Chapter 42 – Cubicles Made of Glass

1057 Words
Arsitektur bagian dalam gedung itu terlihat seperti mimpi buruk. Bagaimana tidak? Semua dinding di dalam sini dicat perwarna putih tulang. Sepanjang mata memandang, hanya ada lorong dan pintu berwarna putih di sisi kanan dan kiri. Beberapa petugas medis yang lewat pun memiliki seragam yang senada dengan cat yang ada. Hal itu diperburuk dengan sekolompok pasukan yang mengelilingiku. Para petugas fasilitas ini sama sekali tidak melirik ke arahku—seakan-akan mereka berusaha mengabaikan apa yang sedang terjadi di depan mereka. Maksudku, siapa yang tidak akan melirik ke arah gerombolan yang mencolok seperti ini? Para petugas tersebut jelas saja sedang berpura-pura tidak melihat. Namun, mengapa? Aku tidak sempat memikirkan jawaban dari pertanyaanku itu. Gerombolan kami masuk ke dalam salau satu lift yang ada. Sekarang aku sudah sibuk dengan hal lain: memprediksi ke lantai berapa kami akan dibawa dan ke mana lebih tepatnya kami akan dibawa. Selagi lift itu naik ke atas, aku menyempatkan diri untuk melirik ke arah Sam dan Carlotta. Kedua anak yang biasanya gemar bicara itu kini diam seribu bahasa. Sam—dengan tatapan penuh rasa ingin tahu—fokus mendongak dan memerhatikan angka lantai yang ada di dinding lift. Sedangkan Carlotta, dia lebih memilih untuk menunduk dan menatap ujung sepatunya. Bagaimana denganku? Aku terlalu sibuk memikirkan apa yang harus aku katakan pada Hilary. Akankah dia marah jika aku telah bersaksi kepada kepolisian tentang apa yang sudah diperbuatnya? Akankah dia tersenyum dan berterima kasih karena aku sudah membantunya memecahkan misi—yang tidak lain—adalah tujuannya selama ini? Apa yang akan dia katakan padaku setelah semua hal ini terjadi? Pintu lift di hadapan kami terbuka. Kami langsung di hadapkan oleh sebuah lorong terang benderang dengan sebuah ruangan di ujung sana. Pintu ruangan tersebut memiliki dua bukaan yang terbuat dari kaca.  Dari jarak ini, tidak jelas apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik perhatianku. Berbeda dengan lorong yang sudah kulihat, lorong di depanku tidak memiliki pintu di kanan atau kiri. Lantai ini seakan memang didedikasikan untuk satu ruangan itu saja. Tempat apa itu sebenarnya? Menyadari kami bertiga yang masih terbengong-bengong, Wade meminta kami untuk bergegas. Dia sedikit mendorong punggungku dan memintaku untuk terus berjalan. Kakiku pun melangkah maju. Suara langkah kaki kami menggema ke seluruh penjuru lorong yang terkesan seperti kami sedang mengumumkan kalau kami sudah tiba. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan di ujung sana terbuka lebar. Ben dan Aaron keluar dari dalam. “Tuan Scott,” ujar Aaron saat kami tiba di depannya, “Anda sudah datang.” Scott berjalan maju dan memisahkan diri dari kami. “Semua sudah siap?” Aaron mengangguk. “Sesuai dengan perintah Anda.” “Ben,”—Scott menatap Ben—“giliranmu.” Ben mengangguk pertanda mengerti. Aku ingin bertanya, tetapi aku tidak punya cukup nyali. Sebelum aku menyadari apa yang para anggota tim khusus itu maksud, Wade kembali menggiringku maju. Kali ini maju memasuki ruangan tempat Ben dan Aaron berada. Akan tetapi, yang berbeda kali ini adalah pasukan agresi tinggal di luar. Mereka bersiap di depan pintu selagi membiarkan Wade mengambil alih. Apa yang kusaksikan di dalam sini seketika membuat kedua lututku lemas. Hal pertama yang kulihat adalah sederet ruangan berbentuk persegi dengan dinding yang terbuat dari kaca. Kaca tebal tersebut menjulang dari langit-langit bahkan hingga menyentuh lantai. Ruang kaca tersebut berjarak sekitar dua meter dari satu kubus ke kubus lain dan dikelilingi oleh beberapa petugas keamanan yang masing-masing menghadap langsung ke arah ruangan itu. Di sebelah kiriku terdapat pintu menuju sebuah ruangan lain. Tampaknya itu adalah tempat di mana para petugas mengontrol apa yang terjadi di dalam ‘kubus kaca’ di depanku. Dari jendela yang ada, aku bisa menyaksikan Easton dan Aaron berada di ruang kontrol itu. Ada sederet mesin di hadapan kedua polisi tersebut. Mereka berdua menatapku dengan raut wajah yang tak terbaca. Mungkin mereka cemas. Mungkin mereka penasaran. Mungkin mereka tidak peduli sama sekali. Sekilas, kubus-kubus kaca di depanku terlihat seperti tempat para peneliti memerhatikan seekor hewan percobaan—tanpa privasi, tanpa hambatan. Namun, kali ini mereka tidak sedang mengamati primata atau reptil jenis apa pun. Mereka mengamati beberapa orang manusia. Di antaranya adalah Hilary. Setiap ruang kaca tampaknya memiliki fasilitas yang sama. Di dalam ruang kubus tersebut terdapat tempat tidur lengkap dengan bantal dan selimut—lagi-lagi berwarna putih. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah tempat duduk besi yang memanjang. Di atasnya, terdapat teman lamaku yang kini tengah duduk membelakangiku. Kepalanya tertunduk dan kedua kakinya dengan manis tersilang di atas kursi besi itu. Sekilas aku melihat dia sedang membaca sesuatu. Aku yakin betul kalau dia memang sedang membaca buku karena aku ingat bentuk punggung itu di luar kepala. Postur tubuh yang tegak, buku yang diangkat hingga setinggi d**a, serta caranya menyilangkan kedua kaki—aku tahu itu adalah Hilary. Mungkin jika Wade tidak memegangi punggungku, aku pasti sudah luruh ke atas tanah. Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah sentuhan di salah satu tanganku—Carlotta menggenggam jemariku. Dia menatapku dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Namun, aku melihat tekad di matanya—sesuatu yang sebelumnya belum pernah kulihat. Untuk beberapa alasan, hal tersebut membuatku ingin meneguhkan hati pula. Aku meremas tangan Carlotta sebelum melepaskannya. Setelah itu, aku langsung membalikan tubuh dan menghadap Ben dan menghujamnya dengan tatapan penuh ambisi. Aku tidak mengatakan apa pun, tetapi Ben sudah menangkap arti ekspresi yang kuberikan. Detektif itu membuka mulut, “Aku tahu kau ingin semua ini cepat selesai, tetapi aku rasa teman-temanmu perlu penjelasan.” Carlotta langsung menyalak, “Apa kalian bercanda? Apa yang kalian lakukan pada Hilary? Kalian mengurungnya seperti dia adalah hewan percobaan! Maksudku, lihatlah ruangan kaca ini!” “Hey, hey, tenanglah.” Sam meraih pundak Carlotta. Setelahnya, kedua mata Sam berpaling ke wajah Ben dan Scott. “Sebaiknya Tuan-Tuan segera menjelaskan apa-apaan yang terjadi di sini.” Carlotta masih tidak mau diam. Dia menghempaskan uluran tangan Sam dan langsung berlari mendekati ruangan berbentuk kubus kaca itu. Gadis itu memanggil-manggil Hilary dengan suara yang lantang. “Hilary! Hey, Hilary! Apa kau—” Di saat yang bersamaan, seluruh anggota keamanan yang mengelilingi ruang kaca tersebut menodongkan senjata api mereka ke arah Carlotta. Ia sekonyong-konyong terpaku di tempatnya berdiri dan secara otomatis mengangkat kedua tangan ke sisi kepala. Menyadari pergerakkan penjaga di sekitarnya, Hilary akhirnya mengangkat kepala. Satu gerakkan saja darinya mampu membuat kaki-kakiku kembali lemas. Tanpa menoleh sama sekali, gadis itu berucap, “Oh. Jadi kalian sudah datang.” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD