Penantian Tak Berakhir Sia-sia

1219 Words
Qisya memandang Irfan dengan mata membelalak. “Apa? Jangan bercanda, Mas!” “Aku serius, Sya. Memang cuma sekilas, tapi aku yakin banget tadi sempat lihat jari suamimu bergerak. Dan juga… kelopak matanya,” ujar Irfan mantap. Ia ingin Qisya tahu bahwa ini bukan sekadar hiburan murahan di tengah kesedihan. Bahkan sehumoris-humorisnya dia, mana mungkin dia main-main soal kondisi suami adik sepupunya yang sedang koma? Refleks, Qisya langsung mendekat ke ranjang. Ia membelai rambut Emran dengan lembut, bibirnya bergetar. “Mas... kamu dengar aku, kan? Ini aku, Qisya. Mas Emran?” Irfan ikut mendekat. Ia menepuk pelan lengan iparnya. “Bro, barusan kau bangun, kan? Gerakin jarimu lagi, Bro, biar Qisya tahu juga.” Qisya menoleh ke Irfan, matanya sudah berkaca-kaca. “Kalau tadi itu bukan halusinasi, coba sekali lagi, Mas...” suaranya nyaris berbisik. Tapi Emran tetap diam. Tak ada gerakan. Tak ada respons. Hanya d**a yang naik turun perlahan, tanda napasnya masih ada. “Mungkin kita harus kasih tahu dokter, Sya,” kata Irfan dengan nada lebih serius. Qisya segera menekan bel panggil di sisi ranjang. Tak lama kemudian, seorang perawat masuk. “Saya tadi lihat jari dan kelopak mata adik saya bergerak, Sus,” ujar Irfan cepat, nyaris tak sabar. Perawat memeriksa kondisi Emran sebentar. “Mungkin itu hanya gerakan refleks, Pak. Tapi untuk memastikan, saya akan panggil dokter Wisnu.” Beberapa menit kemudian, dokter Wisnu masuk bersama perawat tadi. Ia langsung melakukan pemeriksaan menyeluruh—mata, respons pupil, pernapasan, hingga detak jantung. “Bagaimana, Dok? Bisa jadi itu tanda-tanda Mas Emran mulai sadar?” tanya Qisya, tak bisa menyembunyikan harapannya. Dokter Wisnu menatapnya tenang. “Saya belum bisa memastikan itu tanda kesadaran, Bu.” “Maksudnya?” suara Qisya mulai gemetar. “Pada pasien koma, kadang muncul gerakan refleks. Sama seperti saat kita tidur dan tiba-tiba tubuh kita bergerak tanpa sadar. Itu bukan respons sadar, melainkan kerja otot yang masih berjalan otomatis.” Harapan yang sempat menyala di mata Qisya langsung redup. Ia terduduk di kursi sebelah ranjang, tubuhnya lunglai. Jawaban dokter itu seperti menariknya kembali dari ujung cahaya ke lubang gelap yang sama: ketidakpastian. Irfan menepuk pelan bahu Qisya, mencoba menyemangatinya. “Jangan langsung kecewa begitu, Sya. Aku yakin Emran pasti akan sadar. Bener kan, Dok?” Dokter Wisnu mengangguk mantap. “Betul, Pak. Bu. Melihat perkembangan kondisi Pak Emran sejauh ini, saya optimis. Teruskan saja rutinitas yang selama ini Ibu lakukan—mengajak bicara, membacakan buku, atau sekadar menyentuhnya. Semua itu memberi stimulus yang positif bagi pasien koma. Kita sama-sama berharap, dalam waktu dekat, Pak Emran akan siuman.” Qisya mengangguk pelan. Meski hatinya masih sesak, ia tahu harus lebih sabar. Harapan adalah satu-satunya hal yang masih digenggamnya erat. Tak ada yang mustahil bagi Allah, batinnya. Ia percaya, suaminya—pria yang taat, yang tak pernah lupa sujud, yang rajin menyebut nama Tuhan—pasti akan diberi kesempatan kedua. Qisya tak pernah lelah memohon, setiap malam, agar Emran bisa kembali. Kembali untuknya. Untuk anak mereka. Tiba-tiba ponsel Irfan berdering. Ia harus kembali ke kafe. “Kalau sempat, besok aku mampir lagi,” katanya sambil bersiap pergi. “Kau butuh apa? Nanti aku bawain.” “Enggak usah.” “Masa sih? Gak pengen kopi kek, atau... martabak?” Qisya tersenyum kecil. “Ada. Bawain pacarmu aja.” Irfan langsung terbatuk. “Apa? Pacar?” “Iya. Kau gak salah dengar.” “Permintaan absurd!” Irfan terkekeh. “Kau tahu aku belum punya pacar.” “Makanya cari!” “Yaelah, emangnya cari pacar kayak nyari kucing hilang? Share poster di grup-grup pecinta kucing?” “Dunia udah di ambang kiamat, Mas, dan kau masih betah jomblo?” “Dunia belum kiamat, santai dulu lah!” “Jangan-jangan kau masih belum bisa move on dari yang dulu?” Pertanyaan itu membuat Irfan terdiam sejenak. Matanya menerawang. Wajah seseorang melintas dalam ingatannya, disusul serangkaian kenangan pahit. Sekilas, rona muram muncul di wajahnya. “Aku udah move on.” “Kudengar sekarang kau punya manajer baru? Perempuan?” Irfan mendengus. “Pasti Dion yang cerita.” “Dia bilang cantik.” “Memang cantik.” “Tapi?” “Bukan tipeku.” Qisya mengangkat alis, menggoda. “Fix. Kau masih belum bisa lepas dari yang terakhir.” Irfan menarik napas berat. “Kau tahu nggak? CEO jomblo itu nilainya tinggi di pasar!” “Kau ngomong kayak lagi melelang dirimu.” Mereka tertawa bersama. Rasanya seperti jeda singkat dari tekanan dan kesedihan. “Tenang aja, adikku. Akan datang waktunya aku temukan orang yang mau menua bersamaku.” “Jangan kelamaan, Mas. Barusan waktu kau sisir rambut, aku lihat ada uban!” Irfan tertawa keras sambil mengangkat tangan pamit. Langkahnya lebar dan ringan meninggalkan ruangan. Qisya membalikkan badan, kembali duduk di sisi ranjang suaminya. Ia menatap wajah Emran dengan lembut, seperti biasa. Tapi kali ini—detik itu juga—jantungnya serasa berhenti. Mata kanan Emran... terbuka. Lebar. * Qisya duduk di kursi di samping ranjang, matanya tak lepas dari sosok Emran yang kini duduk lemah di atas tempat tidur, diperiksa oleh dr. Wisnu. Hatinya menghangat. Melihat suaminya bisa duduk sendiri rasanya seperti mimpi yang jadi nyata. Beberapa menit sebelumnya, saat melihat mata kanan Emran tiba-tiba terbuka—sementara mata kirinya masih diperban—Qisya sempat panik. Ia langsung berlari keluar dan berteriak memanggil dokter. Irfan, yang baru saja menunggu lift, spontan berbalik arah dan berlari mendekati Qisya, mengira telah terjadi sesuatu yang buruk. Ia bahkan batal kembali ke kafe demi memastikan semuanya baik-baik saja. Tapi begitu melihat Emran siuman, ketegangan di d**a Irfan perlahan luruh. Wajahnya tampak lega saat dokter memeriksa seluruh tubuh Emran dengan saksama. Tak lama, kedua orang tua Qisya pun tiba setelah menerima telepon darinya. Dion sebenarnya ingin datang, tapi malam ini ia harus berjaga. Rani dan anak-anak terpaksa menunggu sampai besok pagi. Setelah pemeriksaan selesai, Emran tampak kelelahan. Dengan suara lemah, ia menggenggam tangan Qisya, memandang istrinya seolah hendak menebus waktu yang hilang. “Bagus sekali kalau Bapak merasa mengantuk. Silakan istirahat,” kata dr. Wisnu lembut. “Saya ingin bicara sebentar dengan Ibu Qisya.” “Iya, Mas. Tidurlah dulu. Aku di sini saja, seperti biasa,” bisik Qisya menenangkan. Emran mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. Setelah perawat membantunya kembali berbaring dan melepaskan beberapa selang, Emran langsung terlelap. Seakan tubuhnya memang haus akan istirahat yang benar-benar tenang. “Bagaimana, Dok?” tanya Qisya cepat begitu mereka keluar dari ruang perawatan. Ayah dan ibunya berdiri di samping, menunggu jawaban dengan cemas. Irfan yang sempat menemani, terpaksa pamit karena ponselnya kembali berdering. Ia benar-benar harus kembali ke kafenya. “Secara keseluruhan, kondisi Pak Emran sangat baik,” ujar dr. Wisnu, tersenyum. “Beliau sudah tidak memerlukan alat bantu oksigen maupun mesin pendukung lainnya.” “Alhamdulillah,” ucap Qisya bersamaan dengan kedua orang tuanya. “Saya percaya, pemulihan ini banyak dipengaruhi oleh perawatan Ibu Qisya sendiri. Dukungan emosional itu sangat penting. Besok, dokter spesialis mata akan memeriksa kondisi mata kirinya. Kita berharap kerusakannya tidak sebesar yang kita khawatirkan.” Qisya kembali mengucap syukur dalam hati. Emran telah kembali. Kondisinya stabil, tubuhnya perlahan membaik. Bahkan jika tidak ada komplikasi, ia bisa mulai belajar duduk dan berjalan dalam beberapa hari ke depan—meskipun butuh waktu untuk memulihkan kaki yang sempat retak. Namun satu hal masih membebani hatinya: mata kiri Emran. ‘Tolong jangan sampai buta, ya Allah,’ doa Qisya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD