Hod 16, Mata Baru Emran

1535 Words
Suara ketawa anak kecil yang begitu nyaring menelusup masuk ke telinganya, membuat Emran terbangun dalam keadaan bingung. Namun hanya sesaat karena kemudian dia ingat kalau dia sudah berada di rumah. Qisya sudah mengatakan tadi malam kalau dia mengubah tata letak isi kamar mereka agar lebih segar. Itulah mengapa sesaat Emran sempat bingung. Dan tampaknya Qisya sudah lama terbangun. Bekas tidurnya sudah dingin. Saat melihat jam dinding, Emran terkejut. Ternyata sudah jam 9 pagi. Dia sudah melewatkan sarapan bersama. Kenapa Qisya tidak membangunkannya? Buru-buru Emran masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lalu langsung menuju dapur, melihat Qisya sedang sibuk memasak dibantu oleh asisten rumah tangga mereka. “Sayang, kenapa kamu tidak membangunkan ku?” tegurnya lembut. Meski dengan suara lembut, Qisya agak terkejut melihat suaminya tahu-tahu sudah berada di belakangnya. “Mas tidurnya nyenyak sekali. Sepertinya sangat lelah. Makanya tidak aku bangunkan,” jawab Qisya. “Tapi aku jadi melewatkan sarapan bersama kita.” “Masih banyak waktu kita untuk sarapan bersama lagi, Mas,” jawab Qisya yang langsung menyiapkan sarapan untuk suaminya. “Mas terpaksa deh sarapan sendirian deh. Tapi di sini saja, biar sekalian menemani kami.” “Memangnya kalian sedang masak apa, Sayang? Kenapa kelihatan sibuk sekali? Dan Zidan mana, sayang?” tanya Emran seperti orang linglung. Emran ingat, biasanya kalau hari minggu, mereka semua bermalas-malasan saja di kamar sambil merencanakan akan makan di mana atau pergi berlibur kemana. Tetapi kenapa hari ini dia merasa telah terjadi perubahan? Atau itu hanya perasaannya saja? “Zidan sama Papa dan Mama di ruang depan, Mas,” jawab Qisya sambil mengaduk masakannya. Lalu memberi beberapa petunjuk pada asistennya. “Dan aku sedang membantu Bu Maryanti memasak, Mas. Kan hari ini hari ke tujuh almarhumah.” Emran terbengong. Bu Maryanti adalah tetangga sebelah mereka. “Bu Maryanti sudah meninggal, Sayang?” Qisya langsung menggeleng. “Bukan Bu Mar yang meninggal, Mas. Tapi ibu mertuanya.” Emran semakin terkejut. “Ibu … mertuanya?” tanyanya cemas. “Iya, Mas. Nek Rima. Masa Mas lupa? Kan beliau pernah datang ke mari untuk memijat Zidan.” “Jadi … benar Nek Rima … sudah meninggal?” Emran merasa sedang dipermainkan oleh pikirannya. Atau matanya, barangkali. Bagaimana mungkin dia bisa melihat Nek Rima tadi malam kalau wanita itu sudah meninggal tujuh hari yang lalu? “Iya, Mas. Kan tadi malam aku juga sudah bilang sama Mas.” Emran menelan ludah. Jadi benar Nek Rima sudah meninggal. Tapi entah bagaimana, dia malah melihat wanita itu berada di teras rumahnya. Mondar-mandir seperti orang kebingungan. Kenapa? Mana mungkin ini halusinasinya saja? Sosok Nek Rima begitu jelas dilihatnya. Bukankah kalau arwah, kemungkinan kelihatan samar-samar saja? entah seperti bayangan putih? Atau semacamnya? “Mas?” Emran langsung menggamit lengan istrinya dan menariknya keluar dari dapur. Qisya merasa heran dengan sikap suaminya. “Ada apa, Mas?” Emran menatap mata istrinya dengan lekat. “Sayang, kamu tidak sedang bercanda, kan?” “Bercanda gimana, Mas?” Qisya tampak tak mengerti. “Kamu bilang Nek Rima sudah meninggal dunia.” “Memang iya.” “Kapan?” “Seminggu yang lalu.” “Itu tidak benar.” “Apa?” “Nek Rima belum meninggal.” “Kok belum?” “Karena … tadi malam sepertinya Mas masih melihatnya … di teras rumahnya.” Qisya mengernyitkan keningnya. “Mas pasti menghayal. Gimana bisa Mas melihat orang yang sudah meninggal?” Tiba-tiba Emran menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. “Ah, iya, ya. Kok Mas jadi linglung begini. Manalah mungkin kamu bercanda tentang orang yang sudah meninggal dan Mas berpikir bisa melihat orangnya? Haduh!” “Ya, iyalah, Sayang. Mana mungkin aku bercanda tentang hal seperti ini. Seperti anak-anak saja. Biar Mas gak bingung, aku akan tegaskan sekali lagi. Nek Rima benar-benar sudah meninggal seminggu yang lalu. Hari ini, hari ke tujuh. Bu Mar kedatangan banyak kerabat dan saudaranya dari kampung. Jadi beliau meminta bantuanku untuk memasak. Bagaimana? Sudah jelas, kan, Mas?” Emran mengangguk cepat. Lalu menelan ludahnya. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. Perasaannya sontak tak enak. Jika benar Nek Rima sudah meninggal dunia, mengapa dia masih melihatnya ‘hidup’? Wanita itu berjalan mondar-mandir di teras rumahnya. Persis seperti orang ‘hidup’. Bahkan Emran kembali melihatnya saat melihat ke luar jendela. Itu kenapa? Kenapa dia bisa melihatnya? Apa benar dia berhalusinasi karena terlalu lama koma usai kecelakaan hampir dua bulan yang lalu? Emran tidak suka hal ini. Apa pun namanya, mau halusinasi, mimpi, menghayal, tetapi jelas Emran tidak menyukainya. Bagaimana kalau Nek Rima terus menerus memperlihatkan dirinya di teras rumahnya? Bagaimana kalau wanita itu mengikutinya? Lalu lama-lama menakutinya? Dan yang terpenting adalah, bagaimana mungkin DIA BISA MELIHAT ORANG YANG SUDAH MATI? “Mas?” Padahal, sejak dulu Emran paling tidak mau berurusan dengan hal-hal berbau gaib, magis, supranatural, dan sejenisnya. Bahkan rasanya, Emran sudah selama hidupnya lari dari dunia yang sangat lekat dengan dengan kegelapan itu. Emran lebih memilih hidup sebagai orang normal. Yang tenang. Yang biasa-biasa saja. Jadi, jangan sampai halusinasinya ini berkepanjangan dan lama-lama mengganggu hidupnya. “Mas, ada apa sebenarnya?” Suara Qisya membuyarkan pikiran Emran. “Oh, tidak apa-apa, Sayang. Mas hanya agak terkejut mendengar Nek Rima meninggal. Mungkin gara-gara itu, Mas berpikir kalau beliau masih hidup. Ohya, meninggalnya karena apa, ya, sayang?” “Kata Bu Mar, beliau meninggal karena serangan jantung. Dan ditambah beberapa penyakit yang diderita oleh orang-orang yang sudah sepuh seperti Nek Rima.” Emran mengangguk-angguk. Dan memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang telah dialaminya. Tidak mungkin dia bisa melihat Nek Rima. Dia tidak bisa melihat orang yang sudah mati. Arwah gentayangan dan sejenisnya, tidak! Emran pasti hanya sedang bingung dan berhalusinasi. Dia akan ke rumah sakit untuk menemui dokter dan bertanya soal itu. Jadi dia lebih baik tidak mengatakan hal apa pun kepada Qisya. Bisa-bisa istrinya akan cemas dan kembali menghawatirkan dirinya. “Mas seperti sedang memikirkan sesuatu,” gumam Qisya agak bingung melihat tingkah suaminya pagi ini, yang tidak seperti biasanya. “Tidak apa-apa, Sayang. Aku hanya ingat, Nek Rima itu wanita yang baik. Ramah kepada semua orang. Ringan tangan dan selalu siap membantu orang yang kesusahan di sekitar lingkungan kita. Mas pernah melihat Nek Rima mengasih makan kucing-kucing liar di jalanan.” “Iya, Nek Rima penyayang hewan.” “Dia pernah memijat Zidan, kan, waktu Zidan rewel?” Qisya mengangguk. “Iya, Mas. Waktu itu Zidan masuk angin, jadi cengeng banget. Namun setelah kena pijatan Nek Rima, semua angin di tubuh Zidan keluar dan bocah kita itu bisa tidur nyenyak sampai pagi.” “Yah, sudah. Kembalilah masak.” “Sekalian Mas sarapan, yuk.” “Oke, Sayang. Buatin kopi Mas agak kental ya? Mas kangen sama kopi.” “Wah cantiknya cucu kakek kok pinter banget, ya? Bisa menyiram tanaman,” puji Hartono tertawa saat melihat Zidan melangkah tertatih-tatih sambil membawa gayung berisi air. “Pinter, dong, Kek. Kan cucunya Kakek Hartono,” timpal Sukma, istrinya. Si anak kecil hanya tertawa. Tawanya itu benar-benar menyenangkan semua orang. Tingkah polosnya kadang membuat tidak habis pikir orang-orang di sekitarnya. Dia adalah mutiara baru di keluarga besar mereka. Selesai acara menyiram tanaman, Sukma meletakan Zidan ke karpet. Di sana sudah ada banyak mainan Zidan berserakan, dan sebagian lagi masih berada di dalam keranjang. Zidan tampak asyik bermain dengan mobil-mobilan plastik kepunyaannya. “Hauh ... Macannya datang dan gigit Zidan,” Hartono menggelitik perut cucu kesayangannya. Yang digelitikin dan yang menggelitikin sama-sama tertawa. Namun tak lama, Zidan diam. Dia perlahan merangkak menuju jendela ruang tamu. “Eh, Zidan mau ke mana?” Sukma menggendong Zidan. Tapi Zidan tidak bisa diam, seolah dia ingin agar dibiarkan bebas. “Mungkin dia ingin main keluar?” “Benar Zidan mau main keluar, sayang?” tanya Sukma. Zidan menjawab dengan masih meronta-ronta. Akhirnya Sukma menurunkan Zidan, membiarkan anak itu melangkah ke jendela depan yang terbuka. Tiba-tiba anak kecil itu menangis saat melihat ke luar jendela. Hartono dan Sukma dibuat bingung dengan polah tingkah cucu mereka. Tak biasanya Zidan menangis keras seperti habis kena cubit saja. “Lho, Zidan kenapa ya, Pa?” tanya Sukma heran. “Mungkin dia lapar, Ma,” jawab Hartono. “Kan tadi kita udah sama-sama sarapan, Pa. Masa iya lapar lagi?” “Atau mungkin haus?” “Ya sudah, Papa gendong dulu Zidan, Aku mau buatkan susu.” Sukma menyerahkan Zidan ke pelukan suaminya. “Eh-eh, cucu kakek kok nangis. Cup-cup. Kamu haus ya? Sebentar ya, Nenek sedang buatin susu.” Zidan minta diturunkan. Hartono menurunkan cucunya perlahan. Zidan kembali melangkah ke jendela dan melihat ke luar. Anak itu kembali menangis seperti sedang ketakutan. “Pa, kok Zidan diturunkan? Nangis lagi, kan?” Sukma setengah berlari mendapatkan Zidan dan kembali menggendongnya dan memberikan s**u yang baru dibuatkannya. “Mungkin ada sesuatu di luar jendela. Makanya Zidan menangis,” gumam Hartono mengerutkan keningnya yang memang sudah berkerut. “Sesuatu apa, Pa?” “Aku tidak tahu. Kulihat tidak ada apa-apa kok di luar.” “Ih, aku kok jadi merinding, Pa. Tutup saja jendelanya.” Pinta Sukma merinding. Membuat Hartono tertawa. “Kata orang-orang, anak kecil terkadang bisa melihat apa yang orang dewasa tidak bisa lihat.” Ujar Hartono semakin membuat istrinya ketakutan. “Aish, sudahlah, pa. jangan ngomongin soal itu. Aku jadi semakin ketakutan, nih.” Hartono semakin tergelak melihat istrinya yang memang penakut itu. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD