Chapter 24 – Atrocious Threat

1326 Words
Bella Hopkins adalah seorang gadis tingkat akhir yang terkenal sebagai senior paling galak di St. Christoper. Bella merupakan gadis yang kritis, bahkan kadang cenderung sinis. Dia cemerlang dalam pelajaran bahasa asing dan ilmu filsafat. Tidak berhenti di sana, Bella juga sering memenangkan kejuaran debat antar asrama dalam bahasa Inggris, Italia, dan Spanyol. Bahkan, saat tahun ajaran baru, Bella sudah resmi diangkat sebagai asisten pribadi Nyonya Audrey. Dengar-dengar, Bella merupakan murid kesayangan Tuan Brad karena dia juga sangat berdedikasi dalam seni bela diri. Namun, kurasa prestasinya yang segudang tidak menjamin kalau dia akan memiliki banyak teman. Bahkan, kenyataan yang ada justru mengatakan sebaliknya. Lantaran sifatnya yang selalu dingin dan ketus, banyak gadis senior bahkan junior yang membencinya. Sekalipun ada mayoritas murid yang tidak menyukai kepribadiannya, Bella menjadi murid kesayangan para guru bahkan sejak dia masih menjadi murid baru di asrama. Tentu saja karena pencapaian Bella berulang kali membuat nama St. Christoper dimuat di koran-koran lokal. Para guru mengelu-elukan namanya, sedangkan para gadis berdoa kalau Bella lebih baik binasa. Mengetahui sejarah panjang Bella Hopkins—yang bagiku lebih terdengar seperti mimipi buruk—membuatku sepenuhnya yakin dengan apa yang akan terjadi padaku dan Hilary setelah ini. Kami berdua akan tamat. Lebih tepatnya, kami sudah tamat bahkan sebelum kami berdua sempat menyadarinya. “Jadi, harus kumulai dari mana ceritaku ini?” kata Bella dengan kecongkakkan penuh. Mendengar perkataannya, Scott langsung menyahut dengan senyum sumringah, “Oh! Mengapa tidak kau mulai dari apa yang kau lakukan sebelum menyaksikan perdebatan Hilary Robins dan Sarah Johnson?” Bella memejamkan mata sejenak. Kulihat gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum kembali membuka mata. Kemudian, sebuah cerita dari sudut pandang yang tidak pernah kudengar itu pun segera mengalir deras dari bibirnya. “Seperti yang kebanyakan murid sudah tahu, aku adalah asisten pribadi Nyonya Audrey. Pada hari yang sudah kami tentukan bersama, aku akan membantu beliau menyelesaikan tugas-tugasnya,” papar Bella. “Akan tetapi, malam itu aku sedang mengalami flu berat hingga membuat beliau prihatin dengan kondisiku. Nyonya Audrey pun memintaku untuk datang ke ruangan pribadinya. Dia membuatkanku secangkir teh madu. Kami memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan kami di sana.” Semua orang yang ada di ruangan spontan merlirik kearah Nyonya Audrey. Beliau yang sedang resah di sudut ruangan hanya bisa menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan. “Apa yang Bella katakan itu benar,” ujarnya. “Pada akhirnya kami bermalam di ruangan pribadiku. Bella tanpa sengaja tertidur di atas sofaku.” Bella kembali menyambung, “Itu benar. Aku tanpa sengaja bermalam di ruangan pribadi Nyonya Audrey. Begitu aku bangun pada dini hari—mungkin sekitar pukul setengah lima pagi—aku meminta izin kepada beliau untuk memperbolehkanku kembali ke kamarku.” “Kapan, lebih tepatnya, kau bertemu dengan Hilary dan Sarah?” tanya Scott. “Aku menjumpai mereka tepat ketika aku sedang menuruni tangga yang menyambungkan lantai deretan kamar guru dan koridor di satu lantai di bawahnya,” jawab Bella. “Awalnya aku tidak melihat mereka. Aku hanya mendengar suara-suara. Namun, karena percakapan mereka terdengar begitu keras di pagi buta, aku tidak punya pilihan selain mengintip dan mendengarkan.” “Dan,” Easton bicara, “apa sebenarnya yang mereka berdua bicarakan?” Bella mengambil napas dalam kemudian menjawab, “Mereka membicarakan sesuatu yang jika disebarkan—menurut Hilary Robins—akan membuat seisi asrama gempar.” Senyuman Hilary yang sedari tadi merekah kini hilang seketika. Gadis itu memandang Bella dengan tatapan membunuh. Kulihat ketua kelasku mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuan—seakan berusaha keras untuk tidak meninju siapapun sekarang juga. Tanpa diminta, Bella sudah melanjutkan, “Berbeda dengan Hilary yang ingin Sarah menutupi sesuatu, kurasa Sarah ingin melaporkan hal itu ke Nyonya Audrey. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan—intonasi suara mereka naik-turun—tetapi, aku yakin betul Sarah menyebut sesuatu yang berhubungan dengan pembunuh yang bisa menghabisi kita kapan pun dan di mana pun.” “Kumohon lanjutkan ceritamu, Nona Bella,” desak Easton. “Ini bagian yang menarik,” kata Bella. “Ada hal aneh yang mereka berdua bicarakan. Mereka menyebut jika—” “Kumohon tunggu sebentar,” tiba-tiba Hilary menginterupsi. Seluruh mata tertuju pada kawanku. Ia menyerocos, “Apa kalian sedang bercanda? Kalian menggantungkan keputusan kalian berdasarkan apa yang gadis ini bicarakan? Maksudku, dia bahkan tidak berada cukup dekat untuk mendengarkan apa yang sebenarnya aku dan Sarah sedang bicarakan saat itu.” Aku turut menimpali, “Itu benar. Lagipula, Bella bilang kalau dia sedang sakit keras. Apa kalian tidak berpikir kalau dia bisa saja mengalami halusinasi?” Bella langsung menyalak, “Kau bilang begitu karena kau takut seluruh rahasiamu kubongkar, kan? Jangan menjadikanku kambing hitam!” Aku pun tak mau kalah dan segera berseru, “Rahasia apa yang kau maksud? Aku dan Hilary sama sekali tidak menyembunyikan apa pun!” Hilary membela, “Itu benar. Lagipula, untuk apa kami berdua—” “Nona-nona,” sela Will, “kumohon tenangkan diri kalian.” Kami bertiga seketika diam seribu bahasa ketika Will menengahi perdebatan kami. Aku seketika menggigit lidahku sendiri. Sedangkan Hilary, dia mengatupkan rahangnya keras-keras. Scott akhirnya berdehem. “Bisa kau lanjutkan ucapanmu, Nona Bella?” ujarnya. “Tadi kau berkata jika Nona Hilary dan Sarah membicarakan hal yang aneh. Bisa kau sebutkan apa itu?” Bella dengan khidmat mengangguk, sedangkan aku sadar betul kalau aku dan Hilary kini berada di ujung tanduk. “Mereka berdua membicarakan dua hal yang menarik perhatianku,” terang Bella. “Sarah mengatakan sesuatu tentang: mayat yang baru saja mereka lihat dan sesuatu yang diucapkan seseorang bernama Sheila.” Nyonya Audrey yang sedari tadi membisu mendadak angkat bicara, “Apa kau sedang membicarakan tentang Sheila Naylor, Bella?” Yang diajak bicara menggelengkan kepala. “Mereka berdua tidak mengatakan apa-apa soal itu. Aku hanya mendengar satu nama itu: Sheila,” katanya. “Siapa Sheila Naylor?” sela Scott. “Dia adalah salah satu murid terbaik di kelas satu,” balas Nyonya Audrey. “Kalau aku tidak salah, dia merupakan teman sekelas kalian berdua.” Dia menatapku dan Hilary. Aku menganggukan kepala dengan enggan. “Dia juga teman sekamar kami.” Tiba-tiba saja Bella berkata, “Aku jadi penasaran. Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Sarah jelas menyatakan kalau mereka berdua baru saja melihat mayat. Kemudian, masalah sesuatu dari ucapan Sheila—entah Sheila siapapun ini—yang membuat Sarah tidak bisa tidur.” Setelah Bella mengatakan hal tersebut, seisi ruangan hening. Kupikir Hilary akan langsung menyangkal dan menggunakan trik-trik gilanya untuk mengelabui orang, tetapi gadis itu saat ini hanya menundukkan kepala—dia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Ketika kalian bilang kalian tidak sedang menyembunyikan apa-apa,” ujar Bella memecah hening, “kalian berbohong, kan?” Di luar dugaan, setelah Bella melontarkan kata-kata tersebut, Hilary malah tertawa kecil. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa-apaan yang sedang gadis ini lakukan? “Oh, kau mengira kami berdua berbohong, begitu?” kata Hilary. “Kurasa aku sekarang mengerti mengapa kau selalu memenangkan lomba-lomba debat, Bella.” Yang diajak bicara hanya sanggup melipat dahi. “Apa yang kau bicarakan?” “Di dalam sebuah perdebatan,”—Hilary dengan santainya membenamkan punggung ke sofa dan melipat tangan di depan d**a—“tidaklah penting apakah argumentasi yang kau punya itu adalah yang paling cerdas dibanding yang lain atau tidak. Selama kau pandai menggunakan kata-katamu dan bicara dengan lagak yang meyakinkan, bukan perkara sulit untuk membuat siapapun percaya padamu.” Raut wajah Bella sontak berubah drastis. Wajahnya yang pucat mendadak jadi kemerahan. Kedua alisnya bertautan dan tatapan matanya yang menusuk mutlak tertuju pada Hilary. Agaknya ketua kelasku telah berhasil membuat seorang Bella Hopkins naik pitam. “Apa kau mengatakan jika aku sedang membual?” tanya Bella, menahan amarah. Tawa Hilary semakin kencang. “Oh, tentu tidak. Aku heran, apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” tanyanya. “Maksudku, apa dirimu sendiri berpikir kalau kau sedang membual?” Sepersekian detik kemudian, pemandangan yang terlihat tidak nyata terjadi di hadapanku. Bella Hopkins melangkahkan kaki lebar-lebar ke arah Hilary. Dia menarik rambut ketua kelasku secara paksa hingga Hilary menjerit kesakitan karenanya. Aku pun langsung mencoba untuk melepaskan tangan Bella. Namun, secara mengejutkan Hilary melingkarkan kedua tangannya di sekitar pinggul Bella dan langsung mendorong gadis itu ke belakang. Mereka berdua jatuh ke atas lantai. Yang terjadi selanjutnya adalah mimpi buruk. Sama-sama berprestasi dalam seni bela diri, Hilary dan Bella sama sekali tidak ingin menyerah. Semua polisi yang ada kesulitan memisahkan mereka berdua karena mereka pun ternyata turut menyerang siapapun yang berusaha melerai baku hantam yang terjadi. Aku meneriaki Hilary untuk berhenti. Nyonya Audrey pun melakukan hal yang sama. Akan tetapi, kedua gadis itu masih sibuk menendang dan mencekik satu sama lain. Hingga, seseorang membuka pintu dan mendadak saja semua pergerakkan yang ada di ruangan ini terhenti. Sosok itu tengah menodongkan senjata api. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD