Chapter 5 – The Peculiar Scent

1299 Words
Aku hanya bisa membuntuti gadis berambut pirang itu hingga kami kembali ke kamar kami. Jujur saja, aku ingin menyumpah serapahi gadis itu lantaran sudah membuatku bingung bukan kepalang. Ia pun sama sekali tidak mengindahkan panggilanku yang memintanya untuk berhenti berlari. Namun, aku tahu mengomplain hanya akan memperburuk situasi. Wajah murka Hilary yang membuat merinding itu sudah cukup menjadi peringatan bagiku untuk tak macam-macam dengannya saat dia marah. Bahkan, hanya melihat punggungnya yang jenjang dari belakang saja berhasil untuk membuatku mengurungkan niat untuk meneriakinya. Sesampainya kami di kamar kami di lantai 5, lagi-lagi Hilary melakukan sesuatu yang tidak mampu kupahami. Sekarang gadis itu sibuk membongkar lemarinya sendiri. Ia melempari pakaiannya ke segala tempat, padahal ia sudah susah payah merapikan baju-baju itu beberapa minggu lalu. Aku hanya bisa melongo melihat tindakannya. Tanpa sadar, seseorang menepuk pundakku. Rupanya itu Carlotta. “Ada apa dengannya?” tanyanya. Air mata Carlotta mulai mengering. Aku hanya bisa mengangkat bahu. “Hilary, kau sedang apa?” Selepas bergelut dengan pakaian itu, Hilary menarik secara paksa sebuah kotak kayu dari dalam lemari. Ia pun berdiri dan mengajak kami semua berkumpul di atas karpet yang ada di tengah ruangan. Dalam sekejap, aku, Hilary, dan Carlotta sudah duduk melingkar dengan kotak itu di tengah-tengah kami. Aku melirik ke arah Sheila, gadis itu masih meringkuk di atas ranjang dengan tatapan kosong. Ekspresinya datar, sulit untuk dibaca. Tampaknya ia tak tertarik untuk ikut turun ke karpet. Lama-lama aku jadi kasihan dengannya. Ia pasti sangat tertekan dengan keadaan asrama yang tak lagi tenang. “Apa isi kotak ini, Hilary?” tanya Carlotta memulai perbincangan. “Sebelum kubuka… aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian berdua,” katanya. Aku dan Carlotta merapatkan tempat duduk. Tanpa sadar aku turut antusias, resah, dan penasaran di saat yang bersamaan. “Apa ini semua ada hubungannya dengan kematian Josh?” tanyaku hati-hati. “Mungkin ya,” ujar Hilary singkat. “Jadi apa yang ingin kau ceritakan?” aku menuntut penjelasan. “Mungkin kalian sudah tahu bahwa ada geng brutal yang meneror hampir seluruh bagian negara beberapa tahun lalu,” tutur Hilary. “Akan tetapi, masih ada satu hal yang belum aku beritahukan kepada kalian dan yang lain.” Aku dan Carlotta berpandang-pandangan sambil melipat dahi. “Apa itu?” tanyaku. “Geng itu… mereka memiliki ciri khas,” jawab ketua kami. “Tubuh-tubuh yang mati dengan cara tidak wajar memang menjadi ciri khas mereka. Namun, ada satu hal menarik—yang sampai sekarang tidak bisa aku pahami—yang sejatinya telah disembunyikan kepolisian dari khalayak luas.” Perlahan, Hilary membuka kotak kayu di hadapan kami. Kotak itu berisi potongan koran dan kertas-kertas lain yang tampaknya sudah kumal lantaran terlalu sering dibolak-balik. Ia membiarkan aku dan Carlotta membaca apa yang tertulis di sana. Isinya membuatku merinding. Ini adalah koran-koran yang memuat berita-berita tentang teror komplotan itu bertahun-tahun lalu. Berita utama potongan-potongan koran ini saja sudah membuat semua gamblang—terlalu gamblang bahkan hingga aku mual rasanya. Dalam Dua Bulan, 300 Korban Berjatuhan Karena TED! TED Menyerang Kota, di Mana Kedamaian? TED Lebih Cerdik daripada Polisi, Benarkah? “TED?” ujar Carlotta tiba-tiba. “Apakah itu adalah nama mereka?” tanyaku selagi meraih kertas-kertas lusuh tersebut. “Tunggu, jika kau tahu nama geng itu, mengapa selama ini kau tidak memberitahu kami?” tanyaku. Hilary membuang napas lelah. “Aku tahu kalian punya banyak pertanyaan, jadi biarkan aku menjawab dari pertanyaan yang paling mudah,” katanya. Aku dan Carlotta saling melirik, antara siap dan tak siap mendengar semua fakta yang akan ketua kami paparkan. “Ya, baik aku, Janet, dan Ashley memang mengetahui nama julukan mereka. Akan tetapi, bagi warga kota ini, tabu hukumnya untuk menyebut satu nama tersebut keras-keras di publik. Oleh sebab itu, kami bertiga—dan kurasa juga semua warga lokal kota ini—berusaha untuk tak membahas apa pun mengenai geng itu, termasuk menyebut namanya,” jelas Hilary. “Dan, untuk pertanyaanmu, Sarah, apakah TED adalah nama mereka, jawabannya adalah ya dan tidak.” Seolah bisa membaca pikiranku, Carlotta menyahut, “Apa maksudmu?” Bukannya menjawab, Hilary malah menarik sesuatu keluar dari dasar kotak kayu tersebut. Kemudian ia memperlihatkan sesuatu yang membuat kepala kami semakin penuh dengan tanda tanya. Yang ada di tangan Hilary adalah sebuah vial bening seukuran jari kelingking yang berisi sesuatu yang tampaknya adalah… pasir? “Dalam beberapa kasus yang diyakini adalah perbuatan TED,” Hilary melanjutkan, “ditemukan satu tanda tak biasa yang mampu menggegerkan para polisi pada saat itu.” Aku dan Carlotta memasang telinga lebar-lebar. “Polisi meyakini kebanyakan kasus pembunuhan sadis yang terjadi di kota adalah perbuatan geng brutal tersebut. Namun, dalam beberapa kasus khusus yang sampai saat ini tidak dapat dipecahkan, satu tanda aneh telah mereka temukan: tubuh beberapa korban ternodai dengan sejumput pasir, yang lebih tepatnya adalah bubuk Lavander.” Mendengar pernyataan itu, seluruh tubuhku langsung menegang. Ingatanku mereka sekelebat aroma yang beberapa saat lalu kuhirup di udara. “Tunggu,” selaku. “Apakah itu berarti Josh adalah…?” Hilary mengangguk kecil. “Ya. Kemungkinan besar dia adalah korban kejahatan TED. Kau sudah menyaksikan sendiri wajahnya ternodai bubuk itu. Apa kau juga mencium aroma Lavendernya? Sekalipun baunya sangat lembut, tadi aku menciumnya dan langsung tahu jika itu adalah wangi bubuk Lavender yang sama seperti yang ada di dalam vial ini.” “Ini semua tidak masuk akal,” rajuk Carlotta. “Maksudku, apa-apaan itu? Bukannya mereka seharusnya menyembunyikan jejak? Lalu, kenapa malah meninggalkan barang bukti di TKP? Terlebih, mengapa Josh? Maksudku, aku sudah mengenalnya sejak kecil, dan dia adalah anak yang baik….” Wajah Carlotta kembali murung. Akan tetapi, kali ini aku dapat melihat amarah dan rasa frustasi di matanya. Aku hanya mampu mengelus punggung gadis itu sebagai tanda dukunganku padanya. “Aku tak tahu mengapa Josh terbunuh. Akan tetapi, aku yakin mereka pasti memiliki alasan tersendiri yang mungkin tidak kita pahami.” “Namun, tetap saja itu bukan alasan untuk memperbolehkan siapa pun membunuh!” jerit Carlotta frustasi. “Terutama bubuk Lavender itu. Apa mereka mau sok keren dengan meninggalkan jejak? Aku tak habis pikir!” “Ada beberapa kesimpulan yang orang-orang miliki tentang hal ini,” jelas Hilary tanpa memedulikan reaksi Carlotta. “Beberapa orang percaya jika pemilihan bubuk Lavender melambangkan kepribadian pelaku yang secara mengejutkan bertolak belakangan dengan tingkah lakunya.” Aku mengerutkan dahi. “Bertolak belakang bagaimana maksudmu?” “Lavender adalah bunga yang melambangkan ketenangan, feminitas, bahkan kesucian,” jawab Hilary. Gadis itu membuka penutup vial di tangannya lantas aroma khas bunga Lavender yang lembut dan menenangkan langsung menyeruak ke udara. Untuk alasan yang tak bisa kujelaskan, aroma itu kini membuatku merinding. “Tercium begitu anggun, kan?” Hilary menutup vial itu kembali. “Hal ini bertolak belakang dengan teknik pembunuhan yang pelaku gunakan.” “Memang apa yang terjadi pada para korban?” tanyaku penasaran. “Kondisi badan mereka utuh,” jawab Hilary, “tetapi, semua tulangnya patah hingga setiap permukaan kulit korban memar kebiruan.” Aku dan Carlotta sontak terpaku. Hilary melanjutkan, “Tak jarang, korban dihabisi dengan cara mematahkan tulang di bagian-bagian vitalnya lantas organ tubuhnya diambil. Namun, sayatan yang ada di tubuh korban terjahit dengan begitu rapi. Bahkan, beberapa polisi berspekulasi bahwa pelaku adalah seorang ahli bedah. “Apa pun kenyataannya, pembunuhan ini sangat unik hingga menyita perhatian kepolisian. Ini menjadi kasus pembunuhan yang mereka bilang ‘paling sopan’ yang pernah mereka tangani. Tak hanya membunuh korban dulu agar mereka tak merasa sakit saat organnya diambil, ia pun menjahit luka dengan rapi bahkan sampai mengganti baju korban yang terkotori. Namun, nyatanya, luka-luka yang korban derita juga tak kalah mematikan dari kasus pembunuhan lain yang sadis dan berdarah-darah. “Saking uniknya kasus ini, pada awalnya polisi mengira jika ini adalah perbuatan dua golongan yang berbeda. Akan tetapi, setelah ditelusuri lebih lanjut, para korban mereka saling bersangkutan satu sama lain dan mustahil apabila mereka bekerja secara terpisah. “Sekalipun pembunuhan masal ini mendapat perhatian penuh dari publik, ada satu hal yang sama sekali tidak dipublikasikan oleh polisi yang mengenai kasus ini, yakni satu fakta bahwa apa yang polisi klaim sebagai ‘pasir’ atau ‘debu’ sejatinya adalah bubuk yang beraroma Lavender. “Ketidaktahuan masyarakat inilah yang membuat khalayak luas menjuluki geng ini dengan nama ‘The Evil Dust’, Debu Para Penjahat—mereka tak pernah tahu kebenarannya.” Aku dan Carlotta mutlak terperangah. Untuk sesaat kami hanya sanggup diam sekalipun mulut kami setengah terbuka. Otakku yang sudah lelah pun agaknya tak mampu lagi mencerna segala informasi mengerikan yang baru saja Hilary sampaikan. Bubuk Lavender? Pembunuhan yang ‘paling sopan’? Bagaimana ini semua dibilang sopan? Maksudku, kami tengah membicarakan pembunuhan! Hingga, suatu hal itu mengusikku. “Jika polisi menyembunyikan perihal bubuk Lavender itu, lalu… bagaimana kau bisa tahu tentang semua hal ini…?” tanyaku ragu-ragu. Carlotta menggangguk. “Dan… bubuk di dalam vial itu. Apakah itu… asli?” Mendengar pertanyaan kami, Ketua Kelas tersenyum lebar. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD