Hod 54, Lelaki dari Masa Lalu

1085 Words
Irfan memang merasa tak perlu mengingat apa pun atau siapa pun yang berhubungan dengan kedua orang tuanya. Namun, Irfan tak bisa memungkiri kalau dia masih ingat dengan Pak Diman. Sosok tukang kebun yang sudah sangat lama bekerja untuk keluarga mereka itu, sebenarnya adalah orang yang baik. Irfan menyukainya dan akrab dengannya, karena semenjak kecil, hanya Pak Diman yang mau menemaninya ke mana saja. Saat ayahnya lebih mementingkan teman bisnisnya, sementara ibunya sibuk dengan acara-acara sosialnya, Irfan yang tidak mempunyai kakak atau pun adik, hanya puas berteman dengan Pak Diman. Lelaki tua yang saat itu tinggal bersama istrinya, di pavilion belakang rumahnya, berkerja selain sebagai tukang kebun, juga merangkap supir antar jemput Irfan ke sekolah. Sayangnya, meski diberi mobil, namun Pak Diman dilarang pergi kemana-mana, kecuali ke sekolah Irfan untuk antar jemput. Irfan kecil sering kesepian. Dia merengek mengajak Pak Diman untuk keluar dan berjalan-jalan. Tetapi loyalitas Pak Diman sungguh tak tertergoyahkan. Tak sekali pun Pak Diman mau melembutkan hatinya untuk membawa Irfan berjalan-jalan ke luar rumah. tak pernah Pak Diman merasa kasihan atau iba melihat betapa kesepiannya Irfan sepanjang hidupnya, terpenjara di rumah mewah bagai istana, namun tak memberikan kebahagiaan. Memang, Pak Diman akan melakukan apa saja yang diinginkan Irfan. kecuali membawanya keluar rumah. Kesetiaan Pak Diman pada akhirnya menciderai perasaan Irfan. berkali-kali Irfan mencoba kabur, namun Pak Diman selalu menghalangi. Apa pun usaha yang dilakukan Irfan untuk bebas, Pak Diman selalu dapat menghalanginya melewati gerbang rumahnya. Bahkan Irfan pernah membakar dapur rumahnya, agar terjadi keributan. Saat pemadam kebakaran datang, Irfan merasa itulah momennya untuk menyeludup ke luar rumah. Tetapi lagi-lagi Pak Diman mengetahui rencana pelariannya dan pria bertubuh tambur itu sudah berada di depan gerbang, memeriksa bagian bawah mobil pemadam kebakaran untuk menemukan tempat persembunyiannya. Irfan sungguh sangat … sangat membeci Pak Diman semenjak hari itu. dia tak mau lagi diantar jemput Pak Diman. Dia menghindari bertemu dengan Pak Diman. Hingga detik ini. Detik di mana Irfan sudah berdiri di hadapan sebuah rumah kayu minimalis dengan halaman yang sempit dan gersang. Rumah Pak Diman, yang alamatnya di dapatnya dari kelurahan. Dari petugas di kelurahan itu pula, Irfan tahu kalau istri Pak Diman sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Lalu Pak Diman sempat menikah lagi dengan salah seorang kerabat di kampungnya, tetapi tak bertahan lama. Kini Pak Diman hanya tinggal seorang diri di rumahnya yang kecil dan sangat mengenaskan di mata Irfan. “Ini rumah Pak Diman, Mas?” terdengar suara Emran sayup-sayup masuk ke telinga Irfan dan berhasil mengembalikan kesadaran Irfan dari kuasa masa lalu yang sedikit menyergap benaknya. Irfan mengangguk. Saat itu masih pukul setengah delapan. Melihat Irfan sangat bersemangat untuk menemukan kembali belahan jiwanya, Emran tidak mampu mengajak Irfan untuk sekedar beristirahat dan makan malam. “Aku akan mengetuk pintunya,” tawar Emran saat melihat Irfan masih berdiam diri di depan pintu yang catnya sudah terkelupas di sana sini. Jelas sekali Pak Diman hidup dalam keterbatasan, mungkin semenjak tak lagi bekerja di rumah ayahnya. “Kau tetap di situ, Em. Biar aku saja yang mengetuk pintunya,” tahan Irfan. “Baik, Mas.” Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Irfan, hingga dia masih memerlukan beberapa saat lagi berdiam diri dan belum mau mengetuk pintu di hadapannya. Lalu setelah waktu berlalu beberapa menit, akhirnya tangan Irfan terangkat untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Sekali. Dua kali. Pada ketukan ketiga, terdengar sahutan suara pria dari dalam rumah. “Iya. Sebentar,” terdengar suara yang bisa dipastikan adalah suara Pak Diman. Pintu terbuka dan pria yang tak bertubuh tambun lagi itu, berdiri menatap tamunya yang berperawakan sangat tinggi dan kekar. Sekejap dia mencoba mengenali pemandangan tidak biasa yang berdiri di hadapannya. Pria muda berwajah sangat tampan, dengan rambut yang sedikit gondrong, dengan tatapan mata yang sangat tajam, yang sontak mengingatkannya kembali pada suatu ketika, sudah bertahun-tahun yang lalu, pernah menatapnya dengan penuh kebencian. Pak Diman agak terkaget begitu otaknya mengirim sinyal kalau dia mengenal siapa tamunya tersebut. Dia bukan gentar seperti sedang berhadapan dengan musuh. Dia hanya tak menyangka akan melihat dua bola mata itu kembali, begitu dekat, begitu jelas, malam ini. Bahkan meski dengan penerangan lampu pijar yang sudah hampir mati di teras rumahnya, dia mampu melihat sosok yang dahulu penuh kemarahan kepadanya itu. “Tu … tuan … muda … Irfan … Huzair ….” Suara Pak Diman terdengar parau di telinga Irfan. Ucapannya terbata, mungkin karena sangat tak menduga dengan kedatangan Irfan. Dari sekian banyak banyak waktu yang selama ini dihitungnya satu demi satu, yang akhirnya kembali lagi ke dalam kehampaan hidup setelah seorang remaja mengutuknya dengan penuh kebencian, Irfan muncul di malam hari, tepat ketika tadi dia baru pulang dari dokter yang mengumumkan sisa waktu hidup yang akan dijalaninya. “Masih ingat denganku, rupanya,” Irfan mencoba bersikap biasa-biasa saja, meski ada sedikit gejolak di jiwanya. Entah bagaimana, kebencian yang telah dipupuknya sepanjang hidupnya hingga mengeras menjadi tembok kemarahan, tiba-tiba terasa sedikit melunak. Pak Diman tak lagi tinggi besar dengan perutnya tambun. Pak Diman tak lagi terlihat bagai sosok raksasa yang tak dapat dilewatinya dengan cara bagaimana pun. Kini pria tua itu tampak bagai orang yang akan roboh hanya dengan sekali bentakan saja. Tubuhnya kurus, perutnya mengempis, wajahnya tirus dengan mata cekung dan rambut memutih tak beraturan. Pakaiannya lusuh, hingga Irfan bisa memastikan kalau masa tua mantan tukang kebun yang merangkap sebagai sipir penjara emasnya itu berakhir dengan kemiskinan. Mungkin tidak pernah menabung selama bekerja dengan ayahnya. Mungkin tidak mendapat pesangon satu rupiah pun ketika kedua orang tuanya meninggal dan dia terpaksa terusir dari rumah majikannya yang harus disita bank. “Tu … tuan muda Irfan …,” kembali pak Diman menyebut nama majikannya berulang kali. Entah dengan maksud apa. Mungkin saking senangnya. Terbukti tubuh tua itu melompat maju dan memeluk Irfan dengan tawa bercampur tangis yang menjadi satu. “Ya, Allah! Aku tak menyangka bisa melihatmu lagi, Nak. Aku … aku sangat terkejut karena … karena kau begitu berubah. Kau tumbuh menjadi pria yang sangat tampan. Kau sungguh terlihat sangat luarbiasa, Nak. Aku sungguh … sungguh terkejut karena kau masih mau mencariku, Nak!” Irfan bisa saja menolak atau mendorong tubuh rentah yang memeluknya erat itu, kalau dia ingat dengan kenangan-kenangan buruk masa lalu, ketika pria itu lebih memilih patuh kepada ayahnya. Bahkan mungkin, jika ayahnya memerintahkannya menggorok leher Irfan, kemungkinan besar pria ini pasti akan melakukannya tanpa segan atau kasihan. Lalu, kemana semua itu? ah, bukan. Lalu, kenapa Irfan malah tidak sampai hati melihatnya? Apakah dia juga sebenarnya sangat merindukan sosok tua yang dahulu, walau apa pun yang telah terjadi, telah menjadi teman baiknya di dalam suka dan duka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD