Hod 14, Makan Malam Bersama

1563 Words
Kerinduan yang membuncah antara seorang anak dan ayah, tergambar jelas sangat jelas. Emran tak habis-habisnya mencium putranya yang kini duduk di pangkuan. Sementara Zidan memeluk erat Papanya, begitu kuat membenamkan mukanya di leher Emran, seolah tak ingin berpisah lagi. Keduanya bagai memiliki dunia ini sendirian saja. orang lain yang berada di rumah itu tak terlihat sama sekali. Padahal, Hartono dan Sukma juga duduk tak jauh dari keduanya. Rani di dapur menyiapkan makanan dan minuman, sementara Qisya mondar-mandir dari kamar tidur ke kamar mandi, membenahi segala sesuatunya mengingat kamar-kamar tersebut hampir tak terpakai selama Emran dan Qisya menginap di rumah sakit. Juga ada ada begitu banyak baju kotor yang terpaksa harus dibawa ke laundry. “Papa nda igi agi, tan?” terdengar suara halus Zidan dari mulutnya yang masih menempel di leher Papanya. Emran mengangguk dan mencium pipi putranya. “Tentu, Sayang. Papa gak akan pergi-pergi lagi. Kecuali berangkat kerja.” Zidan melepaskan dekapannya sebentar, mencium pipi Papanya lalu kembali memeluknya dengan erat, sampai Emran hampir saja terjatuh dari sofa. Sukma mencolek suaminya, memperlihatkan momen mengharukan tersebut sambil tertawa kecil. “Zidan sampai tak melihat kita sama sekali. Padahal sebelumnya, Zidan menempel pada kita.” “Biarlah mereka melepas rindu,” ucap Hartono tergelak. Qisya menghela napas panjang setelah semuanya sudah dibenahi. Kamar sudah rapi. Kamar mandi juga sudah berisi air hangat dan baju-baju kotor siap dijemput oleh arang dari laundry langganannya. Qisya menjumpai Rani yang sedang menyiapkan meja makan bersama asisten rumah tangga Qisya. “Dion sudah sampai di mana, Ran?” Rani mengelap tangannya dengan celemek. “Barusan Bang Dion nelepon, katanya sudah sampai di simpang kompleks, Kak.” “Bagus deh. Jadi kita bisa makan malam bareng,” ucap Qisya senang. “Iya, Kak. Sekalian jemput anak-anak pulang juga.” “Loh, mau pulang malam ini juga?” tanya Qisya cepat. “Gak nunggu besok saja?” “Aku sih terserah sama Bang Dion aja, Kak. Tapi kayaknya Bang Dion sudah kangen juga sama anak-anaknya,” jawab Rani tersenyum. “Kangen istrinya, kali,” goda Qisya tertawa. Rani tergelak. “Kalo menurutku, pastinya itu, Kak.” Kedua wanita itu kembali tertawa. Suara klakson dari mobil yang masuk ke halaman rumah, menandakan Dion sudah sampai. Dan begitu mendengar suara ayah mereka, kedua anak kembar Dion dan Rani langsung terbangun. Sama seperti Zidan, ternyata anak-anak itu juga merindukan ayah mereka, meski setiap hari Dion menyempatkan datang mengunjungi sebelum dan sepulang dari kerja. “Gimana kabarnya, Bang?” Dion menyalami abang iparnya tersebut lalu keduanya berpelukan erat. Zidan masih tetap menggelayut di gendongan Emran dengan tangan mengunci erat leher Papanya. Sementara anak kembar Dion ternyata sudah keluar dari kamar dan langsung merangkul kedua kakinya. Melihat kondisi tersebut, semua orang yang ada di rumah tersebut tertawa geli. Menit berikutnya, Rani dan Qisya mengajak semuanya untuk makan malam bersama. Termasuk anak-anak balita mereka yang dibantu makan oleh baby sitter Rani. Makan malam yang dipersiapkan oleh Rani, lebih istimewa sesuai dengan permintaan Qisya. Hampir semuanya makan kesukaan Emran, tentu saja. Ayam bakar, ikan bakar sampai terong dan pete bakar. Itu semua yang disukai Emran, makanan yang serba dibakar. Sementara menu lainnya, mewakili kesukaan lainnya. Gulai, sop, beragam sayuran dan sambal. Semuanya menikmati makan malam tersebut dengan hati gembira, mengingat malam ini Emran bisa berkumpul kembali di tengah-tengah mereka, setelah hampir satu setengah bulan berada di rumah sakit. Sayangnya Irfan tidak turut dalam acara makan malam tersebut. “Gimana ya bang rasanya koma selama sebulan? Gak kebayang, dah!” komentar Dion ketika topik pembicaraan mereka jatuh ke arah kecelakaan yang menimpa Emran. “Kenapa, Yon? Pingin?” goda Emran. “Oh, tentu saja tidak, Bang. Jangan sampai dah … hahahaha!” “Iya, Yon, demi Allah, jangan sampai salah satu di antara kita mengalaminya lagi. Tidak sadarkan diri atau koma sama sekali berbeda dari kondisi tidur malam atau siang yang kita lakukan setiap hari.” “Memangnya apa yang abang rasakan saat itu? Apa abang mengalami mimpi juga?” tanya Dion masih penasaran. “Aku juga tak begitu paham bagaimana rasanya, Yon. Yang pasti, saat itu aku merasa sedang melayang-layang entah di mana. Begitu sadar, aku berada di tempat asing. Belum pernah kulihat sebelumnya. Lalu hilang, seakan waktu berhenti. Dan kemudian terbangun di tempat yang juga tak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Sesekali aku berada di sebuah ruang kosong yang amat luas. Terkadang ruangan itu terang menyilaukan. Lalu gelap dan menakutkan. Sesekali aku mendengar suara-suara aneh. Tetapi kemudian kesunyian mencekam hingga telinga terasa pengang.” “Aku membacakan mu novel setiap hari, Mas,” gumam Qisya sambil menuang minuman ke gelas suaminya yang sudah kosong. “Apa Mas mendengarnya?” Emran berpikir sejenak sambil menatap istrinya. “Percaya atau tidak, aku mendengarnya, Sya.” “Benarkah?” “Aku juga mendengar musik-musik. Dokter mengatakan kau juga memperdengarkan musik dan lagu-lagu.” Qisya mengangguk sambil tersenyum. “Dan suaramu saat mengaji.” “Wah, Kakak memang the best!” puji Dion. Tak mau ketinggalan, Hartono, Sukma dan Rani juga mengajukan beberapa pertanyaan demi memuaskan rasa ingin tahu mereka tentang apa yang dirasakan oleh Emran. Dari semua jawaban Emran kepada keluarganya, hanya ada satu yang tak dapat dikatakannya. Sebuah rahasia yang bahkan tak pernah diberitahu nya kepada Qisya, istrinya. Emran berpikir, itu hanya sebuah mimpi yang tak penting dan tak memiliki arti sama sekali. Tak ada gunanya juga diberitahu kepada Qisya. Lagi pula, dia sendiri juga tak ingin mengingat mimpi yang selalu membuatnya tak nyaman itu. Selain itu, semua orang juga ingin tahu versi sebenarnya dari kecelakaan itu. Mereka memang sudah mendengar dari Qisya. Namun pasti akan berbeda jika mendengar langsung dari Emran. “Siapa ya kira-kira yang menyerempet abang?” geram Dion. Wajahnya tampak mengetat. “Entahlah, Yon. Pasti aku sudah sangat membuatnya marah, sampai dia balas dendam mencelakai ku dengan cara seperti itu.” “Berani sekali orang itu mengibarkan bendera perang terhadap keluarga kita. Belum tahu dia kalau laki-laki di keluarga kita sangat banyak?” “Jangan macam-macam, kamu, Yon! Jangan coba-coba menjadi jagoan!” Hartono langsung memberi peringatan kepada anak laik-lakinya tersebut. Dia tahu sekali watak Dion yang masih berapi-api. Sebulan setengah yang lalu, ketika kecelakaan Emran terjadi, Dion sudah sempat mengancam semua orang di café. Untung saja Irfan langsung menengahi konflik tersebut dan meminta Dion untuk menahan diri. Untungnya, Dian memang sangat patuh, baik pada Irfan, maupun ayahnya, Hartono. “Baik, Pa.” “Jangan sampai kejadian di tempat kerjamu terjadi lagi. Serahkan saja semuanya kepada polisi. Mereka pasti bisa menangkap pelakunya.” “Baik, Pa.” Rani menyentuh tangan suaminya, lalu melirik ke arah anak-anak kembar mereka, seolah mengingatkan kalau Dion memiliki anak-anak yang masih membutuhkan sosok Papa. Jandi jangan sok jagoan. “Iya, istriku Sayang. Aku gak akan macam-macam lagi. Kapok, dah! Tobat!” janji Dion membuat semua tertawa. Usai makan malam, mereka semua pindah ke ruang keluarga untuk melanjutkan obrolan. Qisya dan baby sitter membawa anak-anak ke kamar karena sudah tertidur. Sementara Rani menyiapkan makanan kecil dan kopi. Saat yang sama, mereka mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Tampak itu itu mobil Irfan. “Akhirnya anak itu datang juga,” ujar Sukma bangkit dari tempat duduknya. “Biar aku saja yang membuka pintu, Ma. Mama duduk saja, ya?” tahan Emran kepada ibu mertuanya. “Iya, biar Emran saja, dia harus banyak bergerak mengingat sebulan lebih dia tidur saja. pasti rasanya capek banget,” ujar Hartono yang langsung disambut anggukan kepala Emran. “Iya, Papa benar sekali,” Emran tertawa kecil sambil melangkah ke pintu. Irfan barus saja keluar dari mobilnya ketika Emran membuka pintu. “Halo, brother!” sapa owner café yang selalu berpenampilan parlente tersebut. Emran melambaikan tangan. “Halo juga, Bro,” sambutnya. Mereka pun bersalaman dan berpelukan. Tepat pada saat itu, Emran melihat seorang anak perempuan kecil keluar dari mobil Irfan. “Abang bawa anak siapa tuh? Berikut Mamanya, gak?” goda Emran tergelak. Namun Irfan tak ikut tertawa. “Anak siapa?” tanyanya bingung. “Anak perempuan yang baru keluar dari mobilmu.” Irfan menoleh ke arah mobilnya. Lalu tertawa lebar. “Ah, lu ngeprank gua, ya?” “Maksudnya?” “Aku tidak membawa siapa pun!” ucap Irfan seraya masuk ke dalam rumah. Sementara Emran kembali melihat ke arah mobil. Dan benar saja. Anak perempuan tadi tidak ada di sana. Emran merasa ada yang salah. Dia tidak mungkin salah lihat. Jelas-jelas tadi dia melihat ada anak perempuan menyusul keluar dari mobil. Atau apa anak itu kembali masuk? Tetapi jika benar anak itu ada, kenapa Irfan mengatakan tidak membawa siapapun? Emran sangat penasaran. Dia mendatangi mobil Irfan dan melihat ke dalamnya. Penerangan di halaman rumahnya cukup terang. Dia bisa melihat ke dalam mobil tersebut kalau tidak ada siapa pun di sana. Bahkan di jok depan juga tidak ada siapa-siapa. Jadi benar Irfan memang tidak membawa siapa pun. Tetapi kenapa dia tadi bisa melihat ada anak kecil yang keluar dari mobil? “Apa aku salah lihat ya?” gumam Emran mengerutkan keningnya. Saat hendak masuk, masih sempat Emran melihat ke arah mobil lagi. Tidak ada anak perempuan kecil di sana. Tetapi Emran melihat seorang perempuan tua di depan gerbang rumah tetangganya. Nek Rima! Sontak Emran terkejut. Bukankah tadi Qisya bilang Nek Rima sudah meninggal? Lalu … lalu … siapa yang barusan dilihatnya? Emran kembali menoleh ke rumah sebelah. Tidak ada siapa pun di sana. Emran merasa sedang berhalusinasi. Mungkin karena otaknya terlalu lama tidak berfungsi selama mengalami koma. Akibatnya … dia mulai berhalusinasi! Iya, itulah jawabannya! ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD