Hod 56, Kemarahan Irfan dari Masa Lalu

1193 Words
Mendengar Qisya mengucap di ujung telepon, membuat Emran sedikit kaget. Kenapa istrinya seperti terkejut begitu saat mendengar nama Pak Diman? “Kenapa, Sya? Kamu pasti kenal sama Pak Diman, ya?” tanya Emran kemudian sambil memastikan semua pintu mobil sudah terkunci rapat dan mengeluarkan semua barang bawaan mereka. “Kenal banget, Mas,” jawab Qisya cepat. “Ya, kata Mas Irfan, dia tukang kebun keluarga mereka.” “Bukan hanya tukang kebun, Mas.” “Hm? Maksudnya?” “Sebenarnya lebih dari pada itu.” “Wah. Seru nih.” Terdengar Qisya tertawa. “Nanti mas juga bakal tahu sendiri kok. Yaudah, buruan mas nyusul buat makan bareng. Nanti masuk angin, loh.” “Gakpapa, dong sayang. Kan ada istri buat mijitin.” “Jadi punya istri itu buat mijitin aja?” “Buat disayang-sayang dong.” “Alhamdulillah.” Emran tertawa. “Oke deh sayang, aku naik dulu. Kamu di rumah baik-baik ya. Jangan lupa kunci semua pintu dan jendela.” “Siap, Komandan!” Emran mendecak geram. Setelah mengucap salam, dia menutup telepondan memasukan ponselnya ke saku celana. Di pos sekuriti basement, dia melihat ada Dion dan Pak Surya sedang berjaga. Mereka saling sapa sejenak, sebelum Emran memasuki lift. “Mas!” Emran langsung menahan pintu lift ketika mendengar panggilan Dion. “Ada apa, Yon?” “Aku dan Rani pingin berkunjung ke rumah. Ada hal yang ingin kami bincangkan.” “Oh, kenapa pake bilang segala, Yon? Kan tinggal datang aja ke rumah.” “Iya, Mas. Heheheh. Soalnya takut Mas sibuk atau capek. Kudengar Mas bareng Mas Irfan sedang dalam pencarian seseorang. Apa sudah ketemu, mas?” “Belum, Yon.” “Oh, kalau begitu, nanti saja kami ke rumah, kalau urusan dengan Mas Irfan sudah kelar.” Emran mengangguk. “Oke, Yon. Kapan pun kalian mau datang, pintu rumah selalu terbuka. Lagi pula, kau kan adikku.” “Iya, Mas. Makasih banyak.” “Sama-sama, Yon. Kembalilah ke Pos. Nanti Pak Surya mikir yang bukan-bukan.” “Baik, Mas.” Emran melepas tangannya hingga pintu lift bergerak menutup. Tak sampai satu menit, pintu lift terbuka dan dia sudah berada di lantai tiga. Dia lupa bertanya pada Irfan mereka akan makan di mana. Tetapi salah satu pelayan menyampaikan padanya kalau Irfan sedang menunggunya di Vip room di lantai tiga. “Masuk, Em,” terdengar suara Irfan begitu Emran mengetuk pintu kamar. Emran masuk setelah mengucap salam. Dilihatnya, Irfan dan Pak Diman sudah duduk santai di lantai, karena tema makan malam mereka ternyata lesehan. Dan di atas meja, sudah terhidang begitu banyak jenis menu makanan seolah mereka sedang mengadakan acara makan malam untuk 10 orang. Dan kelihatannya, Pak Diman sudah membersihkan dirinya di toilet, hingga wajahnya terlihat agak lebih segar dari saat mereka melihat pertama sekali. “Silakan, Pak. Makan apa pun yang Bapak inginkan. Semua ini kupesan untuk kita habiskan bersama.” Pak Diman tampak menelan ludah. Mungkin dia memang sudah sangat kelaparan. Atau dia sangat terpesona melihat betapa banyak makanan yang dihidangkan padahal mereka hanya bertiga. Pak Diman memandang Irfan. “Tuan, kau mendatangiku pasti bukan karena kangen, kan?” tanyanya membuat Irfan dan Emran terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga kalau Pak Diman bisa langsung bertanya ke inti dari pertemuan mereka. Bahkan sebelum mereka mulai makan. Irfan menghela napas. Lalu mulai menuang nasi ke piring Pak Diman dan Emran. sementara dia sendiri sudah sejak lama tidak menyukai nasi. Irfan memilih Potato Gratin, menu yang dibuat dari kentang dan keju. “Kalau aku berkata jujur, apakah kau akan percaya?” tanyanya kemudian. Pak Diman memandang Irfan dengan air muka bersungguh-sungguh. Lalu mengangguk. “Aku akan percaya.” Irfan mengangguk. “Aku tak pernah rindu pada siapa pun di atas dunia ini. Termasuk dirimu.” Pak Diman menghela napas. Dia tersenyum tipis dan mulai menuang beberapa menu lain ke piringnya. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Irfan yang ternyata sama sekali tidak ingin berbasa basi. “Tapi aku sering memikirkanmu!” Tangan Pak Diman berhenti menyendok lauknya. Dia menoleh ke arah Irfan. “Tuan, apa pun yang telah terjadi di masa lalu, telah membuatmu menjadi seperti ini, kan?” Irfan membalas pandangan Pak Dimana. Ada sedikit ketegangan di antara mereka. “Aku tahu restoran ini milikmu, Tuan. Kau juga memiliki beberapa cabang di seluruh Indonesia dan bahkan ada juga di Malaysia dan Singapura.” “Kau membacanya di internet.” “Tidak. Aku mengikuti perkembanganmu, Tuan. Iya, mungkin kau sudah melupakanku. Siapalah aku sampai kau harus mengingatku. Tetapi, coba kau pikirkan sekali lagi. Kalau dahulu orang-orang di sekitarmu tidak seperti itu, apa mungkin kau akan menjadi sesukses ini?” Irfan langsung menghempaskan sendoknya. “Kau pikir cara kalian semua itu sudah benar? Kalian! Kau! Kau lupa kalau aku sudah hampir gila saat itu? Aku bahkan lebih memilih untuk mati saja!” “Mas …,” Emran memegang bahu Irfan untuk menenangkan emosinya. “Bukankah kita sebaiknya makan dulu? Jujur saja, aku sangat kelaparan, Mas.” “Tuan,” tiba-tiba Pak Diman memegang tangan Irfan dan menggenggamnya dengan kuat. “Aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Aku sudah kehilangan anakku karena aku tidak patuh pada ayahmu. Satu-satunya cara agar aku tak kehilanganmu juga, aku harus mematuhi semua perintah ayahmu. Tolong jangan benci aku, Tuan. Aku memang sangat keras padamu saat itu. Tetapi percayalah, bagaimana kau terluka dan menangis, aku juga merasakannya. Kau mungkin melihatku sebagai sosok penjaga kejam yang tak punya rasa kasihan kepadamu. Tetapi percayalah, diam-diam aku menangis di belakangmu karena semua yang kulakukan bertentangan dengan hati nuraniku. Tuan! Selama ini aku tidak sempat menyampaikannya kepadamu. Aku sudah berdoa tiap hari agar kita dipertemukan kembali. Tetapi, mungkin karena aku sudah terlalu menyakiti hatimu, doaku tidak pernah dikabulkan Allah. Sudah lama juga aku ingin datang ke sini. Pura-pura menjadi tamu restoranmu. Tetap bagaimana mungkin? Untuk membeli air mineral saja aku tak mampu. Tetapi walau bagaimana pun, kau harus tahu, Tuan! Sebelum aku mati, kau harus tahu apa yang kurasakan semenjak kau kecil, Aku sangat menyayangimu. Aku sangat menyayangimu! Huhuhu!” Irfan langsung memeluk pria tua renta yang menangis tersedu-sedu itu. Dia sama sekali taidak menduga semua akan menjadi seperti ini. Irfan sebenarnya tak ingin marah. Terlebih dia tak mau melukai orang yang selama ini telah menjaganya. Terlepas dari betapa Irfan sangat membenci tukang kebunnya saat it, tetapi Irfan menyadari bahwa hanya orang tua itu tempatnya mengadu. Bahkan Irfan mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang hanya dari kedua orang tua yang tak ada hubungan darah dengannya itu. Tetapi memang, saat itu Irfan melihat kalau Pak Diman dan Istrinya dibayar mahal untuk menyayanginya. Jika saja ayahnya tak membayar, mungkin Pak Diman dan Istrinya tidak akan melihatnya walau hanya sebelah mata sekalipun. Emran menghela napas. Alhamdulillah, apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Irfan melunak saat mendekap orang tua tersebut dengan mata mererah menahan air mata yang ingin berloba keluar. Sementara Pak Diman menangis lebih keras lagi, menumpahkan segala kerinduannya selama bertahun-tahun ini. Tiba-tiba ponsel Emran berdenting. Ada pesan masuk. Saat dilihatnya, ternyata itu pesan dari Qisya. Entah atas dorongan apa, Qisya mengirim chat yang berisi rahasia Pak Diman di masa lalu, yang menyebabkannya tadi mengucap saat mendengar nama Pak Diman disebutkannya. Emran membaca chat tersebut dan raut wajahnya langsung berubah. Perubahan itu sempat terlihat oleh Irfan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD