Saat Zidan lahir, satu-satunya cara Emran dan Qisya bisa memperkenalkan putra kecil mereka ke keluarga Emran hanyalah lewat video call. Tak satu pun dari pihak keluarga Emran datang menjenguk. Lagi-lagi, tidak ada yang hadir. Emran pasti benar-benar merasa seperti bayangan yang dihapus dari keluarga besarnya. Sejak dia memutuskan meninggalkan rumah, semua seolah melupakannya.
Meski Emran pandai menyembunyikan perasaan, Qisya kadang menangkap tatapan kosong suaminya saat melamun diam-diam. Emran pasti rindu. Dia masih punya saudara, kakek, paman, bibi, dan belasan sepupu di Singapura. Tapi tak satu pun dari mereka pernah menunjukkan bahwa mereka masih menganggap Emran bagian dari keluarga. Atau mungkin mereka semua takut. Takut pada aturan yang dibuat sang kakek—aturan tak tertulis yang bisa mencoret nama siapa pun dari garis keturunan jika berani melanggar.
Entah sekarang. Apakah setelah mendengar Emran mengalami kecelakaan parah, mengalami koma, dan hampir kehilangan satu matanya, mereka akan tergerak? Apakah luka dan tragedi bisa meluluhkan ego yang selama ini dipelihara?
Qisya menatap langit-langit kamar rumah sakit yang dingin dan hampa. Air matanya kembali menggenang. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Ulang tahun pernikahan kelima.
Bukannya perayaan, yang ada justru kesepian.
“Aku ingin video call dengan Zidan,” gumamnya lirih. Rindu pada anak lelakinya begitu mendesak di d**a. Tapi lebih dari itu, dia sangat rindu pada Emran. Rindu tawa kecil mereka, rindu suara berat Emran saat membacakan cerita sebelum tidur, rindu kebersamaan yang terasa utuh.
Yang tersisa kini hanyalah suara mesin, selang infus, dan doa-doa yang menggantung.
Qisya menghela napas, lalu mengambil ponsel dari saku jaketnya. Tangannya gemetar saat membuka galeri. Dia tahu apa yang akan dia lihat, dan dia tahu hatinya belum cukup kuat. Tapi dia juga tahu—kalau dia tidak melihatnya sekarang, rasa rindu ini akan meledak tak tertahankan.
Jempolnya bergerak perlahan, menyusuri barisan foto dan video. Lalu berhenti pada satu rekaman berdurasi dua menit, bertanggal dua bulan lalu.
Emran dan Zidan.
Di taman belakang rumah.
Zidan berlarian, mengenakan kaus bergambar dinosaurus, tertawa lepas sambil memegang pesawat mainan. Emran mengikutinya dari belakang, pura-pura jadi monster yang mengejar. “Awas ada monster lapar mau makan anak kecil!” serunya sambil menggeliat-geliat lucu.
Zidan menjerit-jerit sambil tertawa, “Nggak bisa tangkep aku! Papa kalah!”
Lalu terdengar suara tawa Emran. Tawa yang dalam, hangat, dan penuh cinta—tawa yang kini terasa seperti gema dari dunia lain. Dunia yang jauh. Dunia yang mungkin tidak akan pernah sama lagi.
Qisya menutup mulutnya, menahan isak yang mulai pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi layar ponsel. Jantungnya seperti diremas perlahan.
“Mas Emran … cepatlah bangun. Zidan pasti kangen pelukkan kamu, Mas.”
Hari ini seharusnya hari jadi mereka. Tapi yang dia peluk hanyalah ketakutan, kerinduan, dan tubuh Emran yang diam dalam koma.
Tiba-tiba layar ponsel menyala. Panggilan video masuk dari Rani.
Qisya buru-buru menyeka air matanya dan mengangkat panggilan itu. Wajah Rani yang ceria langsung muncul di layar, diikuti oleh suara riuh anak-anak kecil.
“Kak Qisyaaa! Nih, Zidan mau ngomong!” seru Rani sambil mengarahkan kamera ke Zidan yang duduk di lantai, memegang mainan robot, wajahnya berseri-seri.
“Mamaaaa!” teriak Zidan, matanya langsung berbinar saat melihat wajah Qisya.
“Hai, Sayang Mama! Mama kangen banget...” suara Qisya bergetar, tapi ia tersenyum semanis mungkin.
Zidan mengangguk semangat. “Zidan tadi makan banyak! Trus main sama kakak-kakak. Terus Zidan bilang sama Rani, Zidan pengen peluk Mama!”
Qisya tertawa kecil sambil menahan air mata. “Mama juga pengen peluk Zidan. Nanti ya, begitu semuanya selesai, Mama pulang, kita pelukan sepuasnya.”
Zidan mengangguk polos. “Terus Mama bawa Ayah juga ya? Biar Zidan kasih robot buat Papa. Papa belum lihat yang baru…”
Qisya tak sanggup menjawab seketika. Hatinya remuk. Tapi ia segera menyembunyikan luka di balik senyuman. “Iya, Sayang. Nanti Mama bawa Papa, ya.”
Rani kembali muncul di layar. “Kak, dia nggak rewel sama sekali kok. Bahkan tadi sempat ngajarin anakku nyanyi lagu robot-robotan. Lincah banget.”
“Terima kasih banyak, Ran. Aku tak tahu harus bagaimana tanpamu,” ucap Qisya tulus. Rani tertawa lebar.
“Sama-sama, Kak. Tapi tolong jangan terlalu dipikirkan. Kita ini keluarga. Dan kakak kan tahu aku sangat menyayangi anak-anak. Jadi aku melakukannya dengan senang hati.” Rani melambaikan tangannya. “Kakak jaga kesehatan ya? Tolong jangan sampai sakit.”
Qisya mengangguk dan melambaikan tangannya sebelum menutup panggilan.
Hartono dan Sukma, yang duduk tak jauh dari tempat tidur Emran, juga ikut melihat video call itu. Keduanya menghela napas lega, senang mengetahui bahwa Zidan baik-baik saja bersama Rani dan anak-anaknya.
Qisya tersenyum menenangkan mereka, menenangkan dirinya juga. Tapi senyum itu cuma sebentar. Begitu keduanya mulai berbicara pelan, membahas jadwal kontrol dokter dan kemungkinan tindakan medis berikutnya, Qisya bangkit pelan dari kursi.
“Aku ke kamar mandi dulu ya, Pa, Ma.”
Dia tidak menunggu jawaban. Langkahnya cepat, teratur, tapi wajahnya masih tenang—seolah hanya butuh cuci muka sebentar. Begitu pintu kamar mandi tertutup rapat di belakangnya, Qisya meraih wastafel dan menunduk.
Lama.
Air matanya jatuh satu-satu, membasahi ujung hidung dan bibir. Ia berusaha diam, berusaha kuat. Tapi tubuhnya mulai bergetar, dan tangannya menggenggam ujung wastafel sampai buku jarinya memutih.
Satu isakan lolos.
Lalu disusul yang lainnya.
Qisya menekap mulutnya, menggigit pergelangan tangannya sendiri agar tak bersuara. Air matanya tumpah begitu saja—tanpa kendali. Seperti sungai yang bendungannya jebol.
Semua rasa sesak itu tumpah di tempat sempit bernama kamar mandi rumah sakit. Bau disinfektan bercampur tangis.
“Maaf ya, Zidan,” bisiknya pelan. “Maaf Mama belum bisa bawa Ayah pulang. Mama juga kangen. Banget.”
Dia tak tahu berapa lama menangis di sana. Tapi ketika ia mencuci muka dengan air dingin dan menatap bayangannya di cermin—mata bengkak, hidung merah, senyum palsu—dia tahu satu hal:
Besok, dan besoknya lagi, dia harus tetap kuat.
Demi Emran.
Demi Zidan.
*
"Aku merasa sudah waktunya untuk melihat Mas Emran," ucap Qisya pelan, menurunkan kakinya dari ranjang.
“Tapi, Sya…” Sukma mencoba menahan, suara ibunya penuh kekhawatiran.
Namun Hartono langsung meletakkan tangan di pundak istrinya, lembut tapi tegas. “Tidak apa-apa. Qisya memang harus melihat kondisi Emran. Suaminya butuh ditemani.”
Qisya menarik napas panjang, menata ulang keberanian yang sempat berantakan. Ia tahu dirinya bisa—meski kemungkinan besar akan menangis habis-habisan. Tapi bukankah memang begitu cara cinta bertahan? Yang sehat harus kuat. Yang kuat harus menjaga.
Dengan langkah pelan namun mantap, Qisya berjalan diapit Hartono dan Sukma. Koridor rumah sakit terasa panjang, sunyi, dan dingin. Di antara suara langkah kaki mereka, tiba-tiba ponsel Qisya bergetar. Sebuah notifikasi masuk.
Dia membuka pesan itu. Dan dalam sekejap, raut wajahnya berubah.
“Dari siapa, Sya?” tanya Sukma, menangkap perubahan ekspresi putrinya.
Qisya menatap layar sebentar sebelum mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. “Dari bank, Bu.”
“Bank?”
Qisya tersenyum miris, nyaris tak terlihat. “Sepertinya… tidak akan ada yang datang dari Singapura,” bisiknya lirih. “Mereka hanya mengirim uang. Banyak.”
Tak ada nama. Tak ada ucapan. Tak ada doa. Hanya angka.
Seolah Emran adalah sebuah beban yang cukup ditebus dengan transferan besar. Bukan seseorang yang sedang bertarung antara hidup dan mati.
*
Mengetahui bahwa tak satu pun dari pihak keluarga Emran berniat datang menjenguk, membuat Hartono murka. Ia sempat memaki pelan, namun segera diingatkan oleh Sukma. Tatapan istrinya cukup untuk menyadarkannya—bahwa saat ini, Qisya jauh lebih membutuhkan ketenangan dan dukungan, bukan luapan emosi yang tak jelas arahnya.
Akhirnya, Hartono dan Sukma memilih memeluk Qisya erat-erat. Tak ada kata-kata yang diucapkan, hanya pelukan yang cukup untuk menyampaikan bahwa mereka akan selalu ada.
Bersama-sama, mereka berjalan menuju ruang Intensive Care Unit (ICU), tempat Emran dirawat. Di sana, mereka disambut oleh dr. Wisnu, dokter yang menangani langsung kondisi Emran.
Dengan tenang, dokter Wisnu menjelaskan bahwa tim medis telah melakukan operasi kepala untuk menghentikan perdarahan dan menekan pembengkakan di otak—tindakan darurat agar kerusakan lebih lanjut bisa dicegah. Saat pertama kali tiba di rumah sakit, Emran bahkan mengalami kesulitan bernapas, sehingga kini sebuah respirator terpasang di samping ranjangnya.
Melihat Emran terbaring dengan berbagai alat medis, selang, dan kabel yang menempel di tubuhnya, d**a Qisya terasa sesak. Tangis yang sejak tadi ia tahan, nyaris pecah di ambang matanya.
Kepala Emran terbalut perban tebal, menutupi hingga ke area matanya. Luka dan memar tampak tersebar di lengan dan kakinya—jejak dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Qisya ingin sekali memeluk suaminya, menumpahkan semua rasa sakit dan takut dalam pelukannya. Ingin menangis di d**a pria yang begitu ia cintai. Tapi tentu saja, itu tak mungkin.
Kondisi Emran jelas menunjukkan bahwa sekarang bukan waktunya untuk larut dalam air mata. Ia harus kuat—lebih kuat dari sebelumnya. Karena Emran, dalam diam dan tak sadarnya, pasti sedang berjuang. Dan Qisya tahu, yang dibutuhkan suaminya bukan tangis, tapi kekuatan.
“Karena pasien sudah melewati masa kritis dan mulai menunjukkan tanda-tanda stabil, langkah berikutnya adalah menjaga kondisi fisiknya agar tetap stabil dan sehat, serta mencegah komplikasi,” jelas dr. Wisnu dengan tenang, mencoba memakai bahasa yang mudah dipahami. “Untuk cairan infus dan kebutuhan transfusi darah, Ibu tidak perlu khawatir. Stok kami aman.”
Qisya hanya mengangguk pelan, tubuhnya lemas, jiwanya seperti melayang. Ia mendengarkan penjelasan dokter tentang berbagai obat yang harus diberikan, tentang nutrisi yang akan dimasukkan melalui selang yang terpasang di pembuluh vena suaminya. Tentang ventilator yang memompa udara ke paru-paru Emran melalui tabung di tenggorokannya.
Akhirnya, dengan suara lirih, Qisya memberanikan diri bertanya, “Berapa lama… kondisi tak sadarkan diri ini akan berlangsung, Dok?”
“Jika melihat dari tingkat kerusakan otaknya yang tergolong ringan, seharusnya tidak akan berlangsung lama. Kami sudah lakukan tes fisik, laboratorium, dan scan otak. Hasil lengkapnya akan keluar beberapa hari lagi. Semoga semuanya berjalan baik.”
Qisya mengangguk perlahan. Ia dan kedua orang tuanya sama-sama mengaminkan harapan itu dalam hati, menggantungkan doa pada langit yang tak terlihat—semoga keajaiban segera datang.
“Meski pasien belum sadarkan diri, percayalah, kehadiran Anda sangat berarti untuk proses pemulihan,” ujar dr. Wisnu lembut. “Saya harap Anda dan keluarga rutin menjenguknya. Ajak bicara, bacakan buku, mainkan musik. Kita tak pernah tahu, mungkin saja pasien mendengar semua yang kita ucapkan.”
Qisya mengangguk pelan, namun ada kegelisahan lain yang belum terjawab. Ia menatap dokter itu penuh harap, lalu bertanya, “Bagaimana dengan mata suami saya, Dok? Benarkah… dia buta?”
Dr. Wisnu menarik napas panjang. “Ada cedera serius pada mata kiri. Pecahan kaca menembus retina, ditambah benturan keras di kepala, bisa memengaruhi penglihatan. Tapi karena pasien masih belum sadar, kami belum bisa memastikan tingkat kerusakannya. Setelah ia siuman, baru kami bisa lakukan serangkaian tes. Kemungkinan terburuk memang kebutaan. Namun, jika itu terjadi, pencangkokan masih bisa menjadi pilihan. Jadi mohon jangan terlalu khawatir dulu.”
Dokter itu berbicara dengan logika dan harapan medis. Tapi bagi Qisya, kata-katanya terasa seperti palu yang menghantam d**a. Otak suaminya cedera, membuatnya terbaring tanpa kesadaran. Dan kini, matanya terancam kehilangan cahaya.
Qisya ingin berteriak, ingin membanting semua rasa takut dan marah ke dinding rumah sakit ini. Tapi ia tahu, tak akan mengubah apapun. Yang bisa ia lakukan hanyalah menahan semuanya di dalam d**a, sambil terus berdoa Emran kuat menghadapi ini semua.
“Yang sabar ya, Nak. Ayah dan Ibu selalu di sini untukmu,” ucap Hartono, memeluk bahu putrinya.
Qisya mengangguk, mengusap air mata yang terus mengalir diam-diam.
*