Chapter 7 – Partial Veracity

806 Words
Ini hampir tengah malam. Semua lampu yang ada di lorong sudah dipadamkan. Namun, aku sama sekali tak dapat menutup mata. Tubuhku memang lelah, tetapi entah mengapa aku masih terus terjaga. Aku sudah mengalami kesusahan tidur sejak hari pertama mayat Josh ditemukan di gudang asrama putri. Kegiatan padat dan huru-hara yang terjadi belakangan mutlak menyita semua perhatianku. Aktivitas di dalam asrama hari ini berlangsung seperti biasa. Meskipun satu nyawa murid menara utama telah melayang karena alasan yang tak jelas, asrama sama sekali tidak diliburkan. Aku tahu semua murid pasti dilanda ketakutan yang sama. Meskipun demikian, tidak ada yang berani menunjukkan keresahan itu. Lantaran peraturan St. Christoper yang sangat ketat, seluruh murid sudah secara otomatis berusaha bersifat seakan-akan tak pernah ada pembunuhan yang terjadi di asrama kami. Teman-temanku—termasuk diriku sendiri—memang tertawa dan melakukan rutinitas kami seperti biasa. Namun, teror yang kami rasakan tidak akan mungkin bisa kami tutupi dengan seulas senyum manis. Bahkan, tak jarang kujumpai satu atau dua gadis yang sedang menangis sesegukan di bawah bak cuci kamar mandi koridor. Saat kutanya mengapa mereka menangis, salah satu dari mereka menjawab, “Aku tidak bisa berhenti memimpikan wajah hancur siswa Menara Utama yang mati beberapa hari lalu. Aku takut untuk pergi tidur. Ini semua terasa seperti kutukan.” Carlotta pun tidak luput dari trauma pasca insiden mengerikan ini. Pernah sekali kutemukan dia sedang bersembunyi di dalam lemari kamar kami dan tersedu-sedan selagi memanggil-manggil nama Josh. Aku pun duduk di sebelahnya dan ikut menangis. Segala kekalutan ini tentu berkat ceramah panjang Hilary tentang TED tepat pada hari kematian Josh. Ia menjabarkan satu fakta yang sesungguhnya sama sekali tak ingin kudengar: mereka mungkin telah kembali. Aku tahu masih tidak ada bukti konkret yang menunjukkan jika ini semua murni tindakan TED. Namun, aku juga tidak bisa mengeliminasi kemungkinan bahwa mereka bisa saja mengulangi kejahatan brutal mereka seperti zaman dulu. Kalaupun apa yang Hilary bilang itu benar adanya, apa yang membuat TED menghabisi Josh? Apa ini adalah dendam perorangan atau dendam terhadap suatu komunitas tertentu? Semua ini semakin diperburuk oleh sifat Sheila belakangan. Setelah menjeritkan sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal di hadapanku, Hilary, dan Carlotta, Sheila mulai menjauhi kami semua. Hilary sudah berusaha untuk mengajaknya bicara baik-baik, tetapi gadis berkacamata itu malah jadi defensif dan meneriaki Hilary sebagai jawaban. Sheila jelas berlagak aneh dan tak biasa. Dia yang sebelumnya selalu tenang dan pendiam sekarang jadi tampak tertekan dan muram sepanjang hari. Aku bisa mengerti mengapa dia jadi begitu—kami semua juga merasa tidak nyaman dengan kondisi asrama belakangan. Akan tetapi, tidak seharusnya ia berlebihan bahkan hingga membuat orang-orang lain curiga terhadapnya. Lamunanku buyar begitu aku mendengar suara decitan lemari. Spontan, aku segera membuka mata dan duduk tegak di atas kasur. Lantas, aku mendapati Sheila yang kini tengah menjejalkan beberapa potong pakaiannya ke dalam koper. Aku bangkit dari atas kasur. Entah sejak kapan ia berkemas, tetapi dua koper yang ada di samping ranjangnya itu sudah siap untuk ia bawa. Gadis itu masih tidak menyadari keberadaanku yang ada di balik punggungnya. Aku pun menepuk pundaknya. “Sheila, apa yang kau lakukan?” Ia terperanjat dan segera menoleh. “S-Sarah?” “Apa yang kau lakukan?” ulangku. Bukannya menjawab, ia malah berjalan melewatiku. Sheila membuka baju tidurnya dan aku pun baru menyadari bahwa ia telah mengenakan baju untuk pergi keluar asrama. Aku menyernyitkan dahi. “Sheila, kau mau pergi ke mana?” tanyaku. “Aku akan pulang dengan kereta malam saat ini juga,” jawab Sheila tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Aku terbelalak. “Apa? Tunggu, mengapa?” Aku mencoba meraih pundaknya, tetapi ia segera memintaku untuk menjauh. “Asrama tak lagi aman, Sarah.” “Hey, apa yang kalian lakukan?” suara serak Hilary menginterupsi. Hilary yang tampaknya terbangun, beringsut mendekati kami selagi mengusap kedua matanya. “Sheila akan pulang malam ini,” jawabku apa adanya. Sama terkejutanya denganku, Hilary spontan menjawab, “Apa? Pulang?” Aku mengangguk. Sekalipun aku dan Hilary jelas-jelas mempertanyakan kelakuannya, gadis itu tampak tak peduli. Dia malah sibuk membetulkan mantel tebalnya di depan kaca. “Mengapa setidaknya kau mencoba untuk tinggal beberapa hari?” ujar Hilary berusaha meyakinkan. “Aku, ataupun kau, tak akan bertahan meski hanya sehari di sini.” Sheila mengemasi kopernya. “Jangan mengucapkan omong kosong, Sheila,” ujar Hilary penuh sinisme. “Semua polisi sudah dikerahkan, tak ada alasan bagimu untuk terus ketakutan.” “Mereka tak akan bisa melindungi kita,” tandas Sheila. “Mereka bisa,” sangkal Hilary. “Kalian sama sekali tak mengerti!” pekiknya. Aku dan Hilary bungkam. Bersamaan dengan itu, baru kusadari Carlotta sudah terduduk di tepi ranjanganya, tampak terlalu takut untuk mendekati kami bertiga. Kedua bola mata Sheila kini berkaca-kaca. Pada akhirnya bulir air itu luruh dari kelopaknya. Ia terisak lirih. Aku masih tidak mampu memahami segala tindakannya. “Maafkan aku, Sarah,” ujarnya tiba-tiba. Aku melipat dahi. “Mengapa kau meminta maaf?” “Andai kau mengerti dan segera meninggalkan asrama detik ini juga… mungkin kau…,” Sheila terbata-bata, “kau tak akan celaka.” “Apa maksudmu? Celaka? Celaka karena apa?” tanyaku segera. Hilary menyalak, “Jangan bicara yang tidak-tidak!” Tanpa memedulikan teriakan Hilary, Sheila berjalan selangkah ke arahku. Ia memegang kedua pundakku erat. Kontak mata tak dapat kuhindari. Tatapan Sheila menghujam kedua mataku tanpa jemu. Detik itu juga aku meyakini bahwa ia memang tidak sedang main-main. “Dengarkan aku baik-baik,” ucapnya. Aku membisu. “Mereka mengincarmu, Sarah.” *   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD