Hod 59, Cinta yang Tak Pernah Hilang

1133 Words
Suara motor terdengar menderum memasuki garasi mobil, membangunkan Qisya yang ternyata sudah tertidur di sofa di depan tv yang masih menyala. Buru-buru dia bangun untuk membukakan pintu. Meski sebagai kepala sekuriti, Emran sering pulang malam atau bahkan pagi, namun semenjak suaminya mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa, Qisya sudah tak lagi bisa tenang seperti sedia kala, kalau suaminya adak terlambat pulang. Padahal, Emran sudah mengatakan berkali-kali kalau dia pastilah akan menjaga diri dengan lebih baik dari yang sudah-sudah. Bahwa dia pasti akan lebih berhati-hati. Dan sebenarnya, kalau pun terjadi sesuatu di perjalanan, itu pasti sudah takdir dari sang pencipta. Qisya tidak perlu terlalu takut akan apa yang telah digariskan oleh Allah. Hidup mati setiap manusia sudah diatur. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Qisya tak mampu membohongi perasaannya sendiri, kalau sekarang mudah khawatir. “Pasti capek banget, ya, sayang?” Qisya membantu melepas ransel yang dibawa Emran. dan ketika dia ingin melepaskan jaket suaminya, dia baru sadar kalau Emran hanya mengenakan kemeja saja saat turun dari motor tadi. “Lumayan, sayang. Badan agak pegel juga dikit,” jawab Emran sambil melepas sepatunya. “Nanti aku siapin air panas, ya?” tawar Qisya. “Ohya, jaket mas mana?” “Jaket?” Emran baru sadar kalau dia pulang tidak memakai jaket karena telah diberikannya kepada Pak Diman. “Oh, iya. Aku bahkan sudah lupa kalau tadi aku sudah memakaikannya ke Pak Diman. Kasihan orang tua itu. Sepertinya dia malu untuk ikut kami makan di café, karena tidak punya baju yang bagus. Jadi aku memakaikan jaketku kepadanya.” “Oh, oke.” “Tidak apa-apa, kan sayang?” tanya Emran kemudian. Dia ingat, jaket itu adalah hadiah dari istrinya. “Tidak apa-apa, sayang. Aku senang kalau jaket itu sekarang ada pada orang yang lebih membutuhkan. Lagi pula, Mas juga masih punya banyak jaket di lemari,” jawab Qisya. Memang sih, jaket yang diberikan ke Pak Diman itu lumayan mahal harganya. Terbuat dari bahan kulit asli yang lembut namun sangat kuat menahan panas dan dinginnya udara. Qisya bahkan harus pree order terlebih dahulu untuk mendapatkannya dari tokonya yang berpusat di Singapura. Namun, jaket adalah jaket. Hanya sebuah benda yang tidak akan dibawa saat mati. jika jaketnya berubah menjadi amal dan kebaikan, itu lebih bermanfaat karena bisa dibawa mati. “Makasih, sayang.” Qisya mengangguk. “Yah, sudah, aku siapin air panas untuk mandi mas, sekarang. Setelah itu, aku siapin makan malam.” “Sayang, sepertinya aku sangat kenyang. Tadi Mas Irfan memesan hampir seluruh menu café.” “Ya, ampun!” Qisya tertawa. “Kalau gitu, aku siapin kopi saja nanti. Karena aku masih ingin mendengar semuanya. Aku masih bingung, kenapa kalian yang tadinya berburu sampai ke Bogor, tahu-tahu malah berakhir bersama Pak Diman. Hm … orang dari masa lalu Mas Irfan … semuanya punya cerita yang tak biasa ….” Emran mengangguk. Mereka sama –sama tergelak kecil. * Usai berendam di air hangat yang telah diberi Qisya esensi beraroma bunga, tubuh Emran terasa segar dan agak lebih ringan dari sebelumnya. Saat keluar dari kamar mandi, aroma kopi pula menelusup masuk ke hidungnya, membuatnya merasa bagai di surga. Qisya sudah menunggunya di kamar, karena dia ingin mereka mengobrol di kamar, seperti biasa. Dia bahkan telah menyiapkan minyak urut karena tahu suaminya pasti sehari ini sudah sangat lelah. “Aku kangen sama Zidan. Dia pasti sudah tidur, ya?” “Iya, Mas. Dengan Bibik, seperti biasa,” jawab Qisya. “Hm, selesai urusan Mas Irfan ini, aku akan mengajak kalian jalan-jalan. Bahkan aku sendiri pingin tidur seharian saja rasanya.” “Gimana mau jalan-jalan kalau mas pinginnya tidur seharian?” komentar Qisya membuat Emran tergelak. “Benar juga. Berarti, sehari untuk jalan-jalan, sehari untuk tidur. Gimana?” “Itu baru adil!” Emran kembali tertawa. Dia menyesap kopinya mumpung masih hangat. Rasa pahit kopi berpadu dengan manisnya gula, membuat perasaannya terasa nyaman. Sementara itu, Qisya duduk di sebelahnya, di ujung sofa untuk memijat kaki suaminya. “Kau baik sekali, sayang,” puji Emran menatap istrinya dengan intens. Qisya tersenyum. “Seorang istri wajib memberikan kenyamanan kepada suaminya. Karena sang suami telah memberikan kehidupan yang layak untuk istrinya.” Emran mengangguk-angguk, bukan hanya mengiyakan pendapat Qisya, namun karena jari-jari mungil istrinya sangat lihat memijat telapak kakinya yang lelah. “Aku sangat berharap, kami bisa menemukan Mbak Melia dalam keadaan hidup. Sebab kulihat, Mas Irfan sangat mencintainya.” “Aku hampir tak percaya Mas Irfan bisa mencintai seseorang sampai bertahun-tahun kemudian. Dan dia masih belum melupakannya,” gumam Qisya. “Mungkin Mas Irfan merasa bertanggung jawab atas hilangnya Melia. Dan rasa tanggung jawab itu telah mengikat perasaan Mas Irfan pada Melia.” “Aku rasa juga begitu. Pantas saja Mas Irfan selalu gonta ganti pacar dan tak satu pun berkembang ke tahap serius.” “Mungkin di dalam hati Mas Irfan, hanya ada Melia seorang. Mungkin … sadar atau tidak, kehadiran Aufa telah membuat Mas Irfan merasa terikat pada gadis masa lalunya. Sekali pun Mas Irfan tidak pernah tahu, akan tetapi ikatan bathin tak mungkin bisa lepas begitu saja, sekali pun dia tak terlihat.” Qisya mengangguk. “Aku juga berpikir yang sama, Mas. Kan Mas sendiri bilang, selama ini Aufa selalu memperhatikan ayahnya. Bukan tak mungkin Irfan merasakan perhatian itu meski dia sama sekali tak menyadarinya.” Emran menghela napas. “Bisa kubayangkan betapa sedihnya saat mengetahui kalau ternyata kita punya seorang anak, namun sayang, ketahuannya pada saat anak itu sudah tiada.” “Gak kebayang sedih dan hancurnya, Mas.” “Iya, itulah mengapa Mas Irfan tampak emosional. Meski belum kelihatan, aku merasa kelak Mas Irfan pasti sangat terpukul. Hatinya akan merasa perih tak terkira,” “Itulah mengapa Mas harus selalu berada di sampingnya. Tolong kawal Mas Irfan, ya, Mas? Jangan biarkan dia menghadapi rasa perihnya seorang diri. Aku takut nanti akan kenapa-napa.” “Iya sayang. Kau tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Aku tahu harus bagaimana. Dan aku pasti akan selalu berada di sampingnya.” Qisya mengangguk lalu mengelap tangannya dan duduk mendekati suaminya. “Bagaimana kabar Pak Dimana? Apa dia masih seperti dalam ingatanku? Tinggi, besar, perutnya tambun?” “Ternyata dahulu dia adalah sosok raksasa, ya?” Qisya tertawa. “Begitulah yang digambarkan Mas Irfan. Kami berada di sekolah yang sama selama 1 tahun. Aku kelas 1 SMP dan Mas Irfan sudah duduk di kelas 3 SMA. Kebetulan sekolah kami memiliki tingkatan sekolah dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai Akademi. Sayangnya, setelah Mas Irfan lulus, kami jadi bertambah jarang bertemu. Padahal selama satu sekolah, kami juga sudah jarang bertemu. Mas Irfan seorang introvert. Mungkin karena selama hidupnya, dia hampir-hampir tak penah keluar rumah. bisa sekolah di sekolah umum, juga setelah kelas 2 SMA. Pastilah dia agak susah menjalin pertemanan dengan murid lain. Ditambah sifatnya yang emosional, klop lah sudah tidak ada murid yang mau berteman dengannya, meski dia seorang pangeran sekali pun.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD