadi, namun dia tak sampai hati karena mungkin saja Irfan akan menyalahkan dirinya. “Kenapa kau diam, Em? Aufa marah, kan?” Emran mengangguk pelan. “Iya, Mas. Saat itu, Aufa … hm … tampak sangat sedih dan marah. Tubuhnya berubah menjadi ….” “Menjadi apa, Em? Kau ceritakan saja semuanya. Jangan ada yang kau tutup-tutupi. Dengan begitu, aku bisa tahu seperti apa kondisinya. Dan aku juga berhak merasakan kemarahan anakku, kan? Merasakan penyesalan atas perbuatanku, kan? Aku ayahnya!” “Iya, mas. Aku hanya tak ingin membuat mas sedih.” “Biar saja aku sedih, Em! Biar saja aku merasakan apa yang seharusnya kurasakan sejak dulu! Kau tak perlu melindungiku seolah aku anak balita saja!” Emran menelan ludah. “Baik, Mas. Aufa memang marah sekali saat itu. Dia mendengar semua pembicaraan kita. Dia sedih karena Mas tidak percaya dengan kehadirannya. Dia kecewa karena mas tak mau berusaha menyadari kelahirannya. Dan saat mas menyuruhku keluar, Aufa yang pada awalnya memang sudah terbakar, berubah menjadi ….” “Mejadi apa, Em? Katakan saja!” Emran menghela napas. “Aku tidak tahu pasti Aufa berubah menjadi apa, Mas. Tapi aku melihat tubuhnya mengeluarkan banyak sekali asap dan dari tengah-tengah asap itu, aku melihat api yang kian lama kian besar. Hingga akhirnya meledak dan melemparku terjatuh ke bawah tangga.” “Ya Allah! Aku bukan hanya membuat Aufa marah. Tapi hampir membuatmu celaka.” “Alhamdulillah aku baik-baik saja, Mas.” “Syukurlah. Tapi sungguh, Em. Aku tak bermaksud menyakiti siapa pun. Aku hanya dikuasai emosi saja pada saat itu ….” “Mas gak perlu meminta maaf. Aku mengerti kok..” Irfan melirik arloji yang melilit di pergelangan tangannya. “Sudah hampir magrib, Em. Kau pulanglah. Besok pagi kita akan berangkat ke Bogor.” “Baik, Mas. Aku permisi,” Emran memasang kembali penutup matanya dan bergegas keluar ruangan. Namun tiba-tiba Irfan menahannya. “Tunggu, Em. Ada yang sudah kulupakan.” Emran membalikkan badannya. “Apa itu, Mas?” “Ucapan terima kasihku padamu.” Sontak Emran menepiskan tangannya dan menyeringai lebar. “Gak perlu, Mas. Aku belum dapat membantu apa-apa.” “Siapa bilang?” bantah Irfan sepat. “Kau sudah sangat membantuku, Em. Membuka mataku, sementara kau bisa saja tidak perlu mengatakan semua itu kepadaku. Tapi kau … kau bahkan tidak membantah ketika aku memecatmu. Kalau kuingat-ingat lagi saat itu, aku jadi malu sendiri, Em” Emran mengangguk. “Aku sudah melupakannya, Mas. Tak perlu diingat-ingat lagi.” Irfan mengangguk. “Makasih banyak, Brother!” ucapnya mendatangi Emran dan merangkul adik iparnya tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD