Hod 77, Aura Al Huzair

1136 Words
“Percayalah, Mel. Aku juga hampir gila kehilangan dirimu. Percayalah,” ucap Irfan ikut terisak. Rasanya sakit sekali membayangkan betapa Melia sangat menderita selama ini. Tentu saja wanita itu pasti akan histeris melihat kedatangannya sekarang. Dia sudah menunggu bertahun-tahun yang lalu untuk diselamatkan. Hanya mukjizat saja yang membuat Melia mampu bertahan dan dia bisa menemukannya kembali. “Percaya sama aku, Mel. Allah menjadi saksiku kalau aku mencarimu. Aku melakukan semuanya. Mencoba mencarimu denga semua cara yang terpikirkan olehku. Polisi, detektif bahkan aku juga bertanya pada orang-orang pintar. Tidak ada yang berhasil menemukanmu hingga aku berpikir kalau kau … sudah … tidak ada lagi di dunia ini, Mel.” Melia kembali menangis di dalam pelukan Irfan. Rasa lelah dan kepedihan yang selama ini ia rasakan, ditumpahkannya semuanya lewat gumaman dan air mata. Hingga dia lemah, letih dan akhirnya berhenti menyalahkan Irfan. Ditambah dilihatnya anaknya ikut menangis tersedu-sedu, hatinya melembut. Tangan kurusnya meraih gadis kecil itu dan memeluknya dengan erat. “Hapus air matamu, Mel,” Irfan mengusap pipi Melia dengan jari-jari tangannya. Mengeringkan air mata wanita itu dengan buku-buku jarinya. Kalau perlu dengan nyawanya. “Sudah cukup kau menangis, Mel. Jangan lagi. Kau harus bahagia sekarang. Kau sudah cukup menderita selama ini. penderitaan yang kau alami, bahkan tak mampu kubayangkan seperti apa rasanya. Jadi, tolong, Mel. Jangan menangis lagi. Aku tak sanggup melihatmu menangis seperti ini. Hatiku sudah pernah hancur saat kau mengilang dari hidupku. Sekarang, kau sudah kutemukan. Aku ingin kau bahagia dimulai dari sekarang. Ada aku, Mel. Aku yang akan mengganti semua penderitaan yang pernah kau rasakan.” Melia mengangguk. Kembali dipeluknya kekasihnya dengan erat, seakan dia takut kalau saat itu adalah hanya mimpi saja. Dia sudah berkali-kali, bahkan ratusan kali bermimpi Irfan datang dan menemukannya. Bahkan dia tak mampu lagi membedakan mana yang benar-benar mimpi atau hanya hayalannya saja, bahwa suatu hari Irfan akan datang mencarinya. Dan begitu akhirnya impiannya menjadi nyata, rasanya semua kepedihan yang pernah mendera hidupnya, sirna begitu saja seperti tanah kering yang dibasuh hujan. “Ba … bagaimana Mas bisa tahu kalau aku berada di sini?” tanya Melia di sela-sela tangis harunya. “Panjang ceritanya, Mel,” jawab Irfan cepat. “Nanti pasti aku akan menceritakannya kepadamu. Sekarang, aku ingin tahu, apa kau baik-baik saja? kau tidak dalam keadaan sakit, kan, Mel? Mengingat apa yang sudah kau alami, aku takut kau ….” “Aku baik-baik saja, Mas. Alhamdulillah, kami sehat-sehat saja,” Melia meraih gadis kecilnya dan memeluknya dengan erat. Irfan melihat ke anak perempuan yang berada di pelukan Melia tersebut. “Mel, gadis kecil ini … anakmu?” tanya Irfan akhirnya. Sudah sejak di luar tadi, begitu pertama sekali Emran menyebutnya Aufa, dia sudah penasaran ingin mengetahui kebenarannya. Benarkah semua yang telah disampaikan oleh Emran? Melia memeluk serta mencium kepala gadis kecilnya dengan penuh kasih sayang. “Iya, Mas. Ini anakku. Namanya Aura. Aura Al Huzair.” Mulut Irfan menganga. “Aku …,” Melia kembali menangis tersedu-sedu. “Saat mereka menculikku, sebenarnya … aku sedang menunggumu, Mas. Aku … baru saja tahu kalau aku hamil. Dan aku sedang menunggumu di apartemen untuk memberitahumi tentang hal itu. Tapi karena terlalu bahagia, aku jadi kurang waspada. Saat kudengar pintu diketuk, kukira kamu yang datang, Mas. Aku langsung membuka pintu tanpa memastikan siapa yang datang ….” Darah Irfan mendidih mendengar apa yang baru saja dikatakan Melia. Kalau saja orang tuanya masih hidup, sekarang juga dia akan datang untuk membalas dendam. “Kalau saja aku tidak sedang hamil dan akhirnya punya anak, mungkin aku sudah gila disekap selama bertahun-tahun, Mas,” ucap Melia terisak. Lalu wanita itu mencoba tersenyum sembil menghapus air matanya yang masih menetes. “Dan benar, Mas, dia adalah anakmu juga, Mas. Anak kita.” Irfan tak mampu berkata-kata. Dilihatnya gadis kecil berbola mata besar dan bulat yang sangat mirip dengan mata Melia itu, menatap takut-takut ke arahnya. “Aura sayang. Kau sering bertanya apakah kau punya Papa, kan? Dan Mama pernah berjanji suatu hari akan mempertemukanmu dengan Papamu, kan?” Aura tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya. Dia memandang Irfan dengan malu-malu. “Apakah Om ini … Papaku, Ma? Papa Irfan Al Huzair?” “Iya, sayang,” Melia kembali memeluk anaknya dengan perasaan bahagia. “Ini Papamu. Papa Irfan Al Huzair.” Irfan sebenarnya sudah tak sabar lagi ingin segera memeluk putrinya dengan erat. Namun dia tahu, tindakannya yang tiba-tiba, pasti hanya akan membuat Aura terkejut dan ketakutan. Irfan memutuskan untuk membuka kedua tangannya saja. Membiarkan gadis kecil itu memilih untuk memeluknya atau mengabaikannya. “Papa …,” Aura mendekat dan dengan gerakan hati-hati memeluk Irfan. Gadis kecil itu pasti sedang berpikir, bahwa tiba-tiba saja ada orang asing yang datang dan mengaku sebagai papanya. Dia tidak mengenal orang itu. Hingga dia harus lebih menyesuaikan diri. Ibunya sering mengatakan kalau terlalu banyak orang jahat di dunia ini. Ibunya ingin dia selalu waspada dan hati-hati kepada orang asing. Orang yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Orang seperti Irfan Al Huzair. “Aura …,” Irfan memeluk putrinya dengan erat. Tidak terlalu kuat demi tidak membuat gadis kecil itu merasa tak nyaman. Namun tiba-tiba dirasakannya Aura mengeratkan pelukannya lalu menangis sejadi-jadinya. “Papa …,” isaknya dengan muka menempel di tubuh Irfan. Bahu kurusnya naik turun karena terisak kecang. “Aura rindu Papa ….” “Papa juga sangat merindukan Aura, Sayang. Papa sangat rindu Aura,” ucap Irfan dengan perasaan haru. Diciumnya puncak kepala anak perempuannya berkali-kali demi memuaskan rasa rindunya yang teramat besar. “Papa akan mengajak kami pulang, kan? Mama bilang, Papa akan datang dan mengajak kami pulang. Tiap hari Aura menunggu Papa datang, sampai Aura capek.” Irfan mengangguk-angguk seraya menghapus air yang menggenang di matanya. “Iya, sayang. Papa akan membawa kalian pulang ke rumah kita. Jangan takut lagi ya sayang. Mulai sekarang, Papa akan selalu ada untukmu. Untuk kalian.” Aura menoleh ke arah ibunya. “Ma, apakah benar yang dikatakan Papa? Bahwa Papa akan membawa kita pulang? Papa gak akan menginggalkan kita lagi kan?” Melia mengangguk-angguk sambil membelai kepala putrinya. “Apa yang dikatakan oleh Papamu benar semuanya, Sayang. Papa akan membawa kita pulang dan tidak akan meninggalkan kita lagi. Kamu harus percaya pada Papamu, sayang.” Aura kembali memeluk Irfan dengan perasaan bahagia. * “Em, masuklah. Aku ingin memperkenalkanmu pada anak dan istriku,” terdengar suara Irfan membuat Emran segera masuk ke dalam rumah. Dilihatnya, Irfan menggandeng Melia dan putrinya dengan perasaan bahagia. “Kenalkan, Em. Ini Melia Dina Harja, istriku. Dan gadis kecil kesayanganku ini adalah putriku, Aura Al Huzair.” Emran segera mengucap salam kepada Melia dengan perasaan suka cita yang mendalam. Lalu pandangannya beralih ke anak perempuan berusia sekitar 9 tahun ternyata bernama Aura tersebut. “Aura … begitu mirip dengan Aufa,” ucap Emran menatap gadis itu dengan lekat. “A … apa?” tanya Melia tiba-tiba. Dia sangat terkejut mendengar Emran menyebut nama Aufa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD