Hod 52, Simpanan Rendi dan Bu Harja

1112 Words
Bu Harja mungkin tak pernah menyangka kalau suatu hari usahanya mengumpulkan dan menyimpan barang-barang Melia suatu saat akan berguna. Bu Harja semata hanya ingin menyimpan kenangan akan putri kesayangannya saja. Bahwa dia belum dapat melepas kepergian anaknya dengan sepenuh hati. Dia masih berharap suatu saat Melia akan kembali dan memggunakan barang-barang nya kembali. Tetapi siapa kira, calon menantunya datang kembali setelah sekian tahun berlalu. Dan barang-barang Melia mungkin menyimpan jawaban atas misteri hilangnya Melia. Irfan membersihkan semua kotak kardus dan peti-peti kayu yang telah diturunkan dari atap, dibantu oleh Pak Harja, Rendi dan Emran. Sementara Bu Harja menyiapkan makan siang di dapur. Ada begitu banyak barang Melia yang disimpan Bu Harja, membuat suaminya geleng-geleng kepala. Sedih atas kenangan yang ditinggal Melia tetapi lucu mengingat bagaimana Bu Harja bersusah payah menyembunyikan semuanya diam-diam di atap gudang. Rendi juga turut geleng-geleng kepala melihat keuletan ibunya dan bagaimana ibunya merahasiakan semuanya selama bertahun-tahun. Semua kotak dan peti sudah dibuka. Pakaian, barang-barang lainnya seperti buku-buku dan semua keperluan seorang anak gadis, tersimpan rapi dan sudah dibongkar. Saat jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, Bu Harja mengajak semuanya makan siang. Setelah satu jam, semua pria di meja makan langsung kembali ke gudang demi mencari jawaban. Semuanya bisa menjadi petunjuk sebenarnya. Hanya saja, mereka semua seperti sedang meraba-raba saja karena tidak ada petunjuk yang jelas. "Kita sama sekali tidak tahu apa yang kita cari. Ternyata Melia sama sekali tidak suka menyimpan benda-benda yang bisa dijadikan petunjuk. Tidak ada surat-surat, atau apa pun yang bisa diselidiki." Gumam Irfan menghela napas panjang. Dia terduduk dengan wajah letih. Sementara pak Harja juga sudah lebih dulu mengasih karena lelah. Bu Harja membawakan minuman dingin untuk semuanya, yang langsung diserbu Rendi karena sudah kehausan. "Em, apa kau tidak mendapat petunjuk sama sekali?" Tanya Irfan saat melihat Emran mengeluarkan setumpuk album Melia. "Tidak ada mas." Emran menjawab lemah. Dia sudah membuka penutup mata kirinya. Namun tidak ada yang datang memperlihatkan wujudnya. Bahkan ketika Emran berharap Aufa muncul untuk membantu, gadis kecil itu sama sekali menghilang, seperti ibunya juga. Padahal, Emran merasa satu-satunya yang bisa membantu memberi petunjuk apa yang harus mereka cari adalah Aufa. "Minumlah dulu, nak Emran. Nanti dilanjut pencariannya," ucap Bu Harja. "Iya, Bu. Terima kasih," jawab Emran. Tapi saat dia hendak meletakkan album-album Melia, tiba-tiba seperti ada kekuatan yang membuat salah satu album terjatuh ke lantai. "Astagfirullah!" Emran mengucap karena kaget. Album tersebut jatuh dan semua foto di dalamnya langsung berantakan di lantai. "Sudah, mas. Biar aku saja yang beresin. Mas minum aja dulu," ujar Rendi langsung memunguti foto-foto yang berserakan di lantai. " Baiklah, makasih Ren." "Sama-sama, Mas." "Kenapa foto-foto itu tidak disusun di album?" Komentar pak Harja. "Yang lainnya kan tersusun rapi." "Sepertinya itu belum sempat dimasukin ke plastik albumnya, Pak." Jawab Bu Harja. "Mungkin Melia belum sempat." Rendi mengumpulkan foto-foto tersebut dengan kening mengerut. "Ini bukan foto-foto mba Melia," serunya dengan suara kencang sampai semua terkejut. "Mbok ya kalo ngomong, suaramu itu dikendalikan, bisa gak, Ren?" Omel pak Harja menepuk-tepuk dadanya karena kaget. "Sabar, Pak," hibur Bu Harja tersenyum kecil. "Dikendalikan ... Hihihi. Kayak rudal aja," Rendi tertawa geli. "Tadi kau bilang itu bukan foto-foto melia, Ren? Maksudmu apa?" Tanya Irfan seraya ikut mengumpulkan foto-foto di lantai. "Ini semua foto-fotoku, Mas. Aku yang potret. Iseng aja. Tapi aku gak tau ternyata semua negatifnya dicetak sama mbak Melia." Rendi kemudia menceritakan bahwa beberapa tahun lalu, dia diterima kerja di salah satu studio foto. Di sana Rendi sempat belajar memotret menggunakan kamera dari studio foto tersebut. Lalu saat gajian, Rendi membeli beberapa rol film dan meminjam kamera studio untuk praktik memotret. Tapi karena Rendi masih malu, dia belum berani mencari objek foto di luar rumah. "Jadi aku memotret apa saja dari rumah ini, mas. Semua isi rumah, dan dari dapur ke halaman belakang atau dari teras ke halaman depan. Semua orang yang lewat depan rumah kupotret, bahkan aku mengambil gambar sampai ke ujung jalan." Apa yang diceritakan Rendi, memang benar. Semua foto-foto itu bukan berisi gambar Melia atau momen-momen keluarga. Isinya merupakan gambar seorang pemula. Foto jendela, pintu, langit-langit rumah, halaman belakang, ayam, bebek, kadang ayam, teras depan, sepeda, motor yang lewat, tetangga yang melintas dan semua yang Rendi anggap bisa menjadi objek latihan. "Kau suka fotografi, Ren?" Tanya Emran kemudian. "Iya, mas." "Dia hobi menghabiskan uang bapaknya saja. Sudah dibelikan kamera mahal-mahal, malah tidak dipakai. Percuma saja kan?" Omel Pak Harja lagi. "Kenapa begitu, Ren?" Tanya Emran lagi. Rendi menghela napas. "Malas mas. Aku udah gak semangat lagi." "Kok gitu? Bakat bagus harus diasah loh. Sayang kalau dibiarkan terpendam begitu saja." Lagi-lagi Rendi menghela napas berat. "Dulu aku semangat karena ada mbak Melia, mas. Satu-satunya orang yang sangat mendukung hobiku yah mbak Melia. Tapi setelah mbak Mel gak ada ...." "Kau jadi kehilangan semangat." Rendi mengangguk. "Melihat kamera, ingatanku langsung ke mbak Mel. Sedih rasanya mas. Perasaan jadi gimana, gitu." "Kau harus melepaskan diri dari trauma masa lalu, Ren," ujar Emran seperti seorang Abang ke adiknya. "Masa lalu itu letaknya di belakang. Tinggalkan jika hanya akan mengganggu saja. Jangan letakkan di depan, karena hanya akan menghalangi langkahmu saja." "Dengar itu, Ren. Ibu dan Bapak kan gak pernah melarangku jadi tukang potong," ujar Bu Harja membuat Rendi nyengir. "Siapa juga yang mau jadi tukang foto?" Gerutu Rendi manyun. "Lha, kalo kerjaannya motret-motret kan disebut kang foto. Apa maunya disebut jendral foto?" Komentar Pak Harja membuat Emran tergelak. "Tak semua orang berbakat menjadi fotografer, Ren. Kulihat foto-foto yang kamu ambil, angelnya bagus. Beberapa bahkan seperti diambil oleh seorang profesional." "Benarkah, mas?" Wajah Rendi memerah karena senang mendapat pujian dari Emran. "Iya. Aku tidak bohong." "Wah, makasih, mas. Semangatku kok timbul kembali ya? Mas sama persis dengan mbak Melia, sangat mendukungku." "Kapan kau mengambil gambar ini, Ren?" Tiba-tiba Irfan bertanya setelah semenjak tadi tidak berkomentar sama sekali. "Sudah lama banget mas." "Saat Melia belum dikabarkan menghilang, kan?" "Iya, mas." "Ini, kau ingat foto ini?" Irfan menunjukkan selembar foto yang menarik minatnya. Rendi melihat foto itu. Foto ujung jalan rumahnya, yang diambil dari teras rumah. Rendi ingat, dia banyak sekali mengambil foto dari teras rumahnya. Termasuk foto yang ditunjuk Irfan. "Ingat, mas. Aku mengambilnya dari teras." "Apa saat itu Melia ada di sini?" Rendi berpikir sejenak. Tetapi dia langsung mengangguk, saat melihat foto-foto lainnya. "Iya, mas. Mbak Mel sedang pulang ke rumah, saat aku mengambil foto ini. Ini, ada kelihatan sendal mbak Mel di foto lainnya." "Kenapa, mas?" Tanya Emran melihat foto yang diteliti Irfan dengan seksama itu. "Lalu lihat ada gambar dua mobil yang terparkir di ujung jalan, kan Em?" Emran mengangguk. "Iya mas." "Kau lihat mobil yang berwarna merah?" "Iya mas. Mas kenal dengan mobil itu?" "Itu type Crossover, Em. Dan sepertinya, aku tahu siapa yang pernah punya mobil seperti itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD