Hod 3, Trauma Parah Pada Mata

1596 Words
Jawaban yang diberikan Iptu Haris Gunandar membuat Qisya sangat terkejut. Dipandangnya polisi bertubuh tinggi besar di sebelahnya dengan mata memerah dan terbelalak. “Maksudnya apa, Pak? Saya masih belum dapat mencerna penjelasan Bapak. Mohon maaf ….” “Oh, tidak perlu meminta maaf, Bu. Anda tidak bersalah. Saya yang seharusnya meminta maaf karena telah membuat ibu terkejut dan merasa cemas. Tentu saja apa yang barusan saya katakan bisa membuat anda bingung. Atau tidak percaya. Namun dari hasil penyelidikan kami, memang ada beberapa saksi yang mengatakan bahwa ada sebuah truk yang mengikuti saudara Emran. Lalu saksi lainnya, mereka melihat sebuah truk yang seperti sengaja menyerempet kendaraan saudara Emran. Tetapi untuk pastinya, anggota saya sedang menyelidiki semua kesaksian tersebut dan memastikan kebenaran serta keakuratan nya.” Sesak rasanya perasaan Qisya mendengar penjelasan inspektur polisi tersebut. Sebagai seorang reporter televisi, Qisya sering melihat begitu banyak peristiwa kecelakaan. Bahkan dia juga pernah meliput beberapa peristiwa yang serupa. Namun apa yang dirasakan ternyata sudah tak bisa sama jika yang mengalami adalah keluarga sendiri. Terlebih belahan jiwa kita sendiri. Kaki Qisya seolah melemas tak bertenaga hingga tak sanggup menopang tubuh. Qisya terduduk di kursi tunggu. Seluruh tulang-tulangnya terasa ngilu dan ingin copot. “Rasanya sulit dipercaya jika benar ada yang ingin mencelakai suami saya, Pak. Mas Emran tidak pernah bermasalah dengan siapa pun. Dia sangat anti permusuhan. Lima tahun menikah, kami tidak pernah bertengkar. Mas Emran selalu menghindari permasalahan. Dia lebih memilih berdiam diri saja demi dari pada terlibat dalam masalah. Mas Emran paling tidak suka beradu debat. Apa lagi berkelahi. Suami saya tidak mungkin punya musuh. Saya berani jamin, Pak.” “Dari informasi yang saya dapat, saudara Emran bekerja di sebuah cafe bernama Millenial. Sudah berapa lama suami anda bekerja di café tersebut, Bu?” “Belum lama, Pak. Baru sekitar setengah tahun ini.” “Sebelumnya saudara Emran bekerja di mana?” “Di sebuah perusahaan periklanan, sebagai staf keuangan.” “Hm … tampaknya cukup jauh lompatan yang suami anda lakukan ya, Bu. Dari staf keuangan menjadi kepala sekuriti.” “Begitulah, Pak. Suami saya merasa lelah bekerja di balik meja selama hampir sepanjang hidupnya. Itulah mengapa ketika saudara sepupu saya menawarkannya untuk mengisi kekosongan sebagai kepala sekuriti di cafenya, suami saya langsung menerimanya.” “Maksud anda, café Millenial itu milik sepupu anda?” Qisya mengangguk. “Benar, Pak. Irfan Huzair, CEO cafe tersebut adalah Kakak sepupu saya. Ayah kami bersaudara kandung.” Iptu Haris Gunandar mengangguk-angguk. “Dan saudara Emran langsung menempati posisi paling tinggi di departemen keamanan cafe tersebut tanpa harus melalui test atau tahapan-tahapan, tampaknya?" Qisya mengangguk. "Sepertinya begitu, Pak. Karena cafe Millenial termasuk perusahaan keluarga, mungkin karena itu Irfan memberikan posisi penting pada keluarga sendiri. Apakah itu salah, Pak?" "Oh, itu sama sekali tidak salah, Bu. Sebelumnya, saya tidak tahu kalau cafe Millenial adalah bisnis keluarga. Namun, meski begitu, tak menutup kemungkinan ada yang tidak menyukai keputusan tersebut. Saya khawatir hal itu bisa menjadi penyebab utama kejadian kecelakaan yang menimpa suami anda. Kita tidak pernah tahu seratus persen bagaimana cara berpikir orang lain. Apakah mereka memandang cara kerja sepupu Anda itu sudah cukup bijaksana atau malah menuai persaingan, dan permusuhan.” Qisya menelan ludah. Mencoba mencerna analisa polisi di hadapannya tersebut. “Entahlah. Tetapi apa yang barusan bapak sampaikan itu memang masuk akal. Bisa jadi pengangkatan Mas Emran menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial, meski pun rasanya itu tidak mungkin.” “Hm … bagaimana bisa tidak mungkin, Bu?” “Saya sangat kenal dengan Kakak sepupu saya. Mas Irfan memang menjalankan usahanya dengan stylenya sendiri. Dia terlalu santai dan tidak ingin terikat dengan peraturan-peraturan. Saat tahu suami saya memiliki ilmu bela diri dan punya jiwa kepemimpinan, dia sendiri yang menawarkan pekerjaan tersebut. Dan aku rasa, semua anak buahnya, semua orang yang bekerja di bawah kepemimpinan Mas Irfan, mengetahui bagaimana sifat dan karakter atasan mereka." "Mestinya begitu." "Tapi ... tapi apa mungkin kira-kira ada yang tidak suka dengan kehadiran suami saya di sana?” “Saya tidak ingin mengatakan hal-hal yang akan membuat anda ketakutan lagi, Bu. Tetapi bukan tak mungkin ada musuh di sekitar suami anda." "Ya Allah ...." "Ada kemungkinan di tempat kerja yang lama, atau di tempat yang baru. Atau di luar rumah. Kemungkinan itu selalu ada. Namun jangan kuatir, Bu. Semua akan terjawab saat penyelidikan sudah mengeluarkan hasil. Kami berupaya sekeras mungkin mengungkap kasus ini. Untuk saat ini, kita harus bersabar menunggu hasilnya. Termasuk visum dan pemeriksaan dari dokter saat selesai mengoperasi saudara Emran nanti.” Qisya mengangguk. Beragam pertanyaan berdatangan ke benaknya. Apa benar suaminya memiliki musuh karena langsung mendapatkan pekerjaan sebagai kepala sekuriti? Apa benar ada yang sakit hati? Kakak sepupunya sudah lama menjalankan bisnisnya. Bisa saja karyawan lama, terutama sekuriti yang telah bekerja lama, mungkin bertahun-tahun di Café Millenial, sudah lama menginginkan jabatan tersebut. Namun tiba-tiba ada orang baru yang langsung diangkat tanpa harus menjalani proses. Mungkinkah orang itu marah dan sakit hati lalu merencanakan untuk mencelakai suaminya? Perasaan Qisya rasanya sangat tidak nyaman membayangkan hal buruk tersebut. Jika benar kecelakaan yang dialami Mas Emran memang disengaja, Qisya tidak akan tinggal diam. Dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari tahu siapa yang telah mencelakai suaminya. “Qisya!” Sebuah suara menyela keheningan di beberapa detik yang terjadi antara Qisya dan Iptu Haris. Seorang pria tampan melangkah lebar mendekat. Jasnya tampak berkibar karena gerakannya begitu cepat. Ada gurat khawatir di wajahnya. Di belakangnya, menyusul dua orang yang diketahui Qisya sebagai pengawal. “Mas Irfan,” Qisya langsung berdiri, disusul oleh Iptu Haris yang juga melihat ke arah orang yang namanya disebut oleh Qisya. Irfan Huzair, Kakak sepupu Qisya, pemilik cafe Millenial yang baru saja mereka obrolkan tadi segera menghampiri Qisya. Merangkulnya sekilas lalu membisikkan kata-kata penghiburan. Lalu menyuruhnya kembali duduk. Menit berikutnya dia menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan polisi yang berdiri di samping Qisya. “Iptu Haris Gunandar.” “Irfan Huzair. Saya owner café Millenial tempat Emran bekerja. Dan kebetulan juga sepupu kandung Qisya.” “Iya, Bu Qisya sudah cerita sedikit tentang anda tadi.” “Jadi bagaimana, Pak? Apa benar kecelakaan adik iparku ada unsur kesengajaannya? Soalnya, saya tahu sekali bagaimana lokasi kecelakaan tersebut. Bisa dibilang, lokasi itu jarang terjadi kecelakaan. Di sana jalanannya tidak rusak dan penerangan juga bagus. Jika bukan karena tiba-tiba adik iparku mengantuk, atau rem motornya putus, kurasa pastilah ada yang ingin mencelakainya!" “Itulah yang sedang saya selidiki saat ini. Beberapa saksi di tempat kejadian perkara sempat melihat sebuah truk yang tampak sengaja mendesak kendaraan saudara Emran ke tepi jalan agar terjatuh ke jurang. Namun karena hari masih gelap, tidak ada yang melihat kejadiannya secara pasti. Kami akan mengumpulkan semua informasi dan keterangan untuk memastikannya.” “Tetapi rasanya aku tak percaya kalau ada orang yang hendak mencelakai Emran,” gumam Irfan dengan kening mengerut. Sesaat dia mengumpulkan ingatan-ingatan perihal suami dari adik sepupunya tersebut. “Sepanjang yang kuketahui, Emran adalah orang paling baik yang pernah kukenal. Dia tidak pernah macam-macam.” Iptu Haris mengangguk-angguk. “Bu Qisya juga mengatakan hal yang sama. Tetapi apa ada kemungkinan saudara Emran sedang dalam pengaruh alkohol atau …” “Maksudnya mabuk? Itu tak mungkin! Emran tidak minum alkohol sama sekali. Meski sebenarnya dia mendapatkan jatah makanan dan minuman jenis apa saja dari café, namun Emran tak pernah mau mengambilnya. Lebih tepatnya, jangankan miras, minuman bersoda saja dia gak mau menyentuhnya. Emran hanya meminum air putih atau kopi.” “Baiklah. Informasi tersebut akan saya simpan. Mungkin dalam waktu dekat ini aku akan berkunjung ke café anda untuk melanjutkan penyelidikan.” “Silakan saja, Pak. Saya juga ingin tahu apakah benar ada yang tidak suka dengan adik iparku itu. Meski rasanya aneh!” “Aneh bagaimana, maksudnya, pak?” Irfan Huzair angkat bahu lalu menarik napas. “Yang memiliki banyak musuh itu sebenarnya aku. Aku yang sering membuat orang sakit hati.” “Hm, begitu ya?” Irfan mengangguk pasti. "Apa orang-orang mulai menyakitiku melalui keluargaku, ya?" Suara pintu ruang IGD yang terbuka menyela perbincangan kedua pria tersebut. Qisya yang sedari awal fokus pandangannya hanya ke arah pintu tersebut, langsung bangkit dengan tak sabar. Irfan dan Iptu Haris segera menyusul menyambut seorang dokter yang keluar dari ruang gawat darurat tersebut. “Bagaimana suami saya, dok?” tanya Qisya cepat. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang amat sangat. Gurat kesedihan tak mampu ia tutupi lagi ketika yang dilihatnya bukan wajah lega tergambar di raut muka sang dokter. “Apakah anda keluarga pasien?” tanya dokter tersebut. “Saya istrinya.” Dokter yang masih memakai seragam operasi tersebut mengangguk. “Mohon maaf, Bu. Dengan berat hati saya menyampaikan kalau kondisi pasien tidak begitu baik. Memang, kami telah mengoperasi bagian kepala dan masa kritisnya sudah terlewati. Namun tampaknya, telah terjadi benturan keras pada kepala pasien. Hal itu menyebabkan trauma dan mengalami gegar otak. Saya khawatir, pasien akan kehilangan kesadarannya dalam beberapa hari ini. Atau kita bisa menyebut pasien mengalami koma.” “Aa … apa?” Qisya hampir pingsan mendengar kabar tersebut. Irfan langsung menangkap tubuh adiknya sebelum melorot jatuh. Susah payah Qisya berusaha mengumpulkan kembali tenaganya untuk dapat berdiri sempurna. “Dan masih ada satu hal lagi, Bu.” “Masih ada? Apa itu, dok?” kini Irfan yang langsung bertanya karena Qisya tampaknya sudah tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Ada pecahan benda keras yang menusuk mata sebelah kiri pasien. Dan itu menyebabkan rusaknya retina mata.” “Maksudnya, dok?” “Ada kemungkinan mata pasien akan mengalami kerusakan permanen.” “Mengalami kebutaan?” “Itu yang saya khawatirkan.” Qisya sudah tak mampu lagi bertahan. Semua kabar yang disampaikan dokter membuat jiwanya benar-benar terpukul. Seketika pemandangannya menjadi berputar lalu semuanya menjadi gelap. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD