Mendengar ucapan Emran barusan, tubuh Irfan menegang seketika. Di dalam hatinya, ia menyimpan harapan besar untuk menemukan Aufa—anak yang belum pernah sekalipun ia lihat dengan mata kepala sendiri. Bahkan jika yang ia temukan hanyalah jasadnya, Irfan siap menerimanya dengan ikhlas. Ia percaya, segala hal yang terjadi dalam hidupnya adalah bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Bahkan ketika takdir itu memberinya orang tua yang justru merenggut orang-orang yang paling ia cintai. “Mas?” Emran memanggil, menyadari bahwa Irfan hanya diam melamun. Padahal, sudah hampir satu menit ia memarkirkan mobil di pinggir jalan—tepat di depan sebuah jalan sempit yang tak bisa dilalui kendaraan. Irfan tersentak, seolah baru tersadar dari pikirannya. Ia menarik napas panjang, menyia

